Pemulihan Karakter Siswa Pasca Pembelajaran Daring
TERAPI PEMULIHAN KARAKTER SISWA PASCA PEMBELAJARAN DARING
Dra. Rosnawati, M. Hum
Akibat pandemi covid yang melanda sehingga mengharuskan dunia pendidikan melakukan pembelajaran daring. Selama tiga semester berjalan dalam lingkaran wabah itu, proses belajar mengajar tetap terlaksana meskipun dalam bentuk non tatap muka. Dengan demikian, guru dituntut untuk melakukan berbagai metode dan strategi untuk membelajarkan peserta didik. Begitupun dengan peserta didik, mereka juga mencari beragam cara agar bisa menerima dan memahami materi pelajaran yang disajikan oleh guru. Namun entah apa yang terjadi diantara jarak waktu dan tempat guru dengan siswa.
Tidak bisa dipungkiri bahwa teramat banyak hal-hal unik dan lucu yang terjadi ketika pembelajaran daring berlangsung. Khususnya yang dilakukan oleh siswa. Bisa dibayangkan ketika kita berhadapan saja di kelas masih juga banyak tingkah dan ulah, apalagi kita tidak bisa melihat dan mengontrol mereka secara langsung, yah terserah saja maunya. Bisa jadi guru sudah sibuk dengan penjelasan materi pelajaran melalui audio atau audio visual, dengan harapan siswa menyimak melalui layar yang ada di hadapannya. Namun kenyataan ada saja siswa yang tidak mengikuti materi itu, bahkan mereka membuka HP untuk hal lain yang tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Begitu seterusnya dengan berbagai macam gerak-gerik dan gaya belajarnya (kalau pun belajar).
Pada akhirnya Pembelajaran Tatap Muka Terbatas (PTMT) dilaksanakan. Saatnya bertemu langsung dengan siswa setelah sekian lama terhalang oleh keadaan. Sejalan dengan itu pula guru akan banyak berhadapan dengan keadaan siswa yang sedikit kelihatan asing, seperti ekspresi datar ketika melihat guru. Mereka kurang memberi respon atau jarang berinteraksi dengan guru saat pembelajaran berlangsung. Meskipun guru sudah berusaha memancing agar mereka mau berpendapat, menanggapi, dan lain sebagainya. Terkadang nampak kaku dan tegang di dalam kelas, tetapi sering pula muncul tingkah usil dan iseng layaknya seperti di rumah sendiri. Inilah barangkali bagian efek belajar daring selama ini. Lebih ironis lagi kelihatannya siswa kurang memiliki kedekatan emosional dengan gurunya. Bahkan boleh jadi ada siswa yang tidak mengenal wajah serta tidak mengetahui nama gurunya. Apalagi jika selama pembelajaran jarak jauh tersebut, yang tiba di layar telepon seluler mereka kebanyakan berupa deretan dan daftar tugas-tugas. Ketika itu siswa juga bingung tidak tahu harus bagaimana, akhirnya memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Maka menumpuklah tugas pelajaran di rumah dan selanjutnya guru bingung pula, nilai apa yang akan diolah diakhir pembelajaran.
Jika nilai akademik siswa yang kurang, masih ada solusi untuk memperbaiki. Ada banyak cara untuk belajar menambah pengetahuan apalagi di era digital ini, semua ada dalam genggaman. Tetapi jika nilai moral dan karakter siswa yang tergerus, hal ini sangat perlu diprihatinkan. Pembinaan sikap mental siswa membutuhkan kepedulian ekstra dari guru. Apalagi pasca pembelajaran daring, terjadi fenomena degradasi adab siswa. Banyak kejadian di lingkungan sekolah yang jelas-jelas melanggar etika. Siswa berperilaku sesukanya, terkadang tidak bisa menempatkan saat kapan harus serius belajar dan kapan bermain atau bercanda. Terlebih lagi di luar kelas seenaknya berteriak, berkata kasar, mengejek dan lain sebagainya yang sangat mengganggu kenyamanan pendengaran. Lebih parah lagi ketika siswa kurang menghargai guru, melanggar kesantunan sehingga terkadang bertindak sesuai kehendak.
