Edy Siswanto

Dr. Edy Siswanto, S.Pd., M.Pd. adalah Doktor Bidang Manajemen Kependidikan Universitas Negeri Semarang (Unnes), Pemerhati Politik dan Pendidikan, Lulus ter...

Selengkapnya
Navigasi Web
POLITIK PENDIDIKAN Sebuah Wacana Membangun Paradigma Baru Sistem Pendidikan dalam Perspektif Islam

POLITIK PENDIDIKAN Sebuah Wacana Membangun Paradigma Baru Sistem Pendidikan dalam Perspektif Islam

POLITIK PENDIDIKAN Sebuah Wacana Membangun Paradigma Baru Sistem Pendidikan dalam Perspektif Islam

Edy Siswanto

Pagi tadi saya dapat japri dari Mas Muhammad Ramli Rahim (MRR). Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI). Begini isi whatsapnya.

Kurikulum Indonesia Perlu Berubah?? Sultan Muhammad Al Fatih Sudah Jadi Sultan Naik Tahta Kembali di Usia 19 tahun dan Usia 21 Tahun Sudah Menaklukkan Konstantinopel, Menguasai Banyak Bahas Dengan Kepemimpinan Dan Manajemen Yang Luar Biasa Hasil Dari Pendidikan Saat itu.

Umar Bin Abdul Azis, Sudah Menjadi Gubernur di Usia 24 Tahun dan Menjadi Khalifah/Presiden di Usia 35 Tahun dan Hanya Butuh Waktu 2 Tahun 135 hari untuk Menghapuskan Kemisikinan di Wilayah Yang Jauh Lebih Luas Dari Indonesia Bahkan Tak Seorang Pun Lagi Yang Mau dan Layak Menerima Zakat.

Kini Kurikulum Pendidikan Kita, Tamat SMK Usia 18 Tahun Malah Mengisi Porsi Pengangguran Terbesar, Usia 22 Tahun Sarjana, Kerja Kagak, Nikah Pun Tak Berani. Belajar Bahasa Inggris Sejak SMP bahkan Sejak SD tapi bertutur Bahasa Inggris pun tak berani.

Bahkan Kadang, Diusia 39 Tahun Masih Bangga Menjadi Ketua KNPI atau Organisasi Kepemudaan Lainnya.

Saya balas. Ya mas benar. ayo kita buat grand design baru. Arah pendidikan indonesia. Hanya dengan sistem pendidikan islam sajalah yang bisa mewujudkannya. Beliau balas lagi. Ayo kita dorong mas.

Untuk membincangkan lontaran keluhan dari Mas Ketum IGI. Saya jadi ingat tulisan beberapa tahun lalu. Diambil dari beberapa sumber.

Referensi saya sadur dari Buku "Dakwah Islam dan Tantangan Masa Depan Umat" karya Abdurahman Albaghdadi. Intelektual muslim Iraq yang hidup di Australia dan pernah tinggal di Indonesia.

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan semester satu kuliah S2 Pascasarjana Manajemen Pendidikan Unnes Semarang. Tahun 2007. Sudah didiskusikan. Dengan pengampu Prof. Dr. Soesanto.

Robert R. Gullick Jr., dalam bukunya Muhammad, The Educator, menyatakan. Nabi Muhammad merupakan seorang pendidik yang membimbing manusia menuju kemerdekaan dan kebahagiaan yang lebih besar. Tak terbantahkan lagi bahwa Nabi Muhammad sungguh telah melahirkan ketertiban dan stabilitas yang mendorong perkembangan islam, suatu revolusi sejati yang memiliki tempo yang tidak tertandingi dan gairah yang menantang. Hanya konsep pendidikan yang paling "dangkal" yang berani menolak keabsahan meletakkan Muhammad diantara pendidik-pendidik besar sepanjang masa, karena dari sudut pragmatis, seorang yang mengangkat perilaku manusia adalah seorang pangeran diantara pendidik. Pendidikan merupakan bagian kebutuhan mendasar manusia (al-hajat al-asasiyyah) yang harus dipenuhi oleh setiap manusia seperti hanya pangan, sandang, perumahan dan kesehatan. Pendidikan adalah bagian dari masalah politik (siyasah) yang diartikan sebagai ri’ayah asy-syu’un al-ummah (pengelolaan urusan rakyat) berdasarkan ideologi yang diemban Negara.

