Sajak-Sajak Sunyi
Oleh: Eko Hastuti
Judul
: Sajak-Sajak Sunyi
Pengarang
: Budhi Setyawan
Penerbit
: Forum Sastra Bekasi (FBS) bekerjasama dengan Pustaka Senja
Tahun Cetak
: 2017
Tebal
: 85 halaman
ISBN
: 978-602-6730-00-8
Mungkin ada sebagian orang yang tidak menyukai kesunyian karena dalam sunyi akan terasa jenuh dan membosankan. Berbagai kenangan silam akan terlintas dan semakin jelas menghantui perasaan. Sunyi bisa jadi menyakitkan. Tapi bagi penyair yang menekuni jalan sunyi dan bekerja untuk keabadian, sunyi menjadi ruang untuk mencurahkan energi dalam berkarya. Melalui perenungan yang dalam, kata-kata menjadi senjata pamungkas untuk mengeksekusi perasaan, pengalaman lahir batin, kritik sosial, gagasan, pemikiran, dan lainnya. Seperti pendapat Gunawan Tri Admodjo (penyair & cerpenis) bahwa sebuah puisi yang baik selalu mampu menyediakan sebidang ruang tenang di mana pembacanya dapat menepi, menyepi, berhibernasi, dan memurnikan diri dari kontaminasi dunia luar yang begitu keruh dan gaduh. Artinya sunyi diperlukan penyair maupun pembaca saat mencipta puisi dan menikmatinya secara seksama.
Sehimpun puisi karya Budhi Setyawan ini memuat 72 judul puisi yang mengangkat hal keseharian namun sanggup menyentuh nalar sebagai manusia. Tentu buah dari perenungan hidup ketika berupaya memaknai sunyi. Maka tak heran kalau pada judul-judul puisinya menyebut kata sunyi, senyap, dan sepi, seperti Sembahyang Sunyi, Pohon Sunyi, Buah Sunyi, Harakat Sepi, Sajak Senyap, Mengingatmu Sepi, Antologi Sepi, Digilir Sepi, Menafsir Sepimu, dan Risalah Sepi.
Sepi, sunyi, atau senyap seolah punya kontribusi terhadap lahirnya puisi. Bisa jadi karena “puisi menjadi satu-satunya cara paling indah, efektif, impresif untuk menyatakan sesuatu”, Joko Suroso pada resensi “Puisi Indonesia Abad XX, Menoreh, 12 September 2017. Efektif karena untuk mengungkapkan pengalaman, perasaan, kritik sosial, atau apa pun itu dengan kata yang singkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Emerson, “Puisi mengajarkan sebanyak mungkin gagasan dengan kata-kata sedikit mungkin”, tentu tanpa mengesampingkan sisi bahasa yang berirama sebagai kreasi keindahan.
Pada puisi pertama yang berjudul “Di Atas Kata”, penyair menebar makna sunyi di waktu malam hari. Lewat zikir dan sembahyang, sunyi di dada menjadi ruang untuk merawat sasmita/tanda akan kebesaran Tuhan. Kita diajak mendekat dengan doa agar mendapat lentera dalam menguak himpunan rahasia alam. Mengingat kita sebagai manusia hanya sekumpulan uap, bayang, dan gema yang tersesat berabad-abad ke ranah kilau fana, seperti tertuang pada puisi kedua, yang berjudul, “Kita Hanya”. Sementara pada puisi ketiga dan keempat, penyair lebih tajam lagi dalam memaknai sunyi. Baginya, sunyi serupa pisau yang sanggup menyayat hati untuk menangkap cahaya Illahi. Kata hening muncul di larik bait terakhir semakin terasa upayanya menadah senyap.
Sebagai penyair, Budhi Setyawan memiliki cara tersendiri dalam merengkuh sunyi hingga proses penciptaannya serupa keasyikkan atau kekhusukkan yang tidak dimiliki semua orang. Hal ini seperti tersebut dalam pengantar buku “Kepak Sajak: Sajak-sajak Pilihan Lumbung Sajak Forum Sastra Bekasi” tahun 2015. “Kadang keasyikkan atau kekhusyukan berpuisi tidak dipahami oleh mereka yang jauh dari puisi. Padahal puisi sebagai cabang seni sastra dengan kekuatan pada pemilihan kata, tak jarang menghadirkan suasana yang sangat akrab dan memenuhi keseharian, bahkan ruang pikiran dalam seluruh rentang usia penyairnya. Sebagai manusia, kadang penyair seperti bisa hidup di dua alam yang bisa jadi menjadi teman, atau bahkan cermin bagi penyairnya” kata Budhi Setyawan atau disapa Buset
Puisi-puisi Buset walaupun saratl dengan diksi berkias/bermajas, berirama, namun masih mudah dipahami. Isinya sebagai cermin diri penyairnya dan gambaran situasi dan kondisi pada satu ruang dan waktu. Karena pemilihan diksi, seperti langit, awan, cuaca, cakrawala, bukit, gunung, laut, daun, bunga, kembang, bulan, cahaya, dan lainnya tidak sekedar sebagai alat puitik saja. Tetapi juga sebagai sarana penghayatan religius. Sebagai wujud kepekaan pada hidup, kehidupan, dan alam sekitarnya yang penuh misteri dan harus disingkap makna yang tersembunyi di dalamnya. Pesan religius nampak pada judul-judul puisinya, seperti Puasaku, Teduh Doa, Doa di Bawah Hujan, Tentang Doa, Memuja, Jalan Doa, Desir Sembahyang, Syahid Rindu, Rakaat Kerindu, Riwayat Nabi, Seperti Sujud Terakhir, Berbuka Puasa, Di Jalan Puasa, dan Lebaran. Umumnya orang yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhan berada di tempat khusus, dengan khusuk, hening dan sunyi.
Pada puncak memaknai sepi Buset menyadari bahwa dia kelak akan menjadi arang, namun telah ditabukan terbitnya erang. Maksudnya, Buset menyadarkan kepada pembacanya agar tabah dan bijak dalam menjalani kehidupan yang penuh cobaan dan godaan ini. Perbanyak sembahyang, doa, zikir, puasa, untuk mendekatkan diri pada-Nya, niscaya kita akan mendapat petunjuk dan pahala. Kita tidak boleh menyombongkan diri karena hanya sekumpulan uap, bayang, dan gema alias kecil sekali di hadapan Tuhan. Untuk lebih bisa memaknai puisi-puisi Buset ini, kiranya perlu mengkaji lebih dalam dari sudut isi, struktur, dan bahasa. Setidaknya dengan memiliki buku ini lalu mencermati dan memahami dengan seksama. Apalagi bila didukung dengan pemahaman agama yang kuat, mengetahui ayat-ayat, maka amanat puisi akan terasa lebih dasyat. (Eko Hastuti, Guru SMPN 1 Wonosobo)

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
josss Produktif bu
Makasih Pak Muktiyono, salam literasi.