Mencermati masalah sikap dan perilaku siswa pasca pembelajaran dari rumah, memang terdapat hal-hal yang perlu penanganan khusus. Dibutuhkan semacam terapi dalam rangka pemulihan karakter siswa. Begitu lama siswa berjarak dengan guru, banyak waktu yang terlewatkan untuk menjalin komunikasi hati antara guru dengan siswa. Tidak sedikit momen kebersamaan pembelajaran berlalu begitu saja. Akhirnya masing-masing sibuk dengan dirinya sendiri. Untuk itu urgensi strategi pembenahan adab siswa perlu diterapkan secara nyata dalam lingkungan sekolah.
Bentuk terapi pertama dilakukan di dalam kelas yakni menyadarkan siswa bahwa mereka sekarang sudah berada dalam kelas dan bertemu muka langsung dengan guru. Dalam bentuk yang sederhana tetapi sangat hakiki yaitu mengingatkan kembali tentang adab masuk kelas pada saat terlambat dan guru sudah berada di dalam. Tahapnya mengucapkan salam, memohon maaf atas keterlambatan dengan mengajukan alasan yang benar sampai dipersilahkan untuk duduk. Nampaknya seperti mengajarkan sopan santun dasar, seperti itulah adanya. Walaupun pada intinya kita tahu bahwa adab seperti itu sudah diajarkan sejak kecil. Namun bagi siswa tetap perlu untuk selalu diingatkan, apalagi pernah hilang selama beberapa waktu lamanya, akhirnya menjadi asing lagi.
Aktifitas di kelas hendaknya tetap menyadarkan siswa kalau mereka bukan lagi berhadapan dengan benda mati serta layar dengan berbagai tampilan, sehingga sesuka hati mau berposisi apa saja, mau berbicara sekehendak diri dan lain-lain seperti ketika siswa belajar di rumah. Selanjutnya terus mengajak dan memotivasi mereka agar merespon, melibatkan semua indra dan berinteraksi dalam kegiatan pembelajaran. Akan tetapi, perlu pengelolaan kelas agar suasana tidak menjadi gaduh karena mereka berbicara. Paling utama terus memberi pencerahan mengenai akhlak. Di setiap materi pelajaran sepatutnya selalu menyisipkan nilai-nilai moral/ akhlak terhadap : Tuhan, sesama manusia, diri sendiri dan terhadap lingkungan sekitar.
Selanjutnya keterlibatan guru di luar kelas atau dalam lingkungan sekolah tetap sangat berperan. Kapan pun melihat atau mendengar pelanggaran kode etik siswa, seketika itu harus langsung menegur, mengingatkan, menasehati dengan tanpa amarah. Mendekati anak yang melanggar atau menyimpang kesantunannya kemudian menyampaikan di mana letak kesalahannya, lalu membenarkan. Bila perlu anak tersebut dirangkul, ditepuk dengan lembut dengan bahasa tubuh yang akrab, namun tetap melihat kondisi. Semua kita lakukan dengan cara yang santai, menggunakan bahasa yang ringan dengan nada bercanda tetapi mengena dan bermakna. Itu lebih berkesan dan menyentuh nurani anak. Ketimbang menegur dengan kekerasan baik secara fisik maupun psikis, yang malah akhirnya akan memunculkan konflik.
Perlu dipahami bahwa siswa yang melakukan tindakan-tindakan menyimpang itu biasanya bagi mereka merasa bukan masalah. Hal tersebut dilakukan seperti biasa saja, hanya spontan tanpa maksud apa-apa. Boleh jadi itu dilakukan dengan iseng dan sekadar bercanda. Bisa kita lihat ketika ada anak yang melakukan sesuatu yang menurut kita itu adalah pelanggaran. Setelah si anak tersebut kita panggil lalu bertanya apa kesalahannya, maka akan kelihatan ekspresi tak bersalah, bahkan tidak sadar dengan apa yang telah diperbuat. Saat itu barangkali kita bisa marah, namun tetap mengontrol emosi dan mengendalikan diri. Di balik itu terselip niat untuk mendidik anak agar menyadari apa yang telah dilakukan dan menjadikan sebagai pelajaran. Biasanya anak akan meminta maaf dan dengan jiwa besar kita memaafkan sekaligus juga memohon maaf atas ungkapan kemarahan kita. Sesungguhnya memberi teladan dengan sikap dan ucapan guru itu lebih memberi efek untuk perbaikan karakter siswa. (Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA Neg. 1 Kolaka)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar