MENJAGA RAHASIA
JamKos, Jam Kosong. Dikalangan siswa istilah itu seperti "durian runtuh". Sebuah kebahagiaan yang tiada tara. Saya sering berpikir mengapa siswa begitu gembira saat ada jam kosong. Sepertinya sekolah hanyalah sebuah siksaan yang membatasi ruang gerak dan ekspresi mereka. Jadi ketika mereka mendapati guru mereka tak hadir karena suatu sebab maka mereka sangat "bersyukur", mengepalkan tangan daan "yess! ". Hahahhh.
Namun ada kalanya mereka mengekspresikan bentuk ungkapan kegembiraannya itu dengan hal hal yang sedikit "nyeleneh" seperti yang pernah saya alami sendiri sekitar 16 tahun yang lalu di sebuah kelas di madrasah tempat saya mengabdi sampai sekarang ini.
Waktu itu Madrasah kami masih berlokasi di daerah Kupang Gunung Barat, dekat kawasan prostitusi yang konon katanya terbesar se Asia Tenggara. Kondisinya masih memprihatinkan. Tidak banyak yang meminati madrasah kami. Gedung yang kami tempati untuk Belajar Mengajar adalah bekas Bong Seng atau pekuburan China, berlantai semen yang pecah pecah, atap seng yang kalau hujan suka 'melambai lambai' dan mengeluarkan suara yang 'merdu' di telinga. Atapnya yang bocor, tiyang kayu yang hampir roboh dan plafon yang tak utuh lagi membuat kami para guru mengumpulkan anak anak jadi satu di teras depan, tempat yang sedikit aman dari kebocoran bila ada hujan. Kadang kalau hari gelap dan mendung yg gulita, sebelum turun hujan mereka kami pulangkan. Khawatir dengan keselamatan mereka.
Madrasah kami hanya memiliki 3 kelas. Masing masing tingkat hanya mempunyai 1 Rombongan belajar. Isinya kurang lebih 30 siswa, seringkali kurang dari itu. Maklum, mungkin masyarakat di sana kurang berminat untuk menyekolahkan putra putri mereka di Madrasah kami, entah karena melihat kondisi fisik madrasah maupun tingkat kesadaran masyaratnya yang kurang 'care' terhadap pendidikan agama putra putrinya. Jadi jika ada putra mereka yang dititipkan di madrasah kami, biasanya karena tidak diterima di SMP negeri. Yang penting sekolah. Yah, meskipun ada juga, satu dua orang tua yang memang benar benar menginginkan putranya sekolah di Madrasah.
Kami menerima dengan ikhlas hati, dan berusaha memahami kondisi mereka dengan latar belakang yang beragam itu. Sehingga, karakter siswa kami rata rata 'berbeda' dengan mereka mereka yang ada di sekolah sekolah lainnya. Kalau orang lain mengatakan mereka 'nakal',, kami menyebutnya itu bukan nakal tapi "kreatif'. Orang lain memandangnya sebagai 'kenakalan', kami menyebutnya sebagai "kreativitas". Berikut ini adalah cerita tentang sebuah 'kreativitas' yang dibuat oleh salah satu diantara mereka yang saya masih ingat sampai sekarang.
Saat itu jam kosong, karena ada rekan guru sedang berhalangan hadir karena tugas luar yang harus segera diselesaikan. Beliau meninggalkan tugas dan menitipkan kelasnya pada saya yang sedang mengajar bersebelahan ruangan. Setelah saya memberi tugas kepada mereka, saya kembali melanjutkan mengajar di kelas sebelahnya. Mula mula suasana tenang dan anak anak mengerjakan tugas yang diberikan. Tiba tiba kegaduhan terdengar. Beberapa anak perempuan menjerit jerit dan berteriak, sedangkan anak laki laki tertawa tawa. Riuh tak terkira. Saya dan seorang rekan guru pria bergegas menghampiri mereka. Ia bertanya, apa yang sedang terjadi.
Melihat kami, mereka diam seribu bahasa. Salah seorang dari mereka dengan agak takut takut menyodorkan selembar kertas yang sudah diremas kepada kami. Suasana begitu hening. Anak anak tetap diam tak bersuara saat Pak Fulan (sebut saja begitu) menggenggam remasan kertas yang tadi diulurkan oleh mereka. Semuanya diam dan... ada kekhawatiran di wajah mereka. Sepertinya mereka menunggu reaksi pak Fulan. Jadi ingin tahu ada apa gerangan dengan kertas ini. Pelan Pak Fulan membukanya. Dan, braak. Pak Fulan menggebrak meja di depannya. Anak anak terlihat takut. Wajah mereka menunduk.
"Siapa yang menggambar ini? Ayo jujur, katakan ,siapa yang menggambar ini?" tanya pak Fulan kepada anak anak
Tak satupun dari mereka yang menjawab. Semuanya menunduk takut.
"Siapa yang tahu, siapa temanmu yang berani beraninya menggambar ini? Siapa yang tak bersedia memberitahu, saya anggap semuanya sama saja! Semuanya akan dihukum. "
Pak Fulan mulai tidak sabar. Tak seorangpun dari mereka yang bersedia mengakui. Bapak ibu guru yang berada di kantorpun ikut datang di kelas itu, ingin tahu apa yang telah terjadi sampai pak Fulan semarah itu. Pak Fulan pun mengancam akan menghukum semua anak dikelas itu jika tak ada yang mengaku atau memberitahukan nama temannya yang telah menggambar dikertas itu.
