Dra. Rosnawati, M. Hum

Dra. Rosnawati, M.Hum lahir di Kolaka tanggal 20 Pebruari 1967. menyelesaikan Sarjana Pendidikan di FKIP Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas H...

Selengkapnya
Navigasi Web

GURU SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENUMBUHAN KARAKTER POSITIF SISWA

GURU SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PENUMBUHAN

KARAKTER POSITIF SISWA

Dra. Rosnawati, M.Hum

Menelisik persoalan budaya dan karakter bangsa yang kini banyak menjadi sorotan dan bahan perbincangan di berbagai media yang menyedot perhatian kalangan para ahli, pengamat sosial, budaya, pendidikan dll. Seiring maraknya penyimpangan perilaku yang terjadi di mana-mana dan diangkat menjadi topik pembahasan utama dalam forum. Beragam alternatif solusi pun diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat, dan lain sebagainya.

Salah satu alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan, paling tidak mengurangi atau meminimalisir adalah ‘Pendidikan’(pendidikan formal). Lembaga ini dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif, dalam artian melalui pendidikan di sekolah diharapkan dapat mengembangkan kualitas genersi muda bangsa (peserta didik) dalam berbagai aspek yang berperan untuk memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah ketimpangan sosial ke depan.

Adapun sumber daya dukung yang paling inti dibutuhkan untuk membangun dan membentuk karakter positif siswa adalah ‘Guru’. Di tangan gurulah pendidikan karakter bisa berjalan, yang sasarannya terwujud pada usaha untuk mengembangkan karakter bangsa melalui proses pembelajaran. Oleh karena itu, pada setiap aktivitas dalam lingkungan sekolah hendaknya guru selalu mengarahkan dan menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan baik, yang pada akhirnya nanti mereka mampu memahami dan merasakan makna kebaikan itu.

Dalam proses pendidikan formal, guru sebagai aktor utama pendidikan dan merupakan komponen yang sangat penting, selain komponen lainnya seperti tujuan pendidikan, kurikulum, metode, sarana dan prasarana, lingkungan sekolah, dlsb. Guru dikatakan sebagai unsur utama karena mereka mampu memahami, mendalami, dan melaksanakan tujuan pendidikan. Guru sebagai orang terdekat yang berhubungan atau bersentuhan langsung dengan peserta didik. Setiap hari guru berinteraksi dengan siswa baik di dalam kegiatan belajar mengajar maupun di luar kelas. Dengan demikian, keberadaan guru menjadi suri teladan, panutan (figur) bagi semua peserta didik, mulai dari cara berpikir, cara bertutur kata, berperilaku, hingga cara berpenampilan.

Seorang guru yang inspiratif dan bijak bukan sekadar mentransfer ilmu, mengajar secara teoritis dan menuntut prestasi akademik siswa, namun lebih jauh lagi bagaimana guru mampu mendesain pembelajaran yang humanis yakni mengaitkan materi pelajaran dengan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang mengarah kepada prestasi non akademik, dalam hal ini pembentukan sikap dan perilaku yang baik. Namun akan lebih lengkap jika pencapaian akademis yang tinggi dan kreativitas yang baik apabila bermuara pada penyempurnaan akhlak. Nah disinilah urgensi peran guru dalam menebar nilai-nilai positf terhadap diri siswa.

Kapasitas guru di sekolah betul-betul sebagai agen perubahan , agen pemberi motivasi, agen pembiasaan, dan agen peneladanan. Guru sebagai motor penggerak sekaligus menjadi saf terdepan di dalam upaya pembentukan intelektual, kepribadian dan nilai. Bagi siswa ucapan guru biasanya lebih didengar dibandingkan ucapan orang tua. Oleh sebab itu, nasehat dan motivasi yang diberikan guru kepada siswanya akan lebih bermakna dan bisa menjadi pemicu yang efektif bagi siswa untuk melaksanakan nilai tertentu. Jadi kapan dan di mana pun guru hendaknya senantiasa mengingatkan, mengarahkan dan memotivasi siswa untuk selalu mencerminkan nilai akhlak mulia. Namun perlu dicamkan bahwa guru di sekolah adalah sosok yang paling dekat dan paling interaktif dengan siswa. Oleh karena itu, guru harus terlebih dahulu menjadi pribadi-pribadi teladan yang dapat digugu dan ditiru serta menjadi panutan dalam setiap kondisi. Sejauh seorang guru mampu memberikan keteladanan yang baik kepada anak didiknya, sejauh itu pula ia akan berhasil mendidik mereka menjadi generasi penerus yang berakhlakul karimah.

Seiring dengan program pemerintah dalam hal ini kemendikbud pada implementasi Kurikulum 2013 yang banyak menerbitkan kebijakan pendidikan sebagai sebuah gerakan, misalnya; Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti (GPBP) dan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Untuk mewujudkan pelaksanaan dan pergerakan kebijakan tersebut tentu pemeran intinya adalah ‘Guru’ yang harus didukung oleh unsur-unsur lain. Contoh pada Gerakan Penumbuhan Budi Pekerti, guru dapat meyakini bahwa pada dasarnya di dalam diri setiap individu (siswa) itu telah ada bibit-bibit nilai kebaikan, sehingga perlu senantiasa dijaga dan dipelihara agar nilai-nilai positif tersebut terus tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, selayaknya guru memperlakukan siswa semua sama, meskipun perilaku mereka berbeda-beda. Ada perilaku siswa yang menyenangkan, dan ada saja yang menyebalkan, itu lumrah dan merupakan sebuah dinamika mendidik yang harus dinikmati oleh guru. Ketika kita menyadari bahwa perilaku yang kurang menyenangkan itu sesungguhnya hanya sebagian kecil dari kepribadian siswa, karena mereka pasti punya banyak benih kebaikan yang perlu ditumbuhkan melalui pendekatan nurani keguruan.

