Menulis Puisi adalah Merespon Kehidupan
(Tantangan Menulis hari ke-1)
Puisi sesungguhnya adalah ungkapan hati. Bahasa Jiwa. Bagaimana seseorang menuliskannya, itu yang mungkin berbeda setiap orang. Namun, kejujuran, selalu lekat dengan puisi. Dalam puisi ada kejujuran. Ada pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
Pembeda antara satu dengan yang lainnya, adalah bagaimana setiap penyair menyusun kata-kata demi kata, memilih diksi demi diksi, sebagai upaya dalam menyampaikan sebuah pesan kepada pembaca.
Menurut Saini KM, Pekerjaan pertama dan utama penyair adalah membuat citra dan atau lambang. Ia menyusun dan memilih kata serta meletakkannya dalam berbagai susunan hingga kata-kata itu mengungkap beberapa makna dengan berbagai nuansanya. Namun, karena kata-kata ada hubungannya dengan pikiran dan perasaan, tak ayal kegiatan menulis puisi kemudian berhubungan dan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan kejiwaan dan kerohanian.
Di dalam mengolah kata-kata (yang berarti mengolah pikiran dan perasaan), penyair sebenarnya mengolah responnya (jawabannya) terhadap kehidupan. Melalui kata-kata dalam puisinya, penyair menjelaskan tentang dirinya sendiri, pikirannya dan perasaannya, serta kehidupan, yang juga menjadi jelas lewat puisinya itu.
Lalu, apabila seseorang memahami sesuatu dari kehidupan, dia ingin menuliskannya dalam sebuah puisi, bagaimana agar puisi tersebut menjadi sebuah puisi yang berhasil. Puisi yang mampu menggugah hati pembaca. Lantas menjadikan pembacanya selalu ingat terhadap puisi tersebut?
Sesungguhnya, ada banyak teknik menulis puisi. Namun, saya akan menjelaskan beberapa tip menulis yang pernah saya baca dalam buku Seni Menulis Puisi
Tip menulis puisi:
1. Menangkap Momen Puitis
Momen puitis adalah ide atau gagasan yang muncul, biasanya datang tiba-tiba. Misalkan, di suatu tempat, katakanlah di pekarangan, kita melihat daun gugur, lantas terlintas kata atau frasa dalam benak, contohnya, “daun gugur itu tubuhku menuju kubur.” Kata atau frasa itu seperti terus berulang dalam benak, di saat yang sama sebuah perasaan bangkit mengingat kematian, dan samar seakan ada makna yang hadir.
Detail momen puitis, seandainya sudah terlatih, bisa dituliskan langsung sebgai puisi, jika tidak, bisa kita catat agar tidak lupa. Mencatat adalah bagian dari menangkap momen puitis: kata atau frasa yang hadir, atau benda atau suasana yang berkesan mendalam, juga perenungan yang muncul seketika itu.
Catatan ini nantinya menjadi bekal untuk dikembangkan ketika menulis puisi secara utuh.
2. Mengemas Benda-benda Usang
Media puisi adalah kata, dan menulis puisi adalah memilih kata yang tepat dan segar. Maksud “benda-benda usang” adalah kata-kata yang sudah sering digunakan dalam sajak-sajak selama ini. Seperti halnya, bulan untuk menggambarkan kecantikan dan kebahagiaan. Atau gagak untuk menggambarkan malam dan kegelapan. Kita bisa berlatih mencari kata baru yang mampu mewakili apa yang kita rasa dan pikirkan.
3. Menciptakan Kesegaran Daya Ungkap
Setelah kita mencoba mencari kata-kata baru, maka kita terlatih untuk menciptakan kesegaran gaya ungkap dalam frasa atau kalimat.
4. Menghilangkan Kata Sambung (Konjungsi)
Seandainya kehadiran kata sambung dalam sajak yang kita tulis tidak terlalu penting, sebaiknya kita hilangkan, agar sajak yang kita tulis lebih padat. Misal: dan, oleh, karena, dengan, tetapi, kemudian, adalah.
Sebagai contoh : parasmu yang gemilang menjadi parasmu gemilang
5. Menghindari Kata Sifat
Kata sifat yang hadir dalam sebuah puisi dapat dihindari dengan menggali hal-hal yang lebih detail untuk menggambarkan kata sifat tersebut. Di sinilah majas akan berfungsi. Contohnya, ketika kita berjumpa dan terkesan dengan seseorang, lantas menulis Perempuan itu cantik.
Cantik yang merupakan kata sifat, bisa kita hindari dengan upaya mengambarkan apa yang membuat kita menyebutnya cantik,
Misal, matanya sepasang telaga/bibirnya rekah mawar di pagi hari...
6. Menulis Kata Pertama atau Bait Pembuka
Kata pertama atau bait pembuka adalah pintu untuk pengembaraan menulis puisi. Bisa dimulai dengan kata atau frasa yang datang dalam momen puitik, atau dengan kata yang berkesan kuat dalam hati kita.
7. Menulis Judul
Judul puisi sebenarnya bisa ditulis di awal. Namun, biasanya, kita akan mengikuti dulu momen puitis yang hadir dengan menuliskan kata, frasa, kalimat menjadi larik dan bait. Setelah selesai kita akan membacanya kembali dan mencari judul yang tepat untuk puisi yang kita tulis.
8. Revisi
Menulis puisi bukanlah pekerjaan sekali jadi. Usai menyelesaikan sebuah puisi, sesungguhnya baru setengah pekerjaan yang, setengahnya lagi adalah proses revisi. Jika dalam proses pertama kita cenderung mengikuti luapan perasaan yang hadir, maka pada proses kedua ini diimbangi dengan kerja pikiran. Ada yang mengistilahkan kerja revisi ini seperti memangkas dan merapikan daun serta ranting dalam memelihara tanaman bonsai sehingga mencapai bentuk yang indah, ada juga yang mengibaratkan seperti mengasah batu akik, agar puisi menjadi lebih bercahaya.
Kerja revisi ini bagian yang berat karena biasanya kita kalah oleh rasa malas, sekaligus mengasyikan jika kita bisa menikmatinya, di dalamnya ada kesabaran menyusun kembali kata, frasa dan kalimat, menata rima, menimbang kembali metafora, sehingga puisi kita benar-benar menjadi, kalau dalam istilah Chairil Anwar.
Dalam kerja revisi juga kita dituntun untuk belajar mengoreksi diri sendiri, sebelum dikoreksi orang lain. Kita mesti tegas pada diri sendiri seandainya harus memangkas larik bahkan bait seandainya itu dirasa tidak pas secara logika.
Langkah-langkah di atas tentunya, seperti saya katakan di awal, hanyalah salah satu jalan yang mungkin bisa dicoba dalam memulai menulis puisi. Namun pelajaran yang paling berharga bagi yang ingin menulis puisi sesungguhnya adalah proses membaca, yakni:
1. Membaca puisi-puisi karya para penyair. Bagaimanapun membaca adalah modal utama untuk menulis. Dalam membaca kita akan belajar bagaimana penyair memilih kata, metafora, lambang, juga menyusun irama dan rima untuk menggambarkan hati dan pikirannya dalam mengamati, menghayati dan memahami sesuatu dalam kehidupan ini. kita akan menemukan cara pandang dan gaya ungkap yang berbeda-beda. Di samping itu, akan memperkaya perbendaharaan kata serta meningkatkan kemammpuan serta kepekaan kita dalam berbahasa.
2. Membaca kehidupan dengan khusyuk. Puisi adalah respon kita terhadap kehidupan yang kita alami dan kita amati. Semakin kita khusyuk merenungi setiap detail kehidupan yang sampai pada hati dan pikiran kita, maka kita akan semakin peka akan makna yang terkandung di dalamnya. Dan inilah yang menjadi mata air bagi puisi.
Terkadang perenungan terhadap hal-hal sederhana juga bisa membuahkan puisi jika kita intens dalam menghayatinya. Kondisi dan suasana yang dekat dengan diri kita, seperti halnya benda-benda di rumah, bisa menjadi tema untuk kita tuliskan dalam puisi.
Satu hal yang menarik dalam puisi adalah adanya ciri khas masing-masing dalam merespon kehidupan, sebab setiap orang pastinya mempunyai pengalaman dan pengamatan sendiri-sendiri terhadap kehidupan. Contoh kecilnya saja, ketika empat orang dihadapkan pada setangkai bunga mawar, maka kita akan mendapatkan empat puisi yang berbeda tentang bunga mawar itu. Bisa jadi ada yang tertarik pada mekar kelopaknya dan berkisah tentang cinta yang indah, bisa pula ada yang tertarik pada duri-durinya dan melukiskan rasa sakit dari cinta, atau mungkin ada yang tertarik pada daun-daunnya dan merenungkan kesejukan, jadi setiap orang akan mengikuti imajinasi yang hadir didasarkan pada pengalaman dalam hidup yang pernah dilaluinya.
Tentu ada pertanyaan, kehidupan seperti apa yang sebaiknya direspon menjadi puisi. Tentunya bagian kehidupan yang sangat berkesan dan ingin kita abadikan. Kesan yang mendalam dengan membangkitkan emosi, mengembangkan imajinasi, dan akan menghadirkan kata-kata. Dan kata-kata akan mengekalkan pengalaman dan pemahaman kita tentang kehidupan itu.
Biasanya pertanyaan lainnya adalah, siapa saja yang bisa menulis, jawabannya semua orang saya yakin bisa menulis puisi, sebab setiap orang mempunyai responnya sendiri-sendiri terhadap kehidupan, juga setiap orang mempunyai kata-kata untuk melukiskannya. Namun, tentu saja untuk menjadi seorang penyair dibutuhkan kerja sungguh-sungguh, bahkan sepanjang hidup bergulat dengan kata-kata. Setiap orang bisa menulis puisi, tapi hanya sedikit yang berhasil menjadi penyair.
Referensi:
1. Puisi dan beberapa masalahnya, Saini KM, Penerbit ITB, Bandung, 1993.
2. Seni Menulis Puisi, Hasta Indriyana, Penerbit Gambang, Yogyakarta, 2015.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Menarik ceritanya bu, sangat bermanfaat
Terima kasih Bu Elva Lidya, slam kenal dari Ciamis
wah.. informatif bunda, makasih bunda atas ilmunya, keren banget bunda, salam sukses selalu dan salam literasi
Bu Habibah...salam hangat persahabatan untuk Ibu dari Ciamis , terima kasih apresiasinya. Doa yang sama untuk Ibu. Salam Literasi.