Rumah Cinta
Aku terpana sejenak. Ya , benar, gumamku. Aku tidak keliru, inilah tempat yang pernah kudatangi. Beberapa tahun yang silam itu. Pikiranku kembali tertuju pada pertemuanku dengan Ginda. Laki-laki yang kukenal tanpa adanya unsur kesengajaan. Kupandangi tempat ini. Sudah banyak perubahan yang terjadi. Aku kembali mengingat hal-hal apa yang pernah terjadi di sini. Rumah ini begitu sederhana tanpa terlihat kemewahan. Sekarang sudah berganti dengan rumah yang berdiri megah.
Kriiiiiiing. Telepon genggamku berdering.
“Hallo,” sapaku dari sini
“Hallo!” kudengar jawaban dari seberang sana, ”Ami, masih ingat padaku?” Aku merasa asing dengan suara itu
“Siapa ini, ya?” tanyaku dengan hati-hati. Kenapa jantungku berdetak dengan kencang. Tentu orang yang meneleponku ini mengenalku dengan baik, pikirku.
“Ami, aku Ginda. Masih ingat?”
“Sudah lama sekali kita tak berjumpa ya?” Kudengar dia agak tertawa renyah. Aku semakin penasaran dibuatnya.
“Ginda?” Balasku.
“Ginda yang mana ya? Baginda Mora Hasibuan? Yang tinggal di Garu IIb?” Kataku semakin tak sabar menunggu jawabannya.
“Hahaha, kamu itu bertanya satu-satulah. Bagaimana aku menjawabnya?
Okelah, tentu kamu penasaran ya.”
“Bagaimana kabarmu kini, Ami? Pasti kau bahagia kini.” Kudengar dengan baik setiap ucapan yang diselingi dengan canda dan tawa yang tak berbeban.
“Aku ingin sekali bertemu denganmu, tapi saat ini aku jauh dari Medan. Aku ingin bercerita banyak , Mi. Aku rindu kamu,” ucapnya kemudian.
“Nanti aku telepon lagi, ya.” Katanya dari seberang. Suara telepon genggamku dari seberang tak ada lagi. Aku masukkan ke dalam tas dan aku pulang.
Ginda Mora Daulay, temanku saat sekolah di SMA Al-Washliyah.
Kriiiiiiiiiiing ….. Lonceng berbunyi menandakan bahwa jam istirahat sudah masuk. Beberapa teman bergegas keluar dari kelas, ya sudah dapat kuduga, mereka tak sabar untuk memesan makanan dan minuman di kantin. Memang begitulah kalau sudah jam istirahat, seperti ada kelegaan sejenak setelah berkutat dengan pelajaran , apalagi tadi belajar matematiha dengan Pak Udin. Pak Udin selalu pandai mengambil perhatian siswa untuk mau mendengarnya. Dia selalu berusaha memberikan penjelasan dengan memberi kuis dan permainan dalam bentuk angka-angka. Menarik memang, tapi tak semua siswa pula yang tertarik. Yang tertarik , asyik dengan permainan yang diberikan Pak Udin, yang tak tertarik , ya cuma menundukkan kepala atau berbisik-bisik dengan yang lain. Tapi aku selalu senang bila Pak Udin memberikan pelajaran matematika. Bapak itu selalu rapi dalam berpakaian. Pak Udin memang tak begitu tampan, bentuk tubuhnya juga tidak begitu tegap seperti Ade Ray. Tapi gayanya mengajar yang membuat aku tertarik. Walaupun membawakan mata pelajaran Matematika yang banyak membutuhkan perhatian dan tak banyak siswa menyukai pelajaran ini, Pak Udin tidaklah galak. Wajahnya juga tidak seseram Idi Amin. Seorang tokoh dari dunia seberang. Pernah kulihat fotonya di surat kabar.
Iwan mendekatiku, “Mi, nanti pulang sekolah kita ke rumah ibu Farida, ya? Kau disuruhnya datang.” Memang hari ini bu Farida tidak masuk ke kelaskami.
“Ada apa?” Tanyaku
“Manalah ku tahu,” Iwan mengembangkan tangannya sambil tersenyum.
“Ah, kau mengada-ada saja kurasa.” Balasku seperti tak mempedulikannya.
