Dian Dwijayanti

Dian Dwijayanti, mengajar di SMPN 4 Cipatat Bandung Barat Jawa Barat. Sebagai guru bahasa Indonesia merasa terpacu untuk belajar menulis. walaupun mungkin bisa ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Anak Bawang

Anak Bawang Dian Dwijayanti Udara pagi masih segar setelah semalam diguyur hujan yang cukup besar. Air hujan menggenang di sebagian jalan setapak yang dilalui anak-anak menuju ke sekolah. Mereka berjalan beriringan sambil bersenda gurau. Tak jarang mereka saling mencipratkan air yang menggantung di dedaunan di pinggir jalan. Suatu moment yang akan tersimpan dalam benaknya hingga kelak mereka dewasa. Lonceng berdentang, tanda kelas akan dimulai. Anak – anak segera mengambil barisan di depan kelas, menunggu komando Ketua Murid untuk disiapkan. Aku berdiri di depan pintu, menyambut mereka sambil memeriksa kelengkapan pakaiannya. Kulihat beberapa masih ada di luar kelas. Dengan tergesa mereka berlarian menuju ke kelasnya masing-masing. Zulmi seorang siswa dengan tubuh kurus tinggi datang terlambat. Sambil membungkukan badan dia mencium tanganku dan berbicara terbata-bata. “Ma-af A..A..Aku kesiangan,” katanya. Aku menerima salamnya dan segera kusuruh dia masuk. Tanpa menanyakan alasan mengapa dia datang terlambat. Karena bukan sekali ini dia terlambat, hampir setiap hari semenjak dia diterima di sekolah ini. Aku sudah memakluminya. Jarak rumahnya menuju sekolah sangat jauh. Selain itu medan yang dilaluinya amat sulit. Dia harus berangkat selepas shalat subuh dengan melalui hutan sawit. Konon cerita masyarakat di sana, banyak hewan buas yang kadang kita temui di tengah hutan tersebut. Memang dia tidak sendirian, masih banyak anak-anak lain yang tinggal sekampung dengan Zulmi, namun mereka kadang datang diantar orang tuanya menggunakan motor. “Assalamualaikum....selamat pagi anak-anak!!” Sapaku mengawali pertemuan hari ini. Kulihat wajah-wajah anak didikku sambil memeriksa barangkali ada yang absen hari ini. Hari ini minggu kedua pertemuan aku bersama mereka. Mereka adalah murid baru kelas satu di tahun ajaran ini. Semuanya berjumlah 25 orang. Sepuluh anak laki-laki, dan 15 anak perempuan. “Waalaikum salam!!! Mereka serempak menjawab. Salah satu siswa baru kelasku ini, ya Zulmi tadi. Kulihat dia duduk di bangku paling belakang dengan seorang anak laki-laki yang lebih kecil dibandingkan tubuhnya. “Anak-anak hari ini kita awali dengan pelajaran membaca indah .” Lanjutku mengawali pembelajaran. “Sebagai perkenalan ibu ingin diantara kalian ada yang membaca puisi ke depan.” Sambil berjalan berkeliling kutatap satu persatu wajah mereka. “Ayo siapa berani?” Tantangku. “Nanti ibu kasih hadiah untuk yang berani ke depan!” kukeluarkan sebuah coklat yang kubeli tadi di warung dekat sekolah. Belum juga ada yang menunjuk tangan. Aku maklum karena mereka murid baru, yang mungkin masih malu karena baru beberapa pertemuan bertemu denganku. Karena belum ada juga yang dengan sendirinya maju ke depan akhirnya reflek tanganku menunjuk Zulmi. Entah kenapa, mungkin karena dia terlihat paling tinggi di antara teman-temannya. Dia tampak kaget sekali mendengar namanya dipanggil untuk maju ke depan. Seketika wajahnya menjadi pucat, tubuhnya bergerak tak jelas menunjukan kegelisahan. Kudekati bangku tempat dimana dia duduk. Lalu dengan lembut kubujuk dia ke depan. Dia menggelengkan kepalanya. Kubujuk lagi, masih tak mau. Meski sudak kuiming-imingi dengan sebuah coklat dia masih tidak mau. Aku menyerah, hari itu aku tidak berhasil menyuruh zulmi untuk ke depan. Sebagai gantinya kutunjuk seorang anak perempuan. Aku sudah hampir dua tahun mengabdikan diriku sebagai tenaga pendidik di daerah terpencil ini. Daerah yang sangat jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk kota. Untuk sampai ke dusun Pasir Angin, demikian orang menyebutnya, dari kecamatan harus menggunakan ojeg. Karena hanya kendaraan ini yang mampu menembus jalan setapak. Dengan ojeg ini, kita akan sampai dalam waktu satu setengah jam. Terkadang untuk penduduk setempat, lebih memilih berjalan kaki, ketimbang harus naik ojeg, karena ongkos yang harus dikeluarkan cukup mahal. Aku sendiri memilih tinggal di perumahan yang disediakan oleh sekolah. Rumah kecil dengan satu kamar, ruang tamu merangkap ruang keluarga, merangkap dapur pula. Ada dua rumah kecil yang tersedia. Satu menjadi tempat tinggalku, satu lagi diisi oleh kepala sekolah yang sama-sama pendatang di daerah ini. Kami sama-sama ditugaskan oleh pemerintah untuk mengabdikan diri sebagai guru di daerah terpencil ini. Selain aku dan kepala sekolah ada empat guru lain yang ikut memajukan pendidikan di sekolah ini. Keempatnya masih bekerja sebagai tenaga honorer. Ditambah seorang pegawai Tata Usaha dan seorang penjaga sekolah. Mereka semua adalah penduduk setempat di sekitar sekolah ini. Suatu hari aku kembali mengajar di kelas satu, jam pelajaran terakhir sehabis pelajaran olah raga. Ku tatap anak-anak satu persatu. Wajah lusuh mereka mengurungkan niatku untuk memberi materi pelajaran di dalam kelas. Ah lebih baik kubawa saja mereka belajar di luar kelas, ucapku dalam hati. Lalu kuajak mereka pergi ke luar kelas dan duduk di depan taman sekolah. “Asyik kita belajar di taman!,” mereka berteriak kegirangan. Masing-masing berlari berebut untuk mencari posisi yang nyaman menurut mereka. Setelah semua duduk aku mulai dengan mengabsen terlebih dahulu. Dua anak tidak hadir karena sakit. Tapi ternyata setelah kuhitung masih ada satu anak yang belum hadir. Setelah kucek kembali ternyata Zulmi tidak ada. “Lho! Zulmi kemana?” tanyaku Semua anak melihat ke samping dan ke kiri tempat mereka duduk, lalu mereka menatapku. Salah seorang dari mereka berkata,”Tadi waktu olah raga Zulmi ada bu,” yang lain ikut bersuara membenarkan kata-kata temannya. “Kita cari di kelas dulu, bu,” Ketua Murid memberikan usulan. Aku mengiyakan, dan menyuruhnya untuk mencari Zulmi di kelas. Karena penasaran kuikuti juga langkah Ketua Murid. Tiba di depan kelas, aku melihat seorang anak sedang menelungkup di atas meja. Aku dan Ketua Murid saling menatap. Kuhampiri meja dimana anak tersebut tertidur. Zulmi. Zulmi memang istimewa. Kukatakan istimewa karena selama aku mengajar baru kali ini aku memiliki siswa seperti Zulmi. Secara fisik dia tidak jauh berbeda dengan teman-temannya, tapi Zulmi lebih tinggi meskipun agak kurus. Wajahnya memang sedikit menyiratkan kepolosan, jarang aku melihat Zulmi berekspresi. Kebahagian dan kesedihan baginya sama saja. Aku baru mengetahui baru-baru ini, kalau Zulmi belum bisa membaca secara lancar. Setelah kejadian dia menolak membaca puisi, suatu hari kusuruh dia membaca sebuah teks. Ternyata dia belum bisa membaca dengan lancar. Apalagi bila berhadapan dengan kata yang memiliki suku kata lebih dari dua. Aku jadi penasaran dengan kemampuannya untuk menerima pelajaran di kelas, kucoba mendiktekan sebuah kalimat. Ternyata...tak satupun kata yang dapat ditulisnya. Kenyataan ini membuatku tercenung, bagaimana bisa dia sampai di tingkat Sekolah Menengah Pertama dengan kemampuan yang di bawah rata-rata? Akhirnya kusimpulkan kemampuannya di bawah rata-rata karena hampir semua guru mengeluhkan hal yang sama. Zulmi membuatku tertarik membuka kembali buku psikologi khususnya tentang anak berkebutuhan khusus. Salah satu ciri yang ada pada Zulmi ternyata termasuk pada individu yang memiliki kesulitan belajar. Anak seperti Zulmi memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan