Dian Garini Lituhayu

After years of living in survival mode, constantly fighting to stay afloat, I’m finally learning to let go. Here in a new city, I’m embracing a slow...

Selengkapnya
Navigasi Web
Asal Kita Jangan

Asal Kita Jangan

"Tuh Mah, kita datang sendirian, terlalu awal, pasti semua pada terlambat.." aku bersungut-sungut.

Saat itu aku masih kelas 6 sekolah dasar. Aku berlatih menari dengan teman-temanku menjelang pentas seni untuk kecamatan. Kegiatan dijadwalkan pukul sembilan pagi. Aku tiba di lokasi latihan ditemani mama pukul setengah sembilan. Berangkat dari rumah pukul delapan kurang sedikit dengan menumpang angkot, disambung jalan kaki beberapa ratus meter menuju sekolah. Saat itu bapak sedang bertugas di hutan Nunukan. Mengawal pemindahan orang utan yang terjebak di logging warga. Kalau Bapak ada di kota, aku pasti diantar dengan vespa hijaunya yang selalu mengkilap.

"Ya, gak papa Neng, bagus kan datang lebih awal daripada nanti buru-buru karena terlambat," sahut mamaku.

"Iya, tapi kan orang terlambat semua, nanti latihannya juga mundur-mundur sedikit jadinya. Kita sudah berangkat pake angkot dari pagi." jawabku.

"Nah, terlambat-terlambat sedikit itu yang jangan. Kamu janji datang tepat waktu kan sama Pak Heryadi. Semua anak juga diminta datang tepat waktu. Atau ada Pak Heryadi meminta anak-anak latihan molor-molor?" tanya mama. 

Aku diam saja tak menyahut. Aku tahu kebiasaan latihan. pasti molor. Setiap kali latihan, entah tari atau menyanyi. Aku pasti diantar mama paling awal. Apalagi kalau hujan. Mama akan mengajak aku bergegas supaya tidak kehujanan di jalan atau terjebak macet yang akibatnya bisa terlambat sampai tujuan.

"Neng, kalau orang lain lambat-lambat dan suka jam karet, bukan berarti itu betul," mamaku berucap sambil memperbaiki ikatan rambutku yang sempat kutarik-tarik karena kesal.

"Nanti kalau kamu sudah bekerja, jadi apa saja kamu, jangan disetir kebisaan orang-orang.." aku manggut-manggut.

"Kalau kamu diminta datang pukul 09.00 artinya setengah jam sebelumnya kamu harus siap. Usahakan yang terbaik semampu kamu untuk datang setengah jam lebih awal.." mama masih sibuk mengepang rambut panjangku sebelah kanan.

"Silakan orang ngaret-ngaret, asal kamu sudah lakukan yang kamu mampu untuk tepat waktu, bukan ikut ngaret," ucap mama lagi. 

"Kamu gak bisa ngatur orang lain harus berhenti ngaret kan?" tanya mama lagi.

"Iya, Mah. Teman-teman datang ngaret biarpun rumahnya dekat. Tuh si Menik, rumahnya di depan sekolah juga datangnya belakangan terus." jawabku saat itu.

"Nah itulah, kita gak bisa kontrol orang lain. Tapi kita bisa kontrol diri kita sendiri," balas mamaku lagi.

"Begitu juga menghadapi hal lainnya. Kalau suatu saat nanti kamu menemukan orang disekitar kamu berlaku gak baik, atasan kamu sekalipun. Itu bukan alasan kamu harus seperti dia.." mama menjawab kembali.

"Mengerjakan apapun, kerjakan sungguh-sungguh, meskipun orang lain menganggap sepele," pesan mamaku saat itu.

"Iya Mah. Neng ingat-ingat. Kerjakan apapun sebagus semampu kita, orang lain silakan teledor, kita nda usah ikut-ikut.." jawabku.

