Desmi Yati Arifin

Guru MAN Insan Cendekia Bengkulu Tengah...

Selengkapnya
Navigasi Web
DESEMBER RINDU
DESEMBER RINDU

DESEMBER RINDU

Desember Rindu

Aku masih merasakan hadirnya sebuah nama yang

ketika kusebut selalu mengingatkan pada bulan

kelahiranku. Di sebuah stasiun kereta ia

memberikan secarik kertas yang berisi nama dan bulan

lahir yang sama. Dan ia pergi meninggalkan sebait puisi di

bawah nama yang diberikan padaku. Desember. Sebuah

nama yang sering menjadi diorama rasa bagi sebagian

orang. Nama yang sering menjadi nyanyian penyair dan

juga nyanyian penyuka hujan. Bahkan, 60 tahun lalu

seorang sutradara terkemuka pernah membuat sebuah

film yang diberi judul Kabut Desember. Betapa, Desember

selalu menjadi sebuah nama yang estetik dan penuh

makna juga peristiwa roman di dalamnya. Sampai

Desember keenam ia masih setia dengan tulisan dan

perasaan yang selalu ia jaga. Padaku. Entahlah. Sampai

kapan perasaan itu akan kukuh di dadanya yang selalu

terjal.“Sudah dua tahun, ya kita memandang arah yang

sama,” suatu sore dialog itu lahir dari bibirnya yang keluh.

Aku memandang langit yang galau. Ditemani gugusan

warna yang pudar. Ia menatap sejenak langit itu. Tanpa

ia tahu aku memandangnya dengan dada risau. Aku tahu

ia tidak merasakan apa yang kurasakan. Namun, ia tahu

degup dadaku yang semakin mengerang ketika kelopak

matanya nanar menatapku.

“Aku berharap, setiap Desember kita akan tetap

melihat langit di sini,” perlahan aku mulai membuka

dialog yang sejak langit melamun kami hanya diam.

Sesekali ia membuka novel yang baru saja kuberikan

untuknya. Ia hanya membalas dengan senyum yang selalu

meruntuhkan deru napasku. Di bawah langit itu kami

hanya sesekali bercerita tentang waktu yang telah kami

lewati. Sebuah perjalanan yang tidak pernah menyentuh

rasa. Sebuah masa yang hanya diisi dengan dialog mesra

tanpa memahatnya menjadi sebuah relief cinta.

“Aku juga berharap begitu,” jawabnya sembari

menghirup silir angin yang sendu. Ia bercerita tentang

hari lahirnya yang hanya berbeda beberapa hari dengan

hari lahirku. Sesekali aku menoleh pada wajahnya yang

semakin sayu dalam ceritanya dan memberanikan diri

menggenggam jemarinya. Ia menoleh lalu tersenyum.

Sore sudah semakin renta. Ia pamit untuk pulang dan

aku hanya mengangguk mengiyakan kepergiannya. Aku

pun beranjak meninggalkan sore yang setia merawat

senja. Berjalan gontai ke rumahku yang hanya berjarak

beberapa ratus meter dari tempat pertemuanku tadi.

Ekalaya. Sebuah nama yang selalu mengingatkanku

pada seorang kesatria yang pandai memanah. Hanya saja

ia tidak pernah mendapat tempat di mata kesatria

lainnya. Namanya hilang begitu saja walau kelihaiannya

dalam memanah hampir lebih sempurna dibandingkan

dengan Arjuna. Seorang kesatria dari keluarga Pandawa

yang mengaku dirinya satu-satunya pemanah terhebat di

jagat ini.

Aku sangat menyukai namanya. Karakternya pun

hampir sama dengan Ekalaya yang terdapat dalam tokoh

wayang yang aku baca. Ia tidak pernah meminta untuk

diakui setiap ia membuat sebuah karya. Ia pun gigih

berlatih tanpa harus ada yang mengajari atau

membimbingnya. Aku seakan melihat jiwa Ekalaya

terdapat di dalam jiwanya. Sikapnya yang ramah juga

lemah lembut membuatku yakin bahwa ada jiwanya di

dalam jiwannya.