Berdasarkan pemahaman mendasar ini politik pendidikan (siyasah at-ta’lim) suatu Negara sangat ditentukan oleh ideologi (pandangan hidup) yang diemban oleh suatu Negara tersebut. Faktor-faktor inilah yang menentukan tipologi dan karakter masyarakat yang dibentuknya. Dengan demikian politik pendidikan bisa dipahami sebagai strategi pendidikan yang dirancang negara dalam upaya menciptakan kualitas human resources (sumberdaya manusia) yang dicita-citakan.

Sistem pendidikan yang ditegakkan berdasarkan ideologi sekulerisme-kapitalisme atau sosialisme-komunisme dimaksudkan untuk mewujudkan struktur dan mekanisme masyarakat yang sekuler-kapitalis atau sosialis-komunis. Seluruh sub sistem (ekonomi, sosial, politik, pemerintahan, politik luar dan dalam negeri, hukum pidana, dll) yang menopang masyarakat itu ditegakkan berdasarkan asas ideologi yang sama. Bukan yang lain. Demikian pula dengan islam. Akan membangun masyarakat yang sesuai dengan cita-cita ideologinya. Model masyarakat yang diciptakannya tentu saja akan berbeda dengan masyarakat yang dibentuk oleh kedua sistem ideologi tersebut.

Melalui pengamatan terhadap karakteristik ideologi tersebut jejak langkah sistem pendidikan yang berlangsung akan mudah dipahami. Sistem pendidikan sekuler-kapitalis melahirkan strategi pendidikan sekuler sehingga pada gilirannya akan menciptakan tipologi masyarakat sekuler-kapitalis. Begitu pula sistem pendidikan sosialis-komunis maupun islam.

Alhasil pemahaman tentang karakter ideologi ini menjadi sangat penting untuk dipahami. Ketidakpahaman terhadap ideologi yang dianut akan menyebabkan pemahaman yang bias terhadap seluruh sistem yang akan dibangun. Hal itu berimbas pada ketidakpahaman terhadap tujuan suatu sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya. Giliran berikutnya sistem pendidikan yang dijalankan hanya akan membuat program-program pendidikan sebagai sarana trial and error dan menjadikan peserta didik sebagai kelinci percobaan.

Pendidikan yang sekuler-materialistik saat ini merupakan produk dari ideologi sekuler yang terbukti telah gagal menghantarkan manusia menjadi sosok pribadi yang utuh. Yakni seorang manusia yang salih dan muslih. Manusia yang sekaligus menguasai Ilmu pengetahuan dan teknologi. Juga menguasai ilmu agama. Dalam istilah Zaenuddin MZ manusia yang berotak Jerman dan berhati Mekah. Mengapa hal itu gagal terjadi? Hal ini disebabkan oleh dua hal.

Pertama, paradigma pendidikan pada ideologi sekuler, yang tujuannya sekedar membentuk manusia-manusia yang berpaham materialistik dalam pencapaian tujuan hidup, hedonistik dalam budaya masyarakatnya, individualistik dalam interaksi sosialnya, serta sinkretistik dalam agamanya.

Kedua, kerusakan fungsional pada tiga unsur pelaksana pendidikan, yakni. Pertama, Lembaga pendidikan formal yang lemah, tercermin dari kebingungan "arah" kurikulum yang belum disesuaikan dengan kondisi yang ada, serta tidak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya. Kedua, kehidupan keluarga yang tidak mendukung. Ketiga, kondisi masyarakat yang tidak kondusif.

