Pagi yang cerah sayangnya tak secerah hatiku. Mau dipaksakan senyum pun akan kelihatan aneh. Padahal si kribo di depannya sedang menyampaikan tebak-tebakan yang disambut gelak tawa sama si Diaz.

"Lagi dong Bo, ini lho patung sebelahku masih kaku", pinta Diaz sambil ngerling padaku.

" Apaan sih Yaz", sungut ku.

"Kenapa coba matahari bisa tenggelam? " Lanjut si Kribo.

"Karena bumi yang ngelilingi matahari", jawab Diaz.

Kribo menggelengkan kepala.

"Terus apa dong? Kamu tahu ga Via? "

"Kalau tahu jawabannya memang kenapa? " gumamku pelan .

"Ditraktir bakso deh di tempatnya mang Udin" si Kribo yang menjawab.

Ahh ini dia satu masalahku bakalan terurai hanya dengan menjawab tebak-tebakan ga jelas dari si Kribo. Hatiku mulai menyingkirkan awan mendung yang menempel di hati.

"Beneran nih? Aku tahu lho jawabannya", ujarku.

"Asyik aku juga dapat traktiran khan Bo?"

"Beres, yang kalah yang bayar" si Kribo menanggapi.

"Mengapa matahari tenggelam karena ia tak bisa berenang, bener khan Bo?" terbayang sambelnya mang Udin di mangkuk membuatku menyunggingkan senyum.

Si Kribo menganggukkan kepala nya. Dan akupun bersorak dalam hati. Sudah tiga hari ini sayur dari katering di kos rasanya hambar. Secara cabe katanya harganya mahal. Kalau pakai cabe kering aku tak suka, ga jelas kebersihannya. So ketika sampai di tempat mang Udin, aku segera mendekati tempat sambal.. Namun hanya cairan encer berwarna oranye yang kudapati.

"Lah Mang, kok sambelnya kek gini?"

" Neng, harga cabe sekilo sama kaya harga daging sekilo", keluh Mang Udin.

Harapanku untuk reuni dengan sambal hanyalah harapan. Tersisa doa semoga harga cabe kembali standar dan mudah menemui keberadaannya. Perutku protes sehingga moodku mengacau saat sambal tak kudapati dalam setiap kudapan yang kumakan.