Ekalaya. Aku menulisnya di dalam sebuah bingkai

yang penuh dengan bunga. Meletakkan namanya pada

setiap puisi yang kutulis. Diam-diam aku mulai merasakan

debar di dalam rongga dadaku. Tidak. Aku seorang

perempuan. Tidak boleh menanam perasaan terlebih

dahulu. Tetapi, sebuah kisah di dalam sebuah novel

mengingatkanku pada seorang perempuan yang secara

terang-terangan menyatakan perasaan pada seorang

pangeran yang ditemuinya. Begitu pun dengan Zulaikha,

yang jelas terang-terangan menyatakan dirinya suka dan

menggoda dengan bahasa Ibraninya pada Yusuf, yaitu:

“Haita Lak”. Lalu, apakah aku akan menjadi seorang perempuan seperti dalam novel tersebut atau menjadi

Zulaikha dalam histori cintanya pada Yusuf. Barangkali iya

atau barangkali tidak.

Violetta. Namaku yang sering ia sebut sebagai nama

yang puitis dan terdapat dalam sejarah. Ia juga sering

berkata bahwa namaku adalah nama yang manis. Setiap

menyebut namaku ia selalu teringat akan sebuah film

yang pernah sekilas ditontonnya. Aku tidak pernah

bertanya pada orang tuaku tentang namaku. Ia juga

menyebutkan namaku adalah satu-satunya nama yang

tidak pernah ditemui kecuali dalam sebuah film yang

pernah sekilas ditontonnya. Ketika membaca namaku ia

seakan membaca sebuah puisi yang dilanjutkan dengan

bulan kelahiranku, juga hujan di bulan itu.

“Letta, sore ini ke tempat biasa,” suara itu

menyelinap lewat gendang telingaku di tengah riuh angin

di depan gedung tempat kami bersenda dan bergurau.

Juga tempat kami mengenyam sebuah peradaban yang

terkadang tidak kami dapatkan. Aku mengangguk. Dan ia

menggenggam jemariku dan berjalan ke tempat biasa.

Tempat yang selalu menjadi sebuah taman di tengah

karut-marut kota yang semakin bising. Kami berjalan

dalam diam. Sesekali ia bertanya apa yang aku dapat hari

ini. Aku hanya menanggapinya dengan senyum dan

jawaban sahaja.

“Letta. Dua tahun kita bersama. Apa tidak sebaiknya

kita satukan rasa menjadi sebuah cerita nyata. Tanpa

harus menunggu alur ditulis oleh pengarang cerita

tersebut, tapi kita yang menciptakan alurnya,” tiba-tiba

ia berkata sedemikian intimnya dengan wajahku. Ia

menatap mataku tanpa mengedip. Aku menunduk dan

melihat ke arah yang kosong. Aku tidak tahu harus

menjawab dengan kata yang sepadan atau sebaliknya. Di

dadaku hanya ada gelombang yang semakin menggerung

ketika aku mencoba menahannya. Eka menghela napas

dan melihat langit yang bisu. Aku gelisah tanpa kusadari.

Tetapi ia menyadari kegelisahanku.

“Aku tidak memintamu untuk menjawab iya atau

tidak,” seketika ia menatap bongkahan kegelisahan yang

membeku di mataku. Aku kembali menunduk. Di dadaku

nama Ekalaya menjadi sebuah gurun yang semakin lama

semakin gersang. Sedang aku mencoba menjadi oase

tetapi selau tertimbun oleh abu yang beterbangan. “Eka,

aku belum mampu menadah rasamu. Aku masih ingin

berjalan di antara gersangnya dadamu tanpa harus

menggengan rasamu,” suaraku perlahan dalam hati.

