Setiap orang pasti memilki rasa peduli dengan tingkat kepeduliannya yang berbeda-beda. Tidak ada manusia yang terlahir tanpa rasa peduli. Setidaknya peduli terhadap diri sendiri. Peduli dengan diri sendiri dimulai dari yang terkecil, misalnya peduli kebersihan, kerapian, kesehatan dan lain-lainnya.

Namun apa yang terjadi jika seseorang dianggap tidak peduli dengan dirinya sendiri? Bagaimana dengan lingkungan sekitarnya? Apakah kita bisa hidup menjadi pribadi yang tidak peduli? Apa keuntungan yang didapatkan dengan mempertahankan sikap tidak peduli? Bagimana cara menanamkan rasa peduli?

Beberapa pertanyaan ini timbul saat aku melihat peserta didik yang kurang mempunyai rasa peduli. Katakan saja sebagai contoh siswa-siswi kelas 9 di sekolah kami. Hampir setiap hari, para guru mengingatkan siswa-siswi untuk berpakaian rapi. Kelihatannya sepele, tapi apa jadinya jika peserta didik memasuki wilayah sekolah dengan baju dikeluarkan. Ikat pinggang tidak dipasang, kaos kaki tidak sesuai ketentuan seragam yang sudah ditetapkan. Rambut tidak disisir. Muka kusam dan lusuh. Celana bolong sana sini. Kancing baju terlepas. Resleting celana rusak. Dan masih banyak lagi yang menjadi alasan peserta didik menjadi berpenampilan tidak rapi. Anak-anak tidak peduli dengan penampilannya.

Menjelang ujian, para guru dan panitia ujian sudah memajang pengumuman yang menyangkut informasi tentang ujian didepan ruang ujian masing-masing. Dengan harapan anak-anak akan mendapatkan informasi yang lengkap dan jelas. Tapi yang terjadi adalah anak-anak masih bertanya. Ada yang mengirimkan pesan. Dan ada juga yang menelepon. Ada apa dengan anak-anak sekarang? Mengapa mereka kurang peduli? Jika peduli, untuk siapa hasilnya? Mengapa anak seumuran kelas 9 SMP kurang mampu mencari informasi?. Pertanyaan ini akan masih sangat panjang jika orangtuapun tidak peduli.

Setelah UN hari pertama selesai, anak-anak diarahkan untuk langsung pulang kerumah masing-masing. Kembali kerumah untuk Istirahat dan belajar. Kenyataannya, anak-anak lebih memilih untuk duduk nongkrong sambil ngobrol dengan teman-temannya. Mereka tertawa dan bercanda ria. Terlihat seolah-olah tidak ada tanggungjawab moral dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi UN. Memanglah UN itu bukan hal yang mengerikan. Namun setidaknya, siswa-siswa dapat menunjukkan sikap bahwa mereka benar-benar ingin sukses dalam mengikuti UN.

Parahnya, saat ujian berlangsung, masih ada ditemukan siswa-siswi yang tidak membawa lengkap alat tulisnya. Saat ditanya, beribu jawaban mengalir dari siswa tersebut. Tentu saja ini sangat menggangu siswa lainnya. Dan membuat suasana ujian kurang kondusif. Bagi siswa-siswi yang peduli, dari rumah mereka pasti akan melengkapi seluruh perlengkapan dengan baik. Sediakan pensil cadangan, peraut, penggaris, papan ujian dan lain-lain yang diperlukan. Jika anak sudah tidak peduli, setidaknya masih ada orangtua yang memberikan perhatian khususnya dihari ujian ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah orangtua mengetahui bahwa anaknya sedang menghadapi ujian saat ini? Jika tidak, maka orangtuapun sudah tidak peduli. Mereka terlalu sibuk.

Tidak bisa dipungkiri, menanam rasa peduli itu harus dimulai dari rumah. Rumah adalah tempat pertama menanam karakter anak-anak. Dan orangtua adalah pemegang peran utamanya untuk menempah anaknya menjadi manusia yang peduli. Peduli diri sendiri maupun peduli akan lingkungan disekitar.