Asas yang sekuler mempengaruhi penyusunan struktur kurikulum yang tidak memberikan ruang semestinya pada proses penguasaan ilmu dan pengetahuan agama serta sekaligus pembentukan kepribadian islam yang tangguh. Guru dan dosen sekedar sebagai pengajar dalam proses transfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), tidak sebagai pendidik yang berfungsi dalam transfer ilmu pengetahuan dan kepribadian (transfer of personality), karena memang kepribadian sebagian guru/dosen sudah tidak lagi pantas menjadi contoh dan diteladani.

Lingkungan fisik sekolah yang tidak tertata dan terkondisi secara islami turut menumbuhkan budaya yang tidak memacu proses pembentukan kepribadian peserta didik. Akhirnya rusaklah pencapaian pendidikan yang dicita-citakan. Pada orang tua juga kurang sungguh-sungguh menanamkan dasar-dasar keagamaan yang memadai kepada anaknya.

Lemahnya pengawasan terhadap pergaulan anak dan minimnya teladan dari orang tua dalam sikap keseharian terhadap anaknya makin memperparah terjadinya disfungsi rumah sebagai salah satu unsur pelaksana pendidikan. Masyarakat yang semestinya menjadi media pendidikan real, juga berperan sebaliknya yaitu menegasikan hampir seluruh proses pendidikan di rumah dan persekolahan. Sebab dalam masyarakat berkembang sistem nilai sekuler. Mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun tata pergaulan sehari-hari. Berita-berita pada media masa juga cenderung mempropagandakan hal-hal negatif.

Oleh karena itu penyelesaian problem pendidikan yang mendasar harus dilakukan pula secara fundamental. Hal itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekuler menjadi paradigma pendidikan islam. Pada tataran derivatnya, kelemahan ketiga faktor diatas diselesaikan dengan cara memperbaiki strategi fungsionalnya sesuai dengan arahan islam.

Politik Pendidikan Islam

Pendidikan dalam islam harus kita pahami sebagai upaya mengubah manusia dengan pengetahuan tentang sikap dan perilaku yang sesuai dengan kerangka nilai atau ideologi islam. Dengan demikian, pendidikan dalam islam merupakan proses mendekatkan manusia pada tingkat kesempurnaannya dan mengembangkan kemampuannya yang dipandu oleh ideologi atau akidah islam.

Secara pasti tujuan pendidikan islam adalah menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkepribadian islami. Dalam arti cara berfikirnya harus didasarkan pada nilai-nilai islam serta berjiwa sesuai dengan ruh dan nafas islam. Metode pengajarannya juga harus dirancang untuk mencapai tujuan tersebut. Setiap metode yang tidak berorientasi kepada tujuan tersebut harus dihindarkan. Jadi pendidikan islam bukan semata-mata melakukan transfer of knowledge, tetapi memperhatikan apakah ilmu pengetahuan yang diberikan itu dapat mengubah sikap atau tidak.

Dalam kerangka ini diperlukan monitoring yang intensif oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk pemerintah (negara), terhadap perilaku peserta didik. Sejauh mana mereka terikat dengan konsepsi-konsepsi islam berkenaan dengan kehidupan dan nilai-nilainya. Rangkaian selanjutnya adalah tahap merealisasikannya sehingga dibutuhkan program pendidikan dan kurikulum yang selaras, serasi dan berkesinambungan dengan tujuan diatas.

Kurikulum dibangun diatas landasan akidah islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya disusun selaras dengan asas itu. Konsekwensinya waktu untuk mempelajari tsaqofah islam dan nilai-nilai yang terdapat didalamnya mendapat porsi yang besar. Ilmu-ilmu terapan diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).

Di tingkat perguruan tinggi (PT) kebudayaan asing dapat disampaikan secara utuh. Misalnya materi tentang ideologi sosialisme-komunisme atau sekulerisme-kapitalisme dapat disampaikan untuk diperkenalkan kepada kaum muslimin setelah mereka memahami islam secara utuh. Pelajaran ideologi selain islam dan konsepsi-konsepsi lainnya disampaikan bukan bertujuan untuk dilaksanakan, melainkan untuk dijelaskan serta dipahami cacat-cela dan ketidaksesuainnya dengan fitrah manusia.

