Edy Siswanto

Dr. Edy Siswanto, S.Pd., M.Pd. adalah Doktor Bidang Manajemen Kependidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Pemerhati Politik dan Pendidikan, Lulus ter...

Selengkapnya
Navigasi Web

SMK : "BISA BUBAR", KARENA LULUSAN TIDAK KOMPETEN?

LULUSAN SMK TIDAK KOMPETEN?

Oleh : Edy Siswanto

Lebih dari satu setengah dasawarsa SMK mendapat perhatian lebih. Inpres 9 tahun 2016 menjadi ending senjata utama untuk mendobrak kebangkitkan SMK. Dari sebelumnya sebagai pendidikan kelas dua, kini seolah SMK naik kasta menjadi diatas setelah SMA. Benarkah? Berbagai program dilaksanakan untuk menggenjot pertumbuhan SMK baik kuantitas maupun kualitas.

Revitalisasi SMK seolah menjadi keharusan bagi SMK untuk bisa berjalan sesuai rel dan kemajuan bangsa ditandai dengan sejauh mana keberhasilan pendidikan vokasi untuk mendorong pembangunan bangsa.

Gelontoran dana untuk kemajuan SMK dilakukan. Dari mulai sarana prasarana, kurikulum, kompetensi guru, kerjasama industri digenjot.

Namun belum semua "untung" mendapatkan gelontoran buah revitalisasi SMK.

Faktanya belum semua sekolah mendapatkannya sekalipun sekolah negeri. Masih terkesan sekolah-sekolah itu saja yang mendapatkannya.

SMK masih banyak menyisahkan problem belum lagi seiring dengan beralihnya kewenangan pengelolaan SMA/SMK ke propinsi sejak awal tahun 2017.

Slogan "SMK BISA" dapat "serangan" yang kurang mengenakan, kenapa? pasalnya lulusan SMK disebut penyumbang pengangguran terbesar dinegeri ini.

Dari angkatan kerja tujuh juta lebih setiap tahunnya, tercatat sebelas persen lebih pengangguran disumbang dari lulusan SMK. Miris mendengarnya.

Hal ini diucapkan langsung seorang pejabat tinggi negara sekelas menteri.

Segala formula dilakukan untuk kemajuan pendidikan vokasi. Namun rasanya masih banyak menyisahkan berbagai problem yang tak kunjung akhir.

Digenjot SMK tumbuh subur dimana-mana baik negeri maupun swasta. Tak kurang setiap kabupaten berdiri 50an SMK. Hampir setiap kecamatan ada SMK. Bahkan bisa ada 4-5. Memang didorong jumlah SMK 70 persen dan 30 persen SMA. Apa yang terjadi? Suatu saat yang terjadi ketidakseimbangan antara demand dan suplai. Manakala lulusan banyak sementara industri penyedia pekerjaan tidak ada. Ditambah kurang ramahnya iklim investasi sulitnya mencari pekerjaan dan susahnya membuka usaha baru bagi lulusan SMK.

Kenapa SMK masih banyak menyisahkan problem yang tidak berkesudahan? Dan kenapa lulusan SMK sebagai penyumbang terbesar pengangguran? Bagaimana solusinya?

Tulisan ini akan coba menganalisisnya.

Setidaknya ada empat hal kenapa SMK masih menyisahkan problem yang tidak berkesudahan.

Analisa ditinjau dari input, proses, output dan outcome.

Pertama, input. Input SMK masih kalah dengan SMA. Diakui atau tidak masih ada image lulusan SMK akan bekerja sebagai karyawan dan pegawai rendahan dikalangan calon siswa. Input dengan kadar kecerdasan pas-pasan. Banyak diisi kalangan menengah kebawah. Sekalipun tidak benar juga. Banyak lulusan SMK yang sukses baik wirausaha, bos manager perusahaan maupun pimpinan instansi dipemerintahan. Bisa dilihat dari perolehan nilai. Lulusan SMP masih jarang melirik ke SMK sebagai pilihan utama. Baru setelah tidak diterima di SMA favoritnya beralih ke SMK.

Tantangan tersendiri bagaimana image SMK untuk bisa bersaing dengan SMA papan atas. Prosentase dari segi kualitas lulusan yang tidak kalah sesuai jurusannya.

Kedua, Proses. Dalam proses pendidikan sebagai tolok ukur keberhasilan adalah pelaksanaan di sekolah. Kegiatan belajar mengajar (KBM) acuan adalah pembelajaran praktek dibengkel maupun laboratorium. Rasanya masih jauh panggang dari api. Standar pelayanan minimal (SPM) peralatan praktek dari segi jumlah, jenis, belum lagi bisa menyesuaikan cepatnya perkembangan teknologi di industri.

Tak ayal apabila lulusan SMK "tidak bisa apa-apa". Bingung dan beda jauh ketika dihadapkan dengan dunia industri yang begitu pesat perkembangannya.

Ketiga, output. Diakui manakala input dan proses sedemikian rupa yang terjadi output SMK kurang bisa diperhitungkan di dunia kerja. Apabila disandingkan dengan Industri tidak begitu membutuhkan skill dan kompetensi tinggi namun yang dibutuhkan soft skill. Disini pekerjaan tambahan bagaimana SMK bisa menyediakan lulusan handal dengan soft skill tinggi.

Keempat, outcome. Jika dihimpun lulusan SMK berhasil tidak sedikit. Prinsip industri sebagai bapak asuh menjadi keharusan untuk membina SMK dalam satu kawasan. Progam kawasan industri menjadi keniscayaan ditambah penelusuran tamatan yang berhasil untuk ikut peran serta dalam kemajuan SMK yang dulu pernah disana belajarnya.

