Dra. Rosnawati, M. Hum

Dra. Rosnawati, M.Hum lahir di Kolaka tanggal 20 Pebruari 1967. menyelesaikan Sarjana Pendidikan di FKIP Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas H...

Selengkapnya
Navigasi Web

Kosa Kata yang Harus Dihilangkan dari Khazanah Pendidikan

KOSA KATA YANG SEBAIKNYA DITIADAKAN DALAM KHAZANAH PENDIDIKAN

(Kurang ajar dan Bodoh)

Dra. Rosnawati, M.Hum

Interaksi komunikasi dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan sekolah terdapat begitu banyak kosa kata yang kurang layak terucap dari mulut warga sekolah. Entah itu diucapakan dalam keadaan marah, jengkel, maupun bercanda yang dilakukan secara spontan tanpa maksud di balik kata itu.

Jika dicermati dan dicamkan secara mendalam kata-kata tersebut sebenarnya sangat tidak pantas untuk diucapkan. Namun hingga saat ini kosa kata itu sepertinya menjadi hal yang biasa dan lazim, dengan mudah bisa terucap kapan dan di mana saja termasuk berlaku dalam area persekolahan. Salah satu yang dimaksud adalah kosa kata ‘Kurang ajar’. Seharusnya perlu komitmen bersama untuk menghapus kata tersebut dari dunia pendidikan.

Pada setiap perbincangan atau pembicaraan secara non formal, namun tidak menutup kemungkinan terjadi dalam forum resmi terlontar kata ‘kurang ajar’. Ketika ujaran itu terlontar apa sebenarnya yang ada di balik pikiran?. Apalagi jika hal tersebut diucapkan dengan dasar kemarahan, disertai nada dan aksentuasi yang mempertegas, dengan tujuan mengumpat atau mengecam maka sudah pasti mengarah ke makna negatif. ‘Kurang ajar’ berarti kurang mendapatkan pengajaran atau tidak pernah diajar. Seperti halnya dengan frase yang lain, misalnya ‘kurang kasih sayang, kurang perhatian’ dan lain sebagainya yang kurang.

Apabila kita menganalisis kata ‘kurang ajar’ yang bermakna ‘kurang diajar (kurang didikan)’ maka sangat jauh menyimpang dari kenyataan. Bukankah setiap yang dilakukan oleh orang tua di rumah terdapat unsur ajaran, begitupun seluruh aktivitas guru di sekolah yang mengarah kepada peserta didik semua mengandung nilai mengajar dan mendidik mereka. Kemudian di mana letak celah ‘kurangnya’?. Sesungguhnya tidak pernah ada yang kurang dalam pengajaran, malahan berlebih dan tumpah ruah unsur-unsur ajar dalam beragam bentuk yang didapatkan peserta didik. Oleh karena itu, seandainya saja kita (pengguna bahasa) sepakat untuk mengganti kosa kata ‘kurang ajar’ menjadi ‘lebih atau banyak ajar’. Hanya saja akan kedengaran aneh karena tidak biasa dan juga akan berbeda dalam pemakaiannya.

Ditemukan fakta dalam penggunaan bahasa ternyata kosa kata ‘kurang ajar’ sudah dikreasikan menjadi ‘kurang ekor dan kurang asam’. Barangkali maksudnya supaya tidak kedengaran kasar dan lebih gaul. Yah kembali lagi ke konteksnya, apa dan siapa yang kurang ekor dan yang kurang asam. Kalau manusia memang tidak berekor karena bukan binatang, pasti tidak asam karena bukan makanan.

Mengenai seluk beluk terlontarnya kosa kata ‘kurang ajar’. Kalau kata itu diucapkan oleh siswa terhadap siswa yang lain, dalam keadaan kesal ataupun sekadar terlontar, maka bagi mereka sepertinya tidak ada beban moral dengan makna kata tersebut. Sebaliknya jika hal itu ditujukan pada guru secara personal, barangkali terjadi konflik diam-diam dan tersembunyi antara guru dengan siswa. Boleh jadi maksudnya memang guru tersebut belum mengajar dirinya sendiri, sehingga masih kurang. Lebih parah lagi apabila kosa kata ‘kurang ajar’ keluar dari mulut guru yang ditujukan kepada peserta didik. Maka hakikatnya, perkataan itu akan kembali menyerang eksistensi guru, bahwa guru sebagai pengajar dan pendidik kurang memberikan ajaran sehingga siswa dianggap masih ‘kurang ajar’. Suatu kemungkinan bisa terjadi ada siswa yang kritis kemudian menanggapi dengan santai “ Bapak / Ibu Guru, kalau sekiranya kami masih kurang ajar, tolong perbanyak ajari kami “.

Satu lagi kosa kata yang urgen harus hilang dari tatanan mendidik dan mengajar, yakni kata ‘Bodoh’ dan berbagai sinonimya. Sebisa mungkin kita menghindari atau menjauhkan penggunaan kata tersebut. Apalagi jika itu ditujukan kepada peserta didik, dengan maksud mengecam, karena Pada dasarnya tidak ada anak yang bodoh, hanya saja kita belum menemukan dan menggunakan metode yang tepat untuk menjadikan anak menjadi pandai/pintar dan cerdas.

Tetap dipahami bahwa penggunaan kata ‘kurang ajar’ dan ‘bodoh’ itu tergantung dari maksud dan tujuannya serta yang melatarbelakangi sehingga kata tersebut terucap. Bagi kebanyakan orang dianggapnya hal itu biasa-biasa saja. Seperti ketika kita mendengar perbincangan ringan antara teman, sahabat biasanya akan muncul diakhir kata, sebagai penanda keakraban. Namun sangat berbeda kesan dan makna kata itu ketika dilontarkan oleh seseorang yang sedang marah atau jengkel. Sudah pasti akan bernada sarkastis dan menyakitkan, sehingga terkadang memunculkan konflik.

Sebagai pendidik yang setiap saat berhadapan dengan peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas, pasti banyak terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan dari tindak tanduk mereka dan biasanya memancing emosi guru. Di sinilah kita dituntut untuk berbesar jiwa menahan dan mengendalikan diri untuk tidak mengeluarkan kosa kata kelam itu. Kalaupun terpaksa harus berbicara, maka dengan bijak kita bisa memilih kata yang mewakili maksud serta mengambil kata yang lebih santun. Kembali lagi ke tujuan dan niat mengajarkan etika dengan teladan dalam bertutur. Memang membutuhkan pembiasaan dan latihan untuk menghindari kosa kata yang menurut kebanyakan orang itu biasa saja.

Menelisik fenomena penyimpangan perilaku siswa, kemungkinan dilatarbelakangi oleh kosa kata yang sering didengar baik di rumah maupun di sekolah dan ditujukan kepada dirinya. Dengan demikian, mereka hanya mencocokkan dengan tindakan dari kecaman yang didapatkan. Jika dikatakan ia ‘kurang ajar’ dan ‘bodoh’ maka tinggal membuktikan bahwa itu memang benar. Seperti yang dijelaskan oleh Dr. Jeannette Murad staf pengajar Fakultas Psikologi UI, yaitu kata-kata “bodoh kamu” yang dilontarkan pada anak, akan menyebabkan si anak memeroleh labelling bodoh. Ia akan tersugesti bahwa dirinya memang bodoh, sehingga boleh jadi ia akan benar-benar bodoh. Hal itu sama artinya ketika anak dikecam “kurang ajar” maka akan mengendap di bawah alam sadarnya lalu terwujud dalam sikap yang menunjukkan kekurangajaran (tindakan tidak terpuji).

Berdasarkan kajian psikologi ternyata ujaran yang dilontarkan kepada anak (peserta didik)sangat berpengaruh terhadap perilakunya. Berkaitan pula dengan pernyataan bahwa setiap kata yang diucapkan oleh orang tua / guru itu adalah doa. Oleh karena itu, sejatinya kita harus selalu mengucapkan kata yang baik kepada peserta didik. Misalnya kalau anak berbuat salah, kita bisa berkata “tidak begitu pintar”. Jika berbuat baik kita puji, “Nah begitu anak sholeh”, dan lain sebagainya kata-kata yang bisa mensugesti ke hal yang positif. Tentu hal seperti itu bisa dilakukan dengan cara membiasakan diri.

Sekiranya tenaga pendidik mau berkomitmen untuk meniadakan dua kosa kata itu dalam situasi apa saja, terkhusus dalam lingkungan sekolah selanjutnya menyusul kata-kata sarkastis yang lain. Jika perlu lupakan kata itu, masih banyak stok kata yang baik dan benar, hilangkan labeling negatif kepada anak, jangan lagi muncul dalam perbendaharaan kata dalam bidang pendidikan. InsyaaAllah kita akan melihat pertumbuhan dan perkembangan karakter peserta didik. ( Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA Neg. 1 Kolaka )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post