“Ya, terserah lah. Pokoknya sudah kusampaikan apa kata Bu Farida.” Dengan bergegas pergi dari hadapanku. Tapi kukejar dia, penasaran aku.
“Kenapa sih, Wan?” Tanyaku lagi memelas. Memang aku takut sekali kalau ada guru yang memanggilku. Aku agak sensitif memang. Salah apa aku, kupikir.
“Wan, aku salah apa? Sepertinya aku tidak melakukan sesuatu yang salah, kok.” Ucapku pada Iwan. Iwan Cuma cengengesan aja.
“Mana tahu aku rumah Bu Farida,” ucapku lagi.
“Ya, nanti aku temani,” katanya merendah.
“Betul, ya.” Kataku. Aku ingin mendapat bantuannya.
“Tapi, mana berani aku sendiri”, Iwan Cuma cengengesan aja.
“Ajaklah si Dewi, Henny atau yang lain,” kata Iwan. Aku merasa senang. Ada teman-temanku yang bisa kuajak. Kulihat Iwan berlalu dengan cepat. Aku pun kembali ke kelas, mencari Dewi. Aku berharap Dewi mau menemaniku nanti.
“Wi, nanti pulang sekolah kita ke rumah bu Farida, yok!”
“Ada apa , Mi?” tanya Dewi.
“Aku juga tak tahu. Tapi bu Farida berpesan pada Iwan untuk datang ke rumahnya. Temani aku ya, Wi?” Bujukku supaya Dewi mau menemaniku.
“Oke . . . “ , jawabnya sambil tersenyum.
Ibu Farida memang guru yang sangat dekat dengan murid-muridnya. Selain cantik, ibu Farida ramah dan suka bercerita kepada siswanya di luar jam belajar. Orang tuanya tinggal di luar kota. Ia merantau ke Kota Medan untuk menambah ilmu pengetahuan. Perantau tentu siap jauh dari orangtua, pikirku. Berani menghadapi masalah tanpa orangtua di sisinya. Ia kuliah di salah satu universitas swasta di kota ini. Memang saat itu ia masih kuliah. Ia mengisi waktu senggangnya dengan mengajar di tempatku belajar. Tak banyak yang ku tahu tentang bu Farida. Walau pun begitu, aku menyenangi bu Farida.
Aku pun bercita-cita ingin menjadi angkatan bersenjata. Tentu aku harus memiliki keberanian seperti bu Farida. Jauh dari orangtua dan siap menghadapi segala masalah. Dapat menyelesaikan pendidikan dalam waktu yang tepat. Mengenal orang-orang dan lingkungan yang baru di tempat aku tinggal nanti. Itu ingin ku miliki dalam menggapai cita-citaku. Mungkin tak banyak wanita yang ingin menjadi tentara. Coba saja pikir, yang mau berperang itu hanya lelaki. Siap dengan segalanya, keberanian, kesiapan untuk mati dalam bertugas, meninggalkan keluarga demi membela tanah air dan negara. Yang ku tahu bahwa bila seorang wanita ingin menjadi tentara adalah ikut membantu tentara laki-laki dalam mempersiapkan diri menegakkan negara. Mereka menjaga negara dari pengaruh dan tekanan negara lain. Mereka mempertaruhkan jiwa, mengabdikan diri untuk Negara.
Aku ingat ketika setiap tanggal tujuh belas Agustus setiap tahunnya di halaman Parkir Senayan Jakarta, Presiden memeriksa barisan peserta upacara, barisan –barisan tentara sangat menyita perhatianku. Saat mereka berbaris memasuki halaman tempat upacara, langkah tegap mereka membuat hatiku berdebar keras, seolah aku ikut dalam barisan itu. Ada suatu perasaan yang muncul di hatiku, entah perasaan apa namanya, tapi aku semakin kuat untuk bisa masuk dalam kelompok itu.
“Amiiiii !” Aku tersentak dengan suara keras yang memanggilku. Dewi berlari menuju diriku.
“Henny juga mau ikut," katanya dengan napas tersengal-sengal. . Wow , ya aku senang. Kurasa, makin banyak yang ikut, pasti menyenangkan. Aku tak yakin, kalau aku bawa banyak teman – kena marah sama bu Farida. Tak ada yang rahasiakan?