menulis. Hal ini tentu saja mempengaruhi pada kemampuan berfikir, membaca, berhitung, dan berbicara, yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injuri, disfungsi minimal otak, disleksia, dan afasia perkembangan. Sejak mengetahui kondisi Zulmi yang sebenarnya, aku dan guru-guru di sekolahku merasa serba salah. Di satu sisi Zulmi memiliki semangat yang tinggi untuk sekolah, Tak pernah sehari pun dia tidak sekolah, meskipun kadang datang terlambat. Di sisi lain, kami sebagai gurunya merasa kasihan melihat dia dengan susah payah mengejar ketinggalannya. Pernah suatu hari aku memanggil orang tuanya untuk membicarakan hal ini. Orang tua Zulmi menyadari akan kondisi anaknya. Dia tidak menuntut lebih pada guru-guru, sudah membiarkan Zulmi ada di sekolah pun orang tuanya sudah sangat berterima kasih. Dan pada saat itulah kali pertama aku melihat Zulmi menangis. Zulmi mengerti keraguan kami pada keterbatasannya. Akhirnya atas izin kepala sekolah dan keikhlasan kami dalam mendidik, Zulmi bisa tetap bersekolah. Kami menyebutnya sebagai anak bawang. Anehnya teman-teman Zulmi tak ada yang mempermasalahkan keterbatasan Zulmi , malah mereka dengan senang hati membantu tugas-tugasnya. Suatu hari pada pembelajaran prakarya, anak-anak ditugaskan membuat anyaman dari bambu. Mereka belajar membuat ‘aseupan’. Sebuah alat memasak yang terbuat dari anyaman bambu, dan biasanya digunakan untuk mengukus nasi. Guru prakarya memilih kerajinan ini karena bambu sebagai bahan dasarnya mudah didapat di kampung Pasir Angin ini. Anak –anak tampak bersemangat, meskipun panas terik mereka rela memotong dan membelah bambu di halaman belakang sekolah. Begitu pun dengan Zulmi. Aku menyaksikan dia dari balik jendela kelas. Dengan cekatan dia membantu teman-temannya memotong bambu dan merautnya hingga menjadi belahan-belahan yang tipis. Seminggu sejak pembelajaran prakarya, kerajinan anak-anak sudah bisa dilihat hasilnya, meskipun belum semua siswa selesai mengerjakannya. Aku sebagai wali kelas mereka merasa penasaran melihat hasil kerajinan mereka, lalu kuhampiri pak Dadi sebagai guru prakaryanya. “Ada yang sudah selesai, pak?” tanyaku sambil melihat beberapa hasil karya berjajar di atas meja. “Baru beberapa, bu,” jawab pak Dadi. Aku tertarik dengan salah satu asupan itu, lalu kuambil dan kuperhatikan dengan seksama. Rautannya rapi sekali, begitu juga dengan anyamannya. Seperti pekerjaan seseorang yang sudah biasa menganyam. Kulihat nama yang tertera di kertas yang digantungkan di pinggir aseupan itu, Zulmi Mudzakir. Tulisannya tidak begitu jelas, tapi mampu membuat hati ini berdesir. “Subhanallah...,” bisikku. Air mataku tak terasa merembes ke luar. Air mata bahagia seorang guru walikelas, melihat kelebihan yang dimiliki anak didiknya. “Zulmi, maafkan kami yang sempat mengganggapmu hanya sebagai anak bawang. Ternyata di balik kekuranganmu, kamu memiliki kemampuan yang mungkin kelak bisa menjadi bekal hidupmu,” kataku seraya menyimpan kembali aseupan itu. .

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanallah, Allah menciptakan kekurangan sekaligus kelebihan dalam diri hamba-Nya. Bunda, cerita yang dangat menginspirasi bagi para guru untuk bisa mengenal anak didiknya lebih jauh. Maaf...beribu maaf bunda, apa tidak sebaiknya kita buat paragraf-paragraf dalam cerita luar biasa di atas. Agar pembaca lebih nikmat lagi melahap cerita bunda yang lezat ini. Salam literasi dari Medan. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, bunda.

07 Nov
Balas

Trimakasih atas masukannya. Niat dan tulisan asli sudah dlm bentuk paragraf. Tapi saat mengirimkan kok malah jadi seperti ini..he Saya baru pertama kali mengisi ruang gurusiana

08 Nov
Balas



search

New Post