Pembentukan berbagai potensi positif yang ada di dalam diri siswa itu dapat ditumbuhkan melalui pembiasaan secara terus menerus. Oleh sebab itu, guru perlu selalu mengajarkan dan membiasakan sesuatu yang baik meskipun mengenai hal - hal yang kecil dan sederhana. Misalnya saja, menegur siswa ketika mendengar mereka berbicara kasar dan kotor, ketika melakukan bentuk kekerasan (fisik dan psikis) dll. Selain fokus pada melarang perbuatan yang tidak baik, yang terpenting pula hendaknya selalu mengingatkan dan memotivasi siswa untuk melakukan perbuatan baik sehingga setiap karakter anak hanya akan tergali dan terambil sisi positifnya saja. Sementara itu, sisi negatifnya akan tumpul dan tidak berkembang. Perlu pula dipahami bahwa perintah dan larangan adalah bagian yang sangat kecil dalam upaya pembentukan karakter. Perintah dan larangan hanya bantuan sederhana dalam menolong anak untuk melakukan kebaikan dan menghindari kesalahan. Namun hal yang paling utama dan penting sesungguhnya adalah menanamkan kesadaran di dalam diri peserta didik mengenai esensi pentingnya sebuah kebaikan.

Untuk melarang / mencegah siswa berperilaku menyimpang, secara umum sekolah membuat peraturan dan tata tertib untuk dipatuhi. Demikian pula dengan sederetan ancaman dan sanksi bagi pelanggaran yang terpampang . Peringatan yang selalu disampaikan melalui pembesar suara pada saat upacara dan apel pagi, sepertinya hanya berlalu begitu saja. Berdasarkan fenomena yang terjadi, seperangkat peraturan dan tata tertib beserta dengan sanksi yang disusun rapi itu terkadang hanya menjadi pajangan dan penghias dinding-dinding sekolah, tanpa memberikan makna apa pun dalam mewujudkan kultur sekolah yang positif. Bahkan bagi sebagian siswa, sebuah peraturan ada hanya untuk dilanggar.

Untuk itu, dibutuhkan suatu gerakan yang dilakukan secara cermat dengan alur pembudayaan menuju siswa berbudi pekerti. Alur itu adalah diajarkan, dibiasakan, dilatih konsisten, menjadi kebiasaan, membudaya, akhirnya tertanam menjadi sebuah karakter, dalam hal ini terpatri menjadi karakter positif. Inilah rangkaian upaya yang bisa diprediksikan untuk menata dan membentuk karakter-karakter sejati siswa yang akan dimotori oleh guru.

Melalui alur pembelajaran untuk menumbuhkan karakter positif itu dilakukan berbagai upaya untuk menjadikan pendidikan lebih bermakna bagi individu (siswa). Dalam prosesnya tidak sekadar menyuguhkan pengetahuan (kognitif), tetapi juga menyentuh tataran afektif dan psikomotor melalui mata pelajaran Pendidikan Agama, Pkn, IPS, Bahasa Indonesia, dll. Berdasarkan kompetensi dasar dari masing-masing mata pelajaran dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral. Misalnya dalam pelajaran Bahasa Indonesia, pada aspek keterampilan berbicara. Siswa diarahkan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, dalam arti khusus menggunakan bahasa yang santun kepada siapa saja.

Setelah mengajarkan nilai kesantunan berbahasa, selanjutnya perlu dibiasakan. Misalnya ketika siswa diberi kesempatan untuk berbicara, ketika mengemukakan pendapat dalam diskusi, memberikan argumen atau tanggapan mengenai suatu hal, sampai pada perbincangan tidak resmi di luar kelas. Guru hendaknya selalu mengamati dengan cermat mengenai cara berbicara siswa, mulai dari cara menggunakan kata-kata, intonasi, ekspresi dll. Guru mengupayakan agar siswa selalu memperhatikan etika berbahasa. Selanjutnya kalau sudah terbiasa menggunakan bahasa yang santun, maka perlu dilatihkan secara terus menerus dalam kegiatan berbahasa dan perlu pemantauan sehingga kapan dan di manapun ketika guru mendengar baik secara langsung maupun tidak langsung siswa berbahasa kurang santun dalam hal ini terjadi kekerasan verbal, maka seketika itu siswa perlu ditegur dan diingatkan kembali, agar kebiasaan baik itu selalu tertanam menjadi budaya yang pada akhirnya terus tumbuh menjadi sebuah karakter.

Guru sebagai penggerak pembiasaan nilai hendaknya selalu menjadi pengarah dalam pengulangan tindakan sampai pada akhirnya sebuah pengamalan nilai-nilai moral tersebut menjadi sesuatu yang muncul atau berjalan dengan sendirinya. Selanjutnya tetap memantau dan mengamati nilai akhlak mulia yang dilakukan oleh siswa agar berjalan terus menerus kapan dan di manapun. Tentunya hal tersebut dapat dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan orang tua siswa.

Berikutnya pemotivasian yang konsisten oleh semua guru di sekolah. Artinya, semua guru menyuarakan atau memotivasi siswa untuk menerapkan nilai-nilai kebaikan, walaupun dalam cara dan strategi yang berbeda. Dengan demikian, siswa dapat memahami bahwa nilai yang diajarkan guru-gurunya adalah sesuatu yang penting dan berguna dalam kehidupan. Dari serangkaian tahap yang dilalui tersebut akan menumbuhkembangkan karakter positif peserta didik menjadi pribadi utuh yang akan menginternalisasi kebajikan, yakni mengetahui dan mau serta terbiasa mewujudkan kebajikan itu dalam kehidupan sehari-hari. ( Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Kolaka )

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post