Eka. Kita hanya sebuah kisah yang beralur pada jejak-

jejak matahari dan bulan. Aku tidak sanggup menjadi

bagian dari alur cerita itu. Aku akui. Di dadaku namamu

selalu menjadi gemuruh. Tetapi aku tidak ingin gemuruh

itu retak oleh kegusaranku sendiri.

ejak sore itu kami memutuskan untuk membuat

cerita yang berbeda. Sebuah cerita yang tidak mengalur

pada rasa antara aku dan Eka. Kami berjalan di antara

cerita yang diciptakan oleh kami. Aku membuat cerita

tentang samudera yang membasahi gersangnya dadaku.

Entahlah. Aku tidak tahu cerita apa yang akan dibuat oleh

Ekalaya. Dan kami berjanji akan bercerita setiap

Desember tiba di sebuah tempat yang kami suka, yaitu

stasiun. Aku tidak tahu alasan Eka memilih stasiun sebagai

tempat untuk menceritakan cerita kami.

Suatu hari Eka berkata bahwa di stasiun ada banyak

hal yang membuat sebuah cerita menjadi lebih dari

cerita. Aku tidak paham dengan perkataan itu. Tetapi Eka

memahami ketidakpahamanku. Di sana akan kita temukan

sebuah alegori yang beragam, katanya. Jika kamu mau

menulis di sana, akan ada banyak sesuatu yang akan

membuat tulisanmu disukai banyak orang, katanya

kembali. Aku hanya menikmati setiap yang ia katakan.

Sampai Desember kelima kami masih setia dengan cerita

yang kami buat dan menceritakan di tempat yang sama.

“Eka, rasanya jalan ceritaku sudah mulai berbeda

dengan jalan ceritamu.”

Sore itu aku yang memilih untuk menjadi yang

pertama dalam bercerita. Eka mengangguk dan

memberiku ruang untuk memulainya. Dengan dada yang

berdebar aku mulai bercerita. Aku berharap Eka tidak

kaget atau marah, bahkan menyesal dengan ceritaku saat

ini. Perlahan aku bercerita tentang alur hidupku yang

sudah ada pemeran lain dalam ceritanya. Ia berperan sebagai tokoh utama yang mengisi alur ceritaku setiap

waktu. Mendengar ceritaku Eka hanya mengembuskan

napas dalam-dalam. Ia tidak bertanya atau berkomentar

mengenai ceritaku sampai aku selesai.

“Maaf, Eka. Aku tidak bisa menjadi Anggraeni dalam

ceritamu,” itulah akhir dari ceritaku sore itu. Debar

dadaku semakin tak menentu. Aku melihat Eka masih

diam. Ia menoleh dan menatapku perlahan dan tajam.

Aku semakin kelu. Mataku seakan nanar untuk

menatapnya. Ia mengambil dan menggenggam tanganku.

Dan berkata, “Letta, aku tidak pernah memintamu untuk

menjadi Anggraeni dalam ceritaku. Aku tidak berhak

untuk itu,” lalu ia memelukku di antara sore yang kian

renta. Warnanya berubah menjadi merah dan lusuh.

Sebab, gerimis mendekapnya dan membuatnya menggigil.

Dan malam merenggutnya. Kami saling berpelukan di

antara risaunya hujan yang kian berkecamuk. Sampai

malam menjadi lagu dan lugu. Ia meminta kami pulang

dan mendekap erat angin yang dihirupnya. Kami pun

beranjak meninggalkan jejak hujan yang perlahan pudar.

Menyisir gerimisnya yang bergerak parau.

Sampai Desember keenam ia masih setia dengan

tulisan dan perasaan yang selalu ia jaga. Padaku.

Entahlah. Sampai kapan perasaan itu akan kukuh di

dadanya yang selalu terjal. Dan memintaku untuk

menemuinya di tempat biasa kami bercerita. Wajahnya masih sendu seperti Desember lalu. Aku tersenyum ketika

ia datang dan duduk di sisiku. Di sebuah kursi panjang

yang berhadapan langsung dengan rel kereta yang lalu

lalang di hadapan kami. Tanpa dialog ia pegang bahuku.

Dan tanpa diminta aku menyandarkan kepalaku di

bahunya. Ia bercerita panjang lebar. Aku setia

mendengarkannya tanpa bertanya dan mengomentarinya.

Sesekali ