EFRIE LEISTARIE

Seorang ibu yang memiliki (baru) satu anak laki-laki berusia 11 tahun. Keseharian bertugas di Sekolah Dasar Negeri Tebet Timur 17. Lahir di Jakarta, keturunan k...

Selengkapnya
Navigasi Web

Taaruf Dulu Baru Menikah (1)

Taaruf Dulu Baru Menikah (1)

Oleh : Efrie Leistarie

“Efrie, mau kemana?”, tanya Ummi melihat saya sudah bersiap diri ingin keluar rumah. “Mau ke Pasar Minggu, ada urusan bentar”, jawabku. Kamis, 20 Mei 2004 menunjukkan tanggal merah libur nasional hari raya. Saya sudah ada janji dengan guru mentor untuk memenuhi sebuah hajat. Terus terang belum berani saya menyampaikan hajat apa yang akan saya lakukan. Saya hanya berani katakan, bentar ya Mi perginya. Ga macam-macam. Kondisi saat itu memang libur tak ada aktivitas kuliah. Saya pun masih dalam pengawasan penyembuhan pasca operasi. Orang tua mengunci semua aktivitas kuliah saya demi kondisi kesehatan.

Tepat pukul 8 pagi, saya pun beranjak keluar. Rasanya beda sekali perginya saya saat itu. Saya pergi ke pasar minggu dengan angkutan umum. Jalanan nampak lenggang. Tak ada kemacetan. Saya berusaha datang lebih dari yang dijanjikan. Sepanjang jalan di dalam angkot, detak jantung saya lebih kencang. Seperti ada kekhwatiran akan niat baik yang akan dijalani kelak. Ku dekatkan lagi diri ini dengan dzikir dan shalawat. Entah apakah hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Menjadi hari yang bermula dalam kebahagiaan atau sebaliknya.

Maksud dan tujuan saya ke rumah guru mentor adalah melakukan pertemuan taaruf. Saya diundang datang setelah dua pekan sebelumnya menerima selembar biodata. Biodata bertuliskan nama lengkap dan identitas lainnya. Sebuah foto 4 X 6 pas photo. Sebelumnya saya tidak pernah menerima biodata. Hanyalah satu biodata yang beratasnamakan Setyo Budiono. Qadarullah, pertemuan taaruf ini bersama dengan nama yang sama di biodata tersebut. Taaruf sendiri kupilih sebagai langkah mencari pendamping hidup. Tak ingin berpacaran karena memang tak diizinkan dalam syariat dan keluarga. Prinsip saya hanya satu saat itu. Jika ada yang berkenan untuk taaruf padaku, Insyaa Allah saya akan terima untuk melanjutkan hingga jenjang pernikahan.

Perjalanan saya dari Lenteng Agung ke Pasar Minggu membutuhkan waktu 45 menit. Maklum, kondisi penumpang yang sepi, sang sopir menunggu penumpang yang masih tidur di rumah. Untuk tiba di rumah guruku, masih satu angkot lagi mengantarkan hingga ujung gang. Kunaiki angkot merah tak berpenumpang. Tepat di belakang supir, saya duduk menghadap pintu masuk angkot. Kurang lebih 15 menit angkot itu menunggu tambahan penumpang. Ya Allah, lama bener ini angkot jalannya, pikirku. Seketika datang sebuah motor memarkir tepat disisi pintu masuk. Seperti tak membolehkan orang lain untuk naik. Pengemudi motor tersebut membuka masker wajah, lalu menyeka wajahnya. “Hmmm, itu kenapa parkir di depan ya, khan ga bisa masuk orang. Kalau saya kenal ingin kutegur dia”, bathinku. Kuperhatikan sepertinya ku kenal wajah tersebut. Seketika pula, kutundukkan wajahku. Sambil berkata dalam hati, “Ya Allah, salahkanlah sangkaanku. Semoga bukan dia yang kumaksud”. Hati bertambah kencang berdetak. Tundukan kepala semakin malu untuk melihat. “Bang, ayo jalan. Udah lama nih”, mintaku pada pak supir. Benar saja, tak ada penumpang yang naik selain saya. Angkot pun perlahan jalan mengantarkanku seorang yang kebingungan.

Tibalah saya di rumah sang guru. Ustadzah berpesan, agar nanti saya boleh bertanya banyak dan lengkap. Jangan ragu-ragu untuk bertanya agar tak menyesal kelak. 15 menit kemudian, datanglah suami Ustadzah beserta anaknya. Rupanya sang Abi baru mengantarkan anaknya berenang. Abi, aku memanggil suami Ustadzah. Beliau datang bersama seorang lelaki yang turut membututi motornya di belakang. “Ayo Frie, duduk sini. Sudah siap ya kita mulai taarufnya”, ujar Abi. Waduh, hatiku berdetak kencang. Tanganku dingin. Sepertinya aku pernah bertemu sebelumnya dengan lelaki yang ada dihadapanku. Tapi dimana ya? Bathinku. Waaah aku baru ingat, itukan pengemudi motor di depan angkot tadi. Ya Allah. Ternyata benar. Aku mengenali baju yang tertutup jaket tadi. Waduh semakin malu rasanya.

Pertanyaan pun saling dilontarkan. Tak ingin ada yang ditutupi dari sisi dalam hidup saya. Saya uraikan sejelas-jelasnya. Begitu juga ikhwan tersebut. Jujur, saya sedikit takut untuk ditolak. Karena banyak sekali kekurangan yang ada pada diri saya. Saya hanya meminta pada Allah, semoga semua dipermudah. Akhirnya pertemuan taaruf pun usai. Setelah tak ada pertanyaan yang disampaikan. Tentunya taaruf ini belumlah dikatakan bahwa saya akan berjodoh dengan lelaki tersebut. Saya tetap menjaga kerahasiaan proses ini agar tak tersumbar di luar. Saya khawatir tak jadi saja.

Setelah usai proses taaruf tatap muka, saya diminta menunggu kabar dari ikhwan tersebut. Alhamdulillah dua pekan kemudian, ikhwan tersebut datang ke rumah. Sebelum proses datangnya ikhwan, saya diminta untuk melobi kedua orang tua agar menyiapkan diri bahwa akan datang berkenalan. Tiap hari saya melobi ummi dengan menyatakan bahwa anak perempuanya akan dipinang. Hari pertama lobi, ummi menganggap saya mengigau. Sampai di hari ke 5, barulah kartu hijau diterima. Alhamdulillah, akhirnya bisa juga saya nikah. Ujarku dalam hati.

Lelaki itu datang di hari Sabtu. Ikhwan tersebut memperkenalkan diri maksud dan tujuan kedatangannya kepada orang tua saya. Saya tak turut dalam pertemuan tersebut. Saat itu saya sakit.

(Bersambung)

Pojok kamar, 20 Mei 2020

#TantanganGurusiana

#Harike70

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post