
Pendidikan Inklusif, Siapa yang Bertanggung Jawab ? (Tantangan menulis Hari ke -1)
Berita tentang bullying tehadap siswi ABK SMP yang terjadi baru-baru ini di salah satu kota di Propinsi Jawa Tengah mengingatkan saya pada peristiwa di bulan Juli, awal Tahun Ajaran 2019 lalu. Salah seorang kawan yang bergerak dalam advokasi untuk anak-anak ABK meminta bantuan di Grup Whatsapp (WA ), Alumni PLB IKIP Jakarta 1986. Dalam chat itu ia memohon bantuan Anggota Grup WA mencarikan sekolah untuk salah seorang klien-nya seorang anak ABK. Biasanya kawan saya itu terjun langsung mencarikan sekolah yang dibutuhkan oleh para klien-nya itu. Berhubung kawan saya itu tinggal di Bandung sedangkan klien-nya pada saat itu berdomisili di Jakarta maka ia meminta bantuan pada alumni PLB yang tinggal di Jakarta.
Ketika diinfokan bahwa sekolah yang dicari adalah sekitar daerah Jakarta Barat. Saya jadi teringat dengan kakak sepupu. Ia mengajar di salah satu SMA daerah Jakarta Barat. Tergerak hati untuk membantu klien kawan saya itu. Dari obrolan melalui WA dengan kakak sepupu dapat informasi yang menggembirakan bahwa di Jakarta Barat ada Sekolah Inklusif untuk tingkat SMA. Tanpa mengulur waktu segera dilaporkan kabar gembira ini kepada kawan saya itu. Supaya komunikasi berjalan efektif dan langsung kepada yang bersangkutan, akhirnya saya diberi nomor WA klien-nya itu. Singkatnya saya dan klien kawan saya saling memberi informasi melalui WA.
Disebutlah oleh kakak sepupu sebuah sekolah SMA Negeri yang menerima ABK. Sekolah Negeri ini sudah beberapa tahun membuka Kelas Inklusi. Sayangnya orang tua anak ABK ini menolak menyekolahkan anaknya disitu. Anaknya tidak ingin dimasukkan ke SMA yang disebutkan ini karena kasus bullying nya “tinggi”. Ketika dikonfirmasi dari mana mengetahui hal ini ternyata sekolah ini adalah dahulunya tempat sekolah kakak dari anak ABK ini. Ia khawatir anaknya malah akan mogok sekolah. Tak putus asa sampai disini, pencarianpun berlanjut lewat kakak sepupu saya lagi. Beliau menginformasikan bahwa sebenarnya di tempatnya mengajar termasuk salah satu yang diprogramkan menjadi Sekolah Inklusif yang dapat menerima siswa ABK sayangnya tahun ajaran ini belum siap menerima siswa ABK berhubung keterbatasan pengajarnya. Kabar tak sedap ini dengan berat hati disampaikan kepada orang tua klien kawan saya itu. Beliau tentu saja sangat kecewa. Selidik punya selidik ternyata sekolah tempat kakak saya mengajar itu adalah sekolah yang diidamkan oleh anaknya karena teman anaknya (non ABK) diterima disekolah itu. Saya sedih karena tak berhasil membantunya apalagi beliau bukan hanya sedih namun kecewa berat. Kemana lagi ia harus mencari sekolah untuk anaknya ? sementara anaknya tidak mau bersekolah di SLB. Anaknya ini tidak termasuk dalam katagori Tuna Netra (SLB A) , Tuna Rungu ( SLB B) Tuna Mental ( SLB C), ataupun Tuna Daksa ( SLB D ) Anaknya ini mengalami gangguan emosi. Maka bila diinformasikan bahwa ia tidak diterima di sekolah yang diidamkan dipastikan anaknya akan tantrum ( menangis, berteriak, mengomel, mengamuk). Hal yang paling ditakutkan ibunya.
Kecemasan dan kekhawatiran ini merupakan hal yang kerap dialami oleh para orang tua yang memiliki anak ABK yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah inklusif. Hal ini terjadi hampir setiap Awal Tahun Ajaran Baru. Dalam perjalanan mencari sekolah untuk anak ABK ternyata banyak liku dan tidak mudah.
Kasus perundungan atau bullying pada Anak ABK bukan yang hanya terjadi di tahun ajaran 2019 sebagaimana diinforasikan pada awal tulisan namun tahun sebelumnya juga sudah terjadi.. Pelaku bullying ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh teman sekelasnya saja namun dilakukan oleh seorang guru yang sekaligus walikelasnya seperti kasus yang terjadi di salah satu sekolah di Makasar. Guru itu “mencap” anak ABK yang kebetulan anak Tuna Netra dengan sebutan anak yang merepotkan temannya. Ia dipaksa mengerjakan tugas dengan tulisan tangan, bukan dengan Huruf Braille. Tak hanya di Makasar, di Jakarta ketika masuk Tahun Ajaran Baru 2018, seorang anak Tuna Netra ingin mendaftar ke sebuah SMP Negeri ditolak, karena sekolah itu berdalih tidak menerima anak Tuna Netra. Dari dua kasus contoh ini ternyata Para Siswa ABK masih belum dapat diterima oleh lingkungan Sekolah Umum. Dari kasus ini kepada siapa para orang tua yang memiliki anak ABK harus mengadu ? sedangkan advokasi untuk para ABK belum banyak diketahui oleh para orang tua.
Sebetulnya Pendidikan Inklusif telah diperkenalkan sejak 22 tahun yang lalu, yaitu tahun 1998 namun gaungnya masih samar-samar terdengar. Pendidikan Inklusif adalah program pendidikan yang mengakomodasi seluruh siswa dalam kelas yang sama sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya, termasuk didalamnya siswa yang berkebutuhan khusus. Pada tahun 2009 telah dikeluarkan Peratuan Pemerintah no. 70 tentang Pendidikan Inklusif untuk tingkat Pendidikan Dasar dan Menengah. Namun mengapa masih banyak sekolah yang menolak Peserta Didik ABK ? Padahal dalam Permen itu tertulis jelas dalam pasal 1 bahwa : peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya serta pendidikannya dapat diselenggarakan secara inklusif.
Yang lebih Memprihatinan adalah yang menolak siswa ABK dari dua kasus diatas adalah Sekolah negeri yang dibiayai pemerintah. Padahal pemerintah telah menyatakan bahwa Kementrian Pendidikan telah membangun sistem Pendidikan Inklusi. Sekolah beralasan karena tidak memiliki guru yang dapat mengajar Anak ABK atau disebut dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK). Padahal berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tertuang dalam undang- undang No. 22 tahun 1989 pasal 5 bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Hal ini diperkuat dalam Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif yang diselenggrakan di Bandung tanggal 8-14 Agustus 2004 (Deklarasi Bandung) mengahasilkan beberapa poin. Salah satu poin-nya adalah “Menjamin setiap Anak berkebutuhan khusus lainnya, sebagai individu yang bermartabat, untuk mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan diskriminatif yang merugikan eksistensi kehidupannya baik secara fisik, psikologis, ekonomis, sosiologis, hukum, politis, maupun kultural”.
Harapan pemerintah mengenai pendidikan inklusif ini belum sesuai dengan kenyataan di lapangan. Untuk itu ada beberapa strategi yang mesti dilakukan untuk memenuhi ketersediaan GPK, diantaranya :
1. Sekolah menjalin kerjasama atau memiliki link dengan Universitas Negeri maupun Univeritas Swasta yang memiliki Jurusan Pendidikan Luarbiasa (PLB).
2. Universitas yang membuka jurusan PLB mengadakan Praktek Kerja Lapangan ( PKL ) di Sekolah Inklusif. Sementara ini mahasiswa PLB masih PKL di SLB
3. Memperbanyak membuka jurusan PLB di Universitas Negeri maupun Universitas Swasta .
4. Kemendikbud mengundang guru bidang studi bagi sekolah yang menerima siswa ABK untuk dilatih menjadi GPK.
5. Pemerintah memberikan pemahaman mengenai pemerataan pendidikan inklusif kepada Kepala Sekolah maupun kepada stakeholder lainnya.
Selain minimnya ketersediaan para GPK yang menjadi penyebab utama , ada beberapa masalah lainnya yaitu tentang model evaluasi, pengelolaan belajar, kurikulum, dan lain-lain harus menjadi perhatian pemerintah. Dengan demikian, istilah education for all bukan hanya sebagai ucapan belaka, namun menjadi fakta.
Wallahu ‘alam bisshowaab.
Sumber :
J David Smith, Inklusi Sekolah Ramah untuk Semua, Nuansa, Bandung 2006.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Terimakasih bu Iin.
Terimakasih bu Iin.
Barakallah