"Iya, begitu. Kamu gak akan rugi ketika kamu tunjukkan kemampuanmu yang paling bagus pada lakon kecil sekalipun, apalagi yang besar.." mamaku mengakhiri kalimatnya dengan senyum. Rambutku sudah selesai dikepang dan digulung ala nona Belanda, ditarik ke atas dan diikat dengan pita kuning.

"Tuh, Pak Heryadi sudah datang," tunjuk mamaku pada seorang lelaki berkendaraan vespa putih yang asap motornya mengepul. 

___

 

Di lain waktu, aku dijewer bapak, karena bangun siang. Waktu itu aku sudah remaja. Kebayang lah tersinggungnya anak remaja dijewer ayahnya karena tidur kesiangan. Aku masuk shift siang pukul 13.00. Padahal, menurutku pukul 12 aku tak mengapa masih santai dan uyel-uyel di kasur, sampai tertidur kembali.

Yang aku tahu teman-teman di sekolah juga kadang molor dan masuk lewat lubang di tembok samping sekolah jika terlambat, karena pintu depan pasti terkunci. Mungkin aku termasuk segelintir siswa yang sama sekali tidak pernah menggunakan akses lubang tembok itu. Teman-temanku yang lain, laki-laki maupun perempuan sering menceritakan bagaimana pemandangan di gedung tembok sebelah. Mahasiswa, kata mereka. Gedung disebelah sekolahku adalah kampus guru olahraga. Dulu sering dijadikan tempat berlatih atlit voli. Teman-teman sering bercerita, melihat banyak orang-orang cantik dan cakep di gedung sebelah. Aku hanya tahu cerita. Bisa melihat langsung memang pada akhirnya, tapi, justru setelah aku kuliah.

'Kamu mau jadi apa kalau jam segini belum siap?" tanya bapakku dengan suara keras.

"Gak papa nah Pak, baru juga sekali.." sahutku.

"Gak ada sekali-sekali, ayo sekarang berangkat, Bapak antar!" ucap bapak lagi.

Waktu aku tiba di sekolah saat itu, aku memang tidak sendirian, ada beberapa teman lainnya yang juga baru datang dengan wajah berpeluh karena berjalan kaki atau naik sepeda. Bisa disebut, semuanya bukan golongan famous. Tapi golongan kutubuku.

"Tuh kan Pak, sekolah masih sepi. Teman-teman itu santai kok, gak segini-gininya juga.." aku merajuk kesal.

"Gak papa, kamu siap awal, datang awal, itu gak rugi Neng!" jawab bapak.

"Iya sih," jawabku mengangguk

Setelah mencium tangan bapak aku jalan kaki menuju kelas dengan pelan, seorang teman sudah ada di dalam kelas. 

"Kamu punya PR sudah selesai belum?" tanyanya

"Nomor 3 gak bisa," sahutku.

"Sini aku ajari. Kamu punya nomor 1 dan 2 sudah bisa kah?" anak perempuan dengan rambut dijepit poni itu memang salah satu yang paling pandai di kelasku urusan akuntansi biaya, salah satu pelajaran utama di jurusanku.  

___

Sampai setua ini, pesan mama dan bapakku sangat aku ingat. Mengerjakan apapun, sekecil apapun peran itu, sesepele apapun, kerjakan dengan effort maksimal. Tidak usah ikut-ikutan. Bukan dalam rangka ambisi, tapi itu integritas diri.

Sekecil apapun sebuah hal yang kujalani, meskipun tak berharga buat banyak orang, aku berikan usaha maksimal, sekuatnya, semampunya.

Besar atau kecil pada sebuah hal yang kujalani, kuupayakan gas dengan pol, kukerahkan semua upaya. Hasilnya kupasrahkan. Kugenapi bagianku, yang bukan bagianku kulepaskan ke Langit.

Hal ini kuajarkan pada anak-anakku. 

"Nak, gigih pada apapun. Biar kata sepele. Perjuangkan. Usahakan. Kita boleh miskin, kita boleh bukan anak pejabat dan terpandang, tapi itu semua akan beres kalau kita gigih.." ucapku suatu saat dulu pada anak-anak perempuanku.

