"Ssssssssttt, nda boleh begitu.." sahutku.

"Kita ini makhluk, ya harus berperilaku seperti makhluk," imbuhku lagi.

"Tapi kan Mah.." si sulung berusaha menyambung kalimatnya.

"Mengukur, menakar berkah rejeki itu berlaku ke diri, tidak boleh dipakai untuk menakar orang lain," ucapku.

"Maksudnya Mah?" tanya si sulung.

"Kalau kita melihat ada orang yang kelihatannya kaya raya, siang malam sibuk bekerja, kemudian anaknya sakit-sakitan, istri atau suaminya sakit-sakitan, rumahnya terbakar, ditipu orang dan terkena musibah sampai habis-habisan semua uangnya habis, jangan mudah lisan kita berucap, ish itu pasti uangnya nda berkah, nda ada kebaikan di dalamnya, nda manfaat.." aku berhenti.

"Takaran itu untuk melihat ke dalam diri kita, bukan untuk menghakimi orang lain. Kita tidak boleh jadi Tuhan Tuhan kecil menghakimi amalan orang lain apalagi mencap begini begitu seakan kita paling mulia. Nda boleh.." ucapku lagi.

"Tapi kalau ke diri kita boleh?" tatapnya padaku.

"Iya, boleh. Kalau untuk diri kita sendiri sebagai bahan periksa, boleh. Misalnya kita sudah kerja sampai jungkir balik, tapi bukannya terasa banyak, malah terasa sempit. Nah, baru tanya diri sendiri, ada apa di cara kita mencari rejeki.." jawabku.

"Kok gak boleh kita bilang orang yang sering sakit, kerampokan, kebakaran dan kerugian terus bukan bukti hartanya gak berkah sih Mah?" berondongnya.

"Nak, Allah beri sakit itu rejeki, sama seperti Allah beri rejeki sehat.." jawabku.

"Memang, kita berdoa diberi rejeki sehat dan kita lebih senang kalau sehat," jawabku lagi.

"Orang yang diberi rumah tangga yang baik itu rejeki, sama seperti diberi rejeki rumah tangga yang ancur.." jawabku.

"Lho kok.." tanyanya.

"Orang yang sakit terus menerus sepanjang umurnya dengan sakit yang berat, doanya makbul, bisa jadi ketika wafat langsung masuk jannah, nda pakai hisab.." jawabku.

"Apalagi dia sabar dan tetap berbuat baik. Nda ada hijab doanya ke langit.." tambahku lagi.

"Orang yang dizolimi juga begitu, doanya makbul." kuperhatikan putriku diam.

"Apalagi kalau dia sabar, setia pada kebaikan, dan jarang mengeluh pada manusia.." jawabku

Ada hal-hal mendalam secara rohani yang meskipun tua, manusia belum tentu dewasa. Apalagi putriku yang masih remaja.

"Intinya begini, jangan lisan kita mudah menghakimi orang lain karena ukuran kita berkah rejeki itu harus sehat, harus keluarga harmonis, harus anak-anak sehat dan sholeh, harus panjang umur dan harus-harus lainnya, kecuali untuk periksa diri sendiri.."

"Allah beri Nabi Ayyub sakit, bukan berarti rejekinya tidak berkah lho. Beliau diberi cobaan yang sangat berat, bukan karena beliau orang durhaka lho. Kamu cari deh sakitnya Nabi Ayyub berapa tahun. Habis hartanya, semuanya, ditinggal istrinya," jawabku lagi.

"Mengalami kesulitan hidup yang berat, itu bukan penanda Allah murka pada seseorang. Mengalami keberlimpahan hidup yang luar biasa juga bukan bukti dia paling sholeh.." tambahku.

"Allah itu Pengasih Nak. Kita pelihara sangka baik." tutupku.

___

Ramadhan berakhir.

Seperti ucapanmu dinihari tadi Mbang, rejeki yang kuperoleh dari tetesan keringatku ini tidak berkah, tidak ada kebaikan di dalamnya, tidak bermanfaat. Yang kutahu, yang kuupayakan sebagai rejeki yang kusuapkan ke mulut anak-anakku, Mbang, wajib hanya yang halal, meskipun jin dan manusia tidak ada yang tahu.

Semoga Allah menutup aibku.

Yaa faarijal hamm, yaa kaasyifal ghamm, yaa man li 'abdihi yaghfiru wa yarham.

Ya Gusti Yang menjadi penawar duka, Yang menghilangkan kesusahan, Yang maha memberi ampunan Yang Maha menyayangi hamba-hambaNya.