Pada jenjang perguruan Tinggi tentu saja dibuka berbagai jurusan, baik dalam cabang ilmu keislaman maupun jurusan lainnya seperti teknik, kedokteran, kimia, fisika, sastra, politik, dll. Dengan demikian peserta didik bisa memilih sesuai dengan keinginan dan kebutuhan.

Dengan model sisitem pendidikan islam seperti ini, kekhawatiran akan munculnya dikotomi ilmu agama dan ilmu duniawi tidak akan terjadi. Dikotomi itu hanya terjadi pada masyarakat sekuler-kapitalis, tidak dalam masyarakat islam. Generasi yang akan dibentuk adalah SDM yang mumpuni dalam bidang ilmunya sekaligus memahami nilai-nilai islam serta berkpribadian islam yang utuh.

Berbagai paradigma dasar dalam sisitem pendidikan islam adalah sebagai berikut,

Pertama, prinsip kurikulum, strategi dan tujuan pendidikan didasarkan pada akidah islam tujuannya adalah membentuk sumber daya manusia yang terdidik dengan aqliyah islamiyah (pola pikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap islami).

Kedua, Pendidiklan harus diarahkan pada pengembangan keimanan sehingga melahirkan amal salih dan ilmu yang bermanfaat.

Ketiga, Pendidikan ditujukan dalam rangka membangkitkan dan mengarahkan pada potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisasi aspek buruknya.

Keempat, Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Keteladanan yang harus diikuti adalah Rasullullah SAW, merupakan figur sentral bagi manusia.

Kelima, Strategi dan arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat dilihat dalam kerangka, bahwa tujuan utama ilmu yang dikuasai manusia adalah dalam rangka untuk mengenal Allah SWT sebagai al-khalik. Mengangagungkan-Nya, serta mensukuri seluruh nikmat yang telah diberikan-Nya.

Keenam, Ilmu harus dikembangkan dalam rangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah SWT semata sehingga setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapapun tanpa pandang bulu.

Ketujuh, Ilmu yang dipelajari ditujukan untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta.

Kedelapan, Ilmu dikembangkan dalam rangka mengambil manfaat untuk ibadah kepada Allah SWT, karena Allah telah menundukkan matahari, bulan, bintang, dan segala hal yang terdapat di langit atau dibumi untuk kemaslahatan umat manusia.

Kesepuluh, Ilmu yang dikembangkan dan teknologi yang diciptakan tidak ditujukan dalam rangka menimbulkan kerusakan dimuka bumi atau pada diri manusia itu sendiri.

Tujuan Pendidikan Islam.

Adapun tujuan pendidikan dalam islam adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka membentuk manusia yang memiliki. Pertama, Kepribadian islam. Tujuan ini merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim, yaitu keteguhan dalam memegang identitas kemuslimannya dalam pergaulan seghari-hari. Identitas itu tampak pada dua aspek yang fundamental yaitu : pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) yang berpijak pada akidah islam. Paling tidak terdapat tiga langkah untuk membentuk kepribadian islam yaitu, dengan menanamkan akidah islam sebagai akidah aqliyah. Akidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam-kepada setiap orang. Menanamkan sikap konsisten dan istiqomah kepada setiap orang agar cara berfikir dan kecenderungan insaninya tetap berada diatas pondasi akidah yang diyakininya. Dan mengembangkan kepribadian dengan senantiasa mengajak setiap orang bersungguh-sungguh dalam mengisi pemikirannya dengan tsaqofah islamiyah dan mengamalkan perbuatan yang selalu berorientasi kepada ketaan kepada Allah SWT.