Saya juga penasaran. Gambar apa yang menyebabkan pak Fulan jadi geram. Saya hampiri pak Fulan. "Pak, coba kita rundingkan di kantor saja."
Kami kemudian menuju ruang guru bersama dengan bapak ibu guru lainnya.
"Gambar apa to pak?" tanya saya.
"Ini loh bu. Gambar yang tak pantas. Masak anak madrasah menggambar seperti ini?" Kata pak Fulan sambil mengulurkan remasan kertas tadi. Saya buka kertas itu,, dan ...waduh, pantas saja pak Fulan tak dapat menahan rasa marahnya karena dikertas itu ternyata digambar dengan jelas (menggunakan pensil) alat reproduksi pria lengkap dengan namanya dalam bahasa Jawa. Campur aduk antara marah, sedih dan ingin tertawa. Kami memutar otak bagaimana caranya untuk membuat anak mengakui perbuatannya. Yah, mereka harus belajar bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Sekaligus untuk memberitahukan bahwa hal itu tak pantas dilakukan oleh mereka.
"Baiklah pak, bu, saya coba memberi pengertian pada mereka. " Kata saya pada pak Fulan dan bapak ibu lainnya. Saya kembali ke dalam kelas dengan kertas bergambar tadi berada di tangan saya. Anak anak masih diam dan wajah yang ketakutan menunggu saya berbicara.
"Anak anak, ibu sudah melihat gambar itu. Mmm.. gambarnya bagus. Mirip sekali dengan aslinya. Ya memang seperti itulah bentuk alat reproduksi pria. Di pelajaran IPA biologi nti kamu pasti akan menemuinya." kata saya.
Mereka semua melongo seperti tak percaya dengan apa yang didengarnya. Mungkin mereka mengira saya akan marah besar dan menghukum mereka atas apa yang telah diperbuatnya.
Saya melanjutkan kata kata saya, " Semua anak laki laki yang berada disini punya kan?? Hayo kamu ingat ingat lantas coba bandingkan dengan gambar ini. Sama kan??" Kata saya tanpa menunjukkan gambar kepada mereka.
Anak anak perempuan menunduk malu dan menahan tawa. Anak laki laki pun tergelak dengan wajah yang merona. Saya terus berkata, " Tidak apa apa kalau kalian suka menggambar. Tak jadi soal juga bila kamu menggambar alat reproduksi pria. Tak mengapa juga kamu menyebutkannya. Karena memang bentuknya seperti itu. Namanya juga seperti itu. Nah, yang jadi masalah adalah jika sesudah kamu menggambar dan menamainya ,kamu sebarkan gambar itu kemana mana, dilihat oleh banyak orang yang belum tentu bisa menghargai "keindahan" sebuah karya. Itulah yang dinamakan dzalim, menempatkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Ibu tidak marah, karena yang kamu gambar itu memang seperti itulah adanya. Hanya, ibu minta lain kali berhati hati. Jangan kau sebar gambar itu. Tak baik dilihat teman teman perempuanmu. Jika kau sebar gambar itu sama saja kamu tunjukkan kepunyaanmu. Mengerti? Gambarlah sesuka hati, tidak mengapa. Cuma simpanlah untuk dirimu sendiri, mungkin kalau kamu mau kamu bisa tempel di dinding kamarmu, dan kamu pandangi sepuas hatimu, atau simpan di dompetmu kalau kamu tak malu." kata saya sambil tersenyum.
Sampai di sini anak anak tak bisa menahan tawa lagi. Tawa mereka pecah berderai, dan keceriaan menghias wajah mereka kembali.
"Tapi, kalian yang menggambar, kalian yang menyebar harus tetap bertanggung jawab. Ini adalah ujian kejujuran. Ibu sudah maafkan. Manusia memang tempat salah dan lupa. Ibu yakin, ini semua karena kamu belum mengerti bahwa hal seperti ini tabu untuk dilakukan. Yang penting jangan diulang. Mm.. Ibu tunggu kejujuranmu. Ketahuilah ksatria itu bertanggung jawab terhadap semua kesalahan kekhilafan yang telah diperbuatnya. Tak perlu mengakuinya di sini. Cukup dengan ibu saja, dan ibu tak akan memberitahukan bahwa dirimu yang telah melakukannya baik kepada temanmu maupun kepada bapak ibu guru lainnya. Itu nanti jadi rahasia kita berdua. Selamanya."
Begitulah, saya tinggalkan mereka untuk mengambil keputusan yang terbaik dalam hidupnya. Mengaku, atau tak mengakuinya. Sampai akhirnya, keesokkan harinya salah seorang dari mereka datang dan meminta maaf kepada saya, dan mengakui kesalahannya. Alhamdulilah, ternyata karakter jujur dan ksatria dimiliki oleh siswa saya. Semoga Allah SWT meridloi mereka semua, selalu sukses dan bahagia kehidupannya.
Sampai sekarang jika ada teman guru yang bertanya siapa sebenarnya yang menggambar itu, saya bilang saya lupa namanya, iya benar benar lupa namanya karena sudah luamaa. Dan itu tetap menjadi rahasia dalam hidup saya
#pengalamanunikkujadiguru.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Mantap bu, cara ibu mengatasi masalah perlu di contoh smg sukses sll.
Terimakasih bu, sukses selalu untuk bu Asmaniar
Yang jelas bukan saya lho bu.....kan saya gak punya...
Hahahh, bu Fe ada ada saja