Benarkah SMK sebagai penyumbang pengangguran terbesar? dan bagaimana solusinya?

Setidaknya ada enam hal kenapa SMK penyumbang pengangguran dinegeri ini dan solusinya.

Pertama, sudah lama kurikulum SMK miskin inovasi. Sinkronisasi dan penyelarasan kurikulum implementatif SMK dengan industri masih jauh ketinggalan. Diperlukan duduk bersama antara sekolah dan industri untuk merumuskan bagaimana sesuai kebutuhan masing-masing. Industri yang butuh lulusan SMK untuk memenuhi pangsa pasar pekerjaan lebih tahu banyak bagaimana profil yang dibutuhkan sesuai jurusannya.

Penyelipan muatan kurikulum industri disini sangat dibutuhkan untuk bagaimana siswa ketika lulus siap ditampung di industri karena telah mengenal lebih dahulu ketika di sekolah. Sebagai konsekuensi pemenuhan alat sesuai harapan industri mesti ada dan terpenuhi.

Kedua, belum bisa maksimalnya prinsip Link and Match yang mesti dilakukan SMK. Prinsip praktek di SMK 70%, teori 30% nampaknya belum sepenuhnya bisa berjalan. Dilapangan masih banyak terjadi kebalikannya, SMK sastra masih banyak. Masih banyak yang hanya mengajarkan teori. Karena minimnya peralatan alat praktek dibengkel. Solusi ditempuh memperketat pendirian SMK bukan sebaliknya. Diperlukan standarisasi SMK. Kalau memang tidak layak agar menggabung dengan sekolah yang layak. Harapan bisa memperbanyak Praktik Lapangan (Prakerin) susah dipenuhi.

Disamping terbatasnya industri yang relevan. Terobosan dilakukan pemerintah dengan menggencarkan dorongan kerjasama dengan industri. Sebagai bentuk Link and Match yang pernah jauh hari digagas menteri Wardiman diera 90an.

Kini coba lagi digencarkan lewat berbagai program sebagai bentuk Link and Match : Sekolah Kawasan Industri, sinkronisasi dan penyelarasan pendidikan kejuruan dengan industri. Memperlama masa prakerin siswa di industri dari 3-4 bulan menjadi 6 bulan.

Ketiga, Prinsip laboratorium industri bagi SMK belum bisa berjalan. Karena ini yang menjamin lulusan SMK bisa tertampung. Manakala ini tidak berjalan benar kiranya "benar" lulusan SMK penyumbang pengangguran terbesar. Diperlukan kerjasama lintas sektoral antar kementerian terkait. Untuk menjamin SMK sinkron tempat praktik di industri.

Ada jaminan tindakan tegas pemerintah bagi industri yang tidak mau membina dan juga berikan timbal balik keuntungan bagi industri.

Kedepan setiap kementerian yang memiliki unit usaha pengguna dibidang vokasi harus bekerja bersama dan menggunakan dan kerjasama dengan SMK baik rekruitmen maupun prakerin.

Harapannya Lulusan SMK yang bisa setiap tahun mencapai 600an ribu bisa terserap dipangsa pasar kerja dan industri relevan.

Keempat, masih minimnya guru produktif kejuruan bidang keahlian sesuai bidangnya. Diakui masih minimnya guru pengampu produktif terutama jurusan langka yang belum ada stoknya dari lulusan perguruan tinggi.

Upaya memproduk guru-guru Produktif program keahlian ganda (PKG). Disatu sisi adalah upaya prematur solusi bypass menyediakan kekurangan guru produktif. Bagaimana ada jaminan untuk guru hasil program keahlian ganda menguasai kompetensinya? Hanya ditempuh kurang dari satu tahun? Sedangkan lulusan murni teknik atau keguruan teknik yang menempuh pendidikan selama 4-5 tahun saja tidak kompeten?.

Sebagai solusi pendek problem kekurangan guru produktif dipenuhi dengan PKG. Cara lain dengan Merekrut profesional handal dari industri bisa ditempuh untuk memenuhi kekurangan tersebut.

Kelima, masih lemahnya kemampuan skill guru produktif sesuai bidangnya. kemampuan skill yang ditopang pengalaman dan keahlian Industri guru kejuruan sangat minim. Progam guru magang industri perlu digalakkan dan didorong untuk terlaksananya.

Keenam, keberhasilan akreditasi sekolah sebagai jaminan mutu eksternal benar terjaga. Didorongnya pendirian Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP P1) dimasing-masing sekolah. Satu sisi untuk menggenjot bagaimana sekolah memenuhi standar minimal pelayanan praktek. Sebagai Tempat Uji Kompetensi (TUK). Peran Asessor Kompetensi didorong.

Demikian jaminan pelaksanaan uji kompetensi dengan prinsip industri mesti bisa dilaksanakan. Perlu digodok aturan regulasi penguji Asessor dengan sistem silang baik antar sekolah bahkan lintas daerah sebuah keniscayaan.

Asessor Kompetensi selama ini kurang diperhatikan. Bahkan tidak diberdayakan para Asessor Kompetensi. "Masih sama antara Asessor dan tidak Asessor." Padahal itu salah satu jaminan untuk memproduksi siswa kompeten yang diuji oleh Asessor. Sehingga siap masuki dunia kerja dan industri...semoga...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Joss...bos...trims...

19 Nov
Balas

Sip! Sebuah analisis yang cermat dan tajam. Perlu pengendalian ketat pada SMK. Shg tdk ada lagi 'SMK Sastra" yg merupakan suatu bentuk pembohongan publik. Juga dlm penerimaan siswa jangan sampai jor-joran.

19 Nov
Balas



search

New Post