Kedua, Menguasai tsaqofah islamiyah dengan handal Islam mendorong setiap orang untuk menjadi manusia yang berilmu dengan cara mewajibakannya untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajibannya, menurut Al-Ghazali, ilmu dibagi dalam dua kategori. Yaitu, Ilmu yang fardlu ain, yaitu wajib dipelajari setiap muslim seperti : ilmu-ilmu tsaqofah islam yang terdiri dari konsepsi, ide, dan hukum-hukum islam (fikih), bahasa arab, sirah Nabi, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Usul Fikih, dll. Dan Ilmu yang dikategorikan fardlu kifayah, biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains dan teknologi serta ilmu terapan-ketrampilan seperti, biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll.

Ketiga, Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, ilmu, dan teknologi/IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifatullah di muka bumi dengan baik. Islam menetapkan penguasaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu kewajiban yang harus dikerjakan oleh sebagian muslim apabila ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat seperti, kedokteran, kimia, fisika, industri penerbangan, biologi, teknik, dll. Pada hakikatnya ilmu pengetahuan terdiri atas dua hal yaitu. Pertama, Pengetahuan yang mengembangkan akal manusia sehingga ia dapat menentukan suatu tindakan tertentu. Kedua, Pengetahuan mengenai perbauatan itu sendiri. Allah SWT telah memuliakan manusia dengan akalnya. Allah menurunkan Al-Qur’an dan mengutus Rasul-Nya dengan membawa islam agar beliau menuntun akal manusia dan membimbing-Nya kejalan yang benar. Pada sisi yang lain islam memicu akal untuk dapat menguasai IPTEK karena dorongan dan perintah untuk maju merupakan buah dari keimanan.

Keempat, Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdaya guna penguasaan ketrampilan yang serba material ini merupakan tuntutan yang harus dilakukan manusia daalan rangka pelaksanaan amanah dari Allah SWT. Hal ini dengan diindikasikan dengan terdapat banyak ayat-ayat Allah yang menyatakan setiap muslim untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan. Hal ini dihukumi sebagai fardlu kifayah.

Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan

Dalam islam, negara berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan. Negara wajib mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah dan murah bahkan sampai gratis. Jika melihat sejarah Kekhalifahan islam, kita akan melihat perhatian para khilafah (kepala negara) yang sangat besar terhadap pendidikan rakyatnya. Demikian pula perhatiannya yang besar terhadap nasib para pendidiknya. Sebagai contoh Imam Ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al-Wadhiyah bin Atha yang menyatakan bahwa di Kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4, 25 gram emas). Apabila 1 gram emas = Rp. 600.000, X 4, 25 X 15 = Rp. 38.250.000. Ini gaji guru 13 abad lalu. Luar biasa. Bandingkan dengan sekarang.

Fakta menunjukan kepada kita bahwa para kepala negara kaum muslimin (khalifah) bukan hanya tertuju kepada gaji para guru dan biaya sekolah, tapi juga sarananya seperti : perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Diantara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (w. 940 M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis seperti : pena, tinta, kertas, dll. Bahkan para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberi pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar-Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengijinkan peminjaman buku sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhlifahan islam abad 10 M. Bahkan para khalifah memberi penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberi imbalan emas seberat buku yang ditulisnya

Demikian pemaparan politik pendidikan islam, sangat jelas keunggulan sistem pendidikan islam yang diatur oleh syariat islam. Dengan bersikap objektif terhadap syariat islam, seharusnya manusia yang jujur, berfikir, dan memiliki nurani yang jernih akan kembali ke sistem pendidikan islam.

Sistem pendidikan ini yang mampu mengahasilkan tokoh dan ulama mujtahid tangguh sekelas Umar Bin Abdul Aziz, Muhammad Alfatih, Imam Safii, Alghazali, Alkhwarizmi, Alfarabi dll. Sistem pendidikan islam ini hanya bisa hidup dan tumbuh subur dalam kerangka naungan negara yang menerapkan sistem islam. Negara yang menerapkan sistem islam dalam segala aspek kehidupannya. Dari mulai bangun pagi, masuk wc, sampai ke pendidikan, pemerintahan, politik, ekonomi, keamanan, sosial dan budayanya. Seperti yang di contohkan baginda Rasullullah SAW dan para khulafaurasyidin.

Wallahu a"lam bi ashowab..

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post