…………………
“Assalamu’alaikum, Buuuk….!” , panggil kami .
Tak ada sahutan dari dalam. Tapi pintu tak tertutup.
“Masuk aja”, ada suara dari dalam menyahut. Tapi suara itu kukenal. Itu suara Iwan. Mengapa pula ada Iwan di rumah ini?, batinku bertanya. Ya, memang. Iwan keluar dari arah belakang. Kurasa itu ruang dapur. Aku agak ragu melangkah.
“Mana bu Farida?” tanyaku menyelidik.
“Kenapa kau ada di sini?”
“Rumah siapa ini?”
“Ah, banyak kali pertanyaanmu”, jawabnya tersenyum.
“Masuk aja lah. Ya, ini rumah bu Farida.” Katanya lagi meyakinkanku.
“Mana bu Faridanya?” tanyaku lagi.
“Ada tuh di belakang”, jawabnya kembali tersenyum.
“Pergilah lihat ke belakang,” katanya sambil menyuruhku.
Aku melihat ke Dewi, juga ke Henny. Mereka juga agak heran. Dari pandangan mata mereka, aku juga begitu, pikirku. Dengan agak ragu aku menuju pintu belakang. Ada tirai yang menutup. Tidak terlihat apa yang ada di baliknya. Kusibakkan dengan perlahan tirai penutup pintu ruang belakang tersebut.
“Hai, …. Selamat Ulang Tahun Ami !”
Aku terkejut. Ada suara lain yang kudengar. Dan lebih mengagetkanku ternyata suara itu bukan suara bu Farida, tapi suara yang tak asing bagiku. Ginda Mora. Ya, benar! Dia membawa kue tar yang sudah dipasang lilin mengelilingi kue.
“Ah! Apa-apaan ini?” tanyaku tak percaya.
Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang juga. Mereka bernyanyi bersama-sama. Henny menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku seperti sapi dicucuk hidung, mengikut. Mereka sudah membuat lingkaran kecil. Aku tak dapat berkata-kata. Perasaanku pun entah bagaimana, bercampur baur.
“Ayo, Ami! Tiuplah lilinnya. Hari ini umurmu tepat tujuh belas tahun kan?” kata Ginda tersenyum.
“Maaf ya, kalau cara ini kubuat. Kalau berterus terang, aku yakin, kau tak akan mau ke mari. Tapi, ….”
Belum selesai kalimat yang diucapkannya, Iwan nyeletuk,
“Lilinnya udah hampir habis tuh! Kapan ditiupnya? Keburu dimakan kue lilin-lilinnya.”
“Nanti saja uraian lengkapnya,” kata Iwan tersenyum menggoda.
“Yaaaaa, “ teman-teman yang lain menimpali.
Kue tar itu sudah didekatkan padaku. Buuuuuhhhh!!! Suara napasku meniup lilin yang banyak. Tepukan mereka pun memecah kesepian sejenak.
“Ami, di depan teman-teman aku mengatakan perasaanku yang paling dalam. Sudah lama aku menympannya. Sakit! Hari ini aku tak mau sakit sendiri. Aku ingin kau tahu apa yang ada di hatiku ini” kata-katanya sangat puitis sekali. Didekatinya aku dan berbisik – dekat sekali denganku. I love you.
…………………………………
Tentang pengarang:
Erva Hazmi Fauzi, lahir di Medan pada 27 Desember 1967. Saat ini sedang bertugas di SMA Negeri 21 Medan. Juga mengajar di SMK Brigjend Katamso Medan Sunggal. Dapat dihubungi di 08126338109 atau 081534799267. E-mail : [email protected].
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereen.. Cerita yg indah Bu.. Salam
Salam kenal bunda, kita tetanggaan , saya di SMAN 14 Jl. Pelajar. Maaf bunda, beribu maaf, si Ginda dalam cerita tadi marganya Hasibuan atau Daulay, ya ? Atau memang dua orang yang beda ya bun, Baginda Mora Hasibuan dengan Ginda Mora Daulay. Sekali lagi maaf ya bunda. Salam literasi, salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, bunda.
Owh.. Akhirnya indaaaah. Bunda dekatkah dg bunda Raihana Rasyid, beliau di SMAN 14 Medan. Sukses selalu dan barakallah