"Ah capek Mah, ngikutin isi kelas modelnya hedon semua, seenaknya ngerjakan apa-apa. Kan akhirnya gurunya marah dan saya kena imbasnya juga.." keluh putri sulungku suatu hari.

"Siapa?" tanyaku.

"Biasalah Mah, gerombolan yang itu-itu juga.." jawabnya.

"Tapi tugasmu selesai kan?" tanyaku.

"Sudah Mah. Saya diminta kumpul tanggal 10 saya sudah submit tanggal 8 malam.." jawabnya.

"Kita gak bisa atur orang Nak. Kita atur diri kita dulu. Mungkin bukan kapasitas kita untuk menguasai keadaan, tapi kerjakan bagian kita sebaik-baiknya.." jawabku.

"Tapi teman-teman menyebut saya ambisi Mah jadinya, dibilang mau bagus sendiri.." jawabnya.

 "Nah itu juga, kamu gak bisa atur orang mau omong apa, mau komentar apa. Yang kamu atur tutur kamu, adab kamu, komentar kamu.." jawabku.

"Sesekali boleh kamu atur pace kamu supaya nda terlalu melesat sendirian, ajak teman-teman yang kamu rasa bisa belajar dengan teratur sesuai pola dari gurumu. Tapi bukan berarti kamu ikut-ikutan malas dan seadanya." kataku kembali.

Di akhir suatu pekan seminggu kemudian si sulung bercerita, "Teman-teman dipanggil ke BK Mah," katanya.

"Kenapa? Mereka kan pinter-pinter? Ada masalah apa?" tanyaku.

"Gak ada masalah Mah, hanya diberi pandangan tentang pentingnya prioritas belajar, supaya lebih semangat katanya Mah," sahutnya.

"Semangat dari luar kadang penting Nak, tapi tidak bisa mengalahkan semangat yang di dalam sini," sahutku sambil memegang dada kiriku.

"Komentar dan pikiran orang, tidak bisa kita atur. Kita mungkin tidak punya kapasitasnya. Tapi kamu bertanggung jawab pada yang kamu lakukan. Kerjakan dengan baik bagianmu, semampumu, sebaik-baiknya. Itu jihadmu dalam belajar.." jawabku.

___

 

Ramadhan hari ini berakhir. 

Kupandangi wajah bapak yang kembali terlelap sesaat setelah obrolan kami pagi ini. Kupandangi wajah mamaku yang ikut berbaring di kasur tipis di sebelah bapak. Kuingat-ingat nasihat mereka semasa aku kecil, "Biar saja orang mau ngomong buruk apa, kamu jangan ikut-ikutan ngomong buruk. Biar saja orang berlaku buruk sama kamu, tapi kamu jangan balas melakukan hal buruk pada mereka. Biar saja orang berbuat gak sesuai dengan aturannya, asal kamu jangan. Kamu tidak punya kuasa mengatur bagaimana pikiran orang, tapi kamu punya kuasa mengatur pikiranmu sendiri.."

___

Akan kugenapi ikhtiarku, bagianku, sekuatku, semampuku, sisanya kuserahkan ke langit.

Seperti kalimatku saat itu Mbang, "Silakan orang lain melakukan ABCDE Mbang, asal bukan aku.." karena aku sungguh-sungguh mengerjakan sesuatu. Jika prinsip hidup sebegini tak bisa diberi ati tapi diberi tai seperti katamu Mbang, entahlah. Sebulan penuh mencoba memahami mengapa tidak ada hal baik yang bisa kamu lihat dari aku, been a while.

Semoga Allah mengasihiku. 

Wa astaghfiruka yaa laa illaaha illaa anta subhanaka inni kuntu minazh zhaalimiin. Robbigfirli warhamni wa tub alayya wa anta khoirur rohimiin.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Kereeen ulasannya, Bunda. Salam literasi

12 May
Balas

Terimakasih Pak. Salam literasi.

24 May

Terimakasih Pak. Salam literasi.

24 May



search

New Post