Keren Kamu Do'kio
Tantangan Hari ke-9
30 Hari Menulis di Gurusiana
#TantanganGurusiana
“Miss Dorkeo, sit here.” Dahlan, pria ramah dan mudah bergaul itu, melambaikan tangannya pada Dorkeo dan menunjuk kursi kosong yang ada di sampingnya. Ia mengisyaratkan agar Dorkeo duduk di sampingnya. “Yes, thank you.” Dorkeo tersenyum dan melangkah ke arah Dahlan, dia meletakkan ransel belajarnya di sebuah kursi dan kemudian mengambil sarapan di meja hidangan sebelum duduk lagi tepat di kursi yang disediakan Dahlan tadi.
“Do you eat the same food in Laos?” Dahlan bertanya, mungkin khawatir dengan hidangan sarapan pagi itu, siapa tau Dorkeo yang orang Laos itu tidak sama makanannya dengan orang Indonesia. “Ya, we eat rice and noodle, too. But the rice is different.” Dorkeo menjawab sambil menunjukkan kalau nasi kita tidak begitu lengket tapi nasi dinegaranya lebih lengket. “Ohh... different...” Dadang yang duduk di sebelah Dahlan dari tadi ikut memperhatikan pun nyeletuk. Tiba-tiba Dorkeo berkata; “Just call me Kew, or like an alphabet Q, it’s easy for you to call me this way.” Dorkeo menyarankan nama panggilannya agar lebih mudah dipanggil oleh orang Indonesia. Mungkin cara orang Indonesia membunyikan kata Dorkeo sangat berbeda dengan cara orang Laos membunyikannya. Aku dengar dia menyebut namanya kira-kira berbunyi do’kio. Aku yakin dia risih dengan cara kami memanggilnya. Sejak hari itu kami memanggilnya Kew or Q, tergantung apa yang dibayangkan orang yang memanggil dan pada kenyataannya bunyinya tetap sama, yaitu /kiu/.
Diklat yang diikuti oleh guru-guru sekolah dasar se-asean ini pun berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Banyak ilmu baru yang diperoleh. Semakin berjalan waktu, interaksi Dahlan dan Q terlihat semakin natural. Merekapun sering duduk berdekatan saat sesi materi dan saat istirahat.
Pada hari ke-lima diklat, semua peserta dibagi dan bekerja dalam kelompok kecil. Aku, Dahlan, Q, Marina dan Priyo berada dalam satu kelompok. Hanya Q satu-satunya yang bukan orang Indonesia. Nah, disinilah aku menyaksikan keakuran Dahlan dan Q. “Ayo Q, kita kerjakan yang ini” Dahlan berbicara pada Q dalam bahasa Indonesia. “Ya, ya”, Q menjawab. Hmmm, Q mengerti bahasa Indonesia? Aku sempat berfikir dalam hati. Lalu aku mendengar lagi, “Wah Q, ini perlu pemikiran dalam ini, Q!” Dahlan kembali bicara pada Q yang duduk disebelahnya dalam bahasa Indonesia. “Why you always speak Indonesia to me?” Q berbisik ringan mempertanyakan mengapa Dahlan selalu bicara dalam bahasa Indonesia padanya. “Haa...” Aku tersenyum dan melirik Dahlan. Aku menyimpulkan kalau Q sebenarnya tidak mengerti bahasa Indonesia. Dahlan tampak cuek dan meneruskan mengerjakan tugas kami sambil diskusi dengan teman lain.
“Hebat kamu, Q” Dahlan tersenyum dan menepuk halus pundak Q saat Q berhasil mencari solusi untuk menyelesaikan tugas kelompok kami. “Aah.. it’s okay, we work together.” Q merespon seolah-olah mengerti yang diucapkan Dahlan. Tapi aku yakin Q sebenarnya hanya menebak apa yang diucapkan Dahlan karena setelah itu aku mendengar celetukan pelannya “English please...” Tapi Dahlan tetap cuek, walaupun dia bisa berbahasa Inggris namun Dahlan tampak lebih nyaman menggunakan bahasa Indonesia dengan Q.
Dalam kelompok kecil kami, jika ada pembagian tugas, Dahlan dan Q selalu bekerja berdua. Walaupun Dahlan sering menggunakan bahasa Indonesia saat bicara dengan Q, Q selalu merespon dengan tepat ucapan Dahlan. Chemistry mereka memang sangat bagus. Sungguh, interaksi mereka berdua sering membuat aku dan teman lain tersenyum.
Melihat mereka, aku teringat dengan keponakan-keponakanku saat mudik lebaran. Mereka yang rata-rata masih berumur di bawah lima tahun nampak asik bermain dan berkomunikasi dengan sangat lancar. Keponakan yang dari Bengkulu selalu berbicara dalam bahasa bengkulu, yang dari Bekasi memakai bahasa Indonesia, dan keponakan yang satu lagi dengan bahasa Minangnya. Sungguh, mereka kompak dengan bahasa yang berbeda-beda. Kami orang dewasa sering cekikikan melihat para krucil itu berinteraksi dan bermain bersama.
Aku yakin, bahasa bukan penghalang jika kita memiliki tujuan yang sama. Orang lain bisa memahami kita jika saat bicara kita memiliki konteks yang sama.
29 Januari 2020

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Betul, dengan bahasa mimik, ekspresi, kode tangan dan gerak tubuh kita bisa berbahasa
Iya bu Fit... Komunikasi ga harus dengan bahasa lisan ya b Fit....
Kereeeen iyaaan...wuuuis mantap..makin mengalir...dan keren mencarikan padanan kisah ke ponakan...lanjut yan
Makasi neee.... Memang betul itu yg teringat neee... Hehe...