'Nasi Ibek' Suatu Bentuk Kearifan Lokal
Tantangan Menulis Hari ke-18
#TantanganGurusiana
Indonesia adalah salah satu Negara yang terkenal kaya akan keberagamannya. Keragaman tersebut bisa dilihat dari suku bangsa, agama, ras, adat atau budaya, sehingga itu semua menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia. Salah satu ciri khas yang bisa kita temukan di setiap daerah yang ada di Indonesia adalah dari kulinernya, dan bagaimana cara penyajian terhadap masakan tersebut. Dalam hal ini khususnya terhadap masakan nasi.
Seperti yang kita ketahui, banyak ragam masakan nasi di Indonesia, di antaranya ada nasi liwet, nasi kuning, nasi kucing, nasi tumpeng, nasi kebuli, nasi minyak, nasi rawon, nasi kapau, dan masih banyak lagi jenis masakan nasi yang lainnya. Cira rasa dari masing-masing masakan nasi tersebut bisa dibilang khas, karena adanya penggunaan rempah-rempah ketika memasaknya. Bisa jadi cara penyajiannya juga berbeda-beda. ada yang dihias dahulu sedemikian rupa, agar terlihat lebih cantik seperti masakan nasi tumpeng. Tetapi ada juga yang penyajiannya begitu sederhana, simpel dan praktis sehingga mudah untuk dibawa ke mana saja oleh orang yang akan menyantapnya. Walaupun penyajiannya begitu praktis, tapi soal rasa jangan ditanya lagi, sungguh nikmat sekali. Tidak salah lagi, yang saya maksud di sini salah satunya adalah masakan nasi ibek yang terdapat di daerah Kabupaten Kerinci Jambi.
Nasi ibek adalah nasi yang dibungkus dengan daun baru (waru). Biasanya, nasi ibek hanya bisa kita temukan pada saat acara tertentu saja, khususnya acara yang berkaitan dengan tiga ritus penting dalam kehidupan manusianya yakni upacara kelahiran, upacara perkawinan, dan upacara kematian. Nasi ibek ini akan diberikan kepada tamu yang datang saat nyigok (menjeguk). Nyigok adalah kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh tamu ke rumah orang yang membuat hajatan dengan memberikan beras dan uang. Beras dan uang tersebut biasanya dimasukkan ke dalam tas. Biasanya ini dilakukan sebagai bentuk dari rasa kepedulian masyarakat untuk membantu meringankan biaya orang yang membuat hajatan. Bantuan yang telah diberikan tamu tersebut, dibalas dengan diberikannya sebungkus nasi ibek dari pihak keluarga pembuat hajatan untuk nantinya dibawa pulang oleh tamunya.
Walau hanya sekedar nasi putih biasa (tidak dimasak dengan bumbu rempah-rempah), tetapi nasi ibek memiliki cita rasa yang begitu khas. Hal ini mungkin dikarenakan, nasi ini dibungkus dengan daun baru (waru). Aroma nasi yang keluar, saat kita membuka nasinya itu begitu wangi, sungguh menggugah selera. Padahal jenis lauk dan sayurnya hanya satu macam, yakni rendang dan gulai nangka. Ah…saya jadi terbayang-bayang dengan nikmatnya makan nasi ibek.
Sayangnya, saat ini daun baru (waru) sudah mulai jarang digunakan oleh masyarakat untuk membungkus nasi ibek. Sebagian dari masyarakat malah memilih menggunakan pembungkus dari kertas untuk membungkus nasi ibek tersebut. Ini dikarenakan masyarakatnya yang tidak mau repot (susah) mencari daun warunya terlebih dahulu. Pemakaian kertas sebagai pembungkus nasi dianggap lebih praktis. Padahal dengan memakai daun baru, cita rasa nasi ibek itu begitu khas sekali. Lain dari yang lain. Selain itu, dengan memakai pembungkus alami seperti daun baru (waru) paling tidak kita tetap bisa berperan menjaga lingkungan dari sampah kertas atau plastik, mengingat Negara Indonesia merupakan Negara penghasil sampah terbesar ke dua di dunia. Kalau bukan kita yang peduli terhadap lingkungan, siapa lagi? kearifan lokal ini bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi banyaknya sampah di Indonesia.
Untuk itu, alangkah lebih baik, jika kita tetap menjaga dan mengangkat kembali kearifan lokal yang sudah dilakukan secara turun temurun tersebut. Salah satunya ya tetap memakai bahan alami untuk membungkus nasi ibek. Tidak hanya menggugah selera, sebenarnya banyak nilai-nilai kearifan lokal yang dapat kita temukan dari sebungkus nasi ibek misalnya hubungan kerjasama (gotong royong) dan kebersamaan dalam masyarakat tetap kuat dan terjaga. Ini bisa dilihat dari aktivitas yang dilakukan masyarakat secara bersama-sama mencari daun baru (waru), hidup tetap sederhana dan jauh dari yang namanya gengsi sosial (dahulu masyarakat belum kenal dengan yang namanya resepsi dalam perkawinan). Resepsi dalam pesta perkawinan terkadang identik dengan makan prasmanan. Nah makan prasmanan ini bisa saja menggantikan tradisi makan nasi ibek. Yang jelas-jelas makan prasmanan itu akan mengurangi bentuk dari kebersamaan masyarakat sebelumnya.
Sangat disayangkan memang, sesuatu yang begitu sarat dengan makna dengan mudahnya digantikan oleh kemajuan zaman yang belum tentu memiliki makna yang berarti. Mari kita jaga budaya lokal kita. Jangan sampai kita dininabobokkan oleh budaya asing, yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa kita.
Inilah Indonesia…inilah ciri khasnya…kita patut berbangga dengan itu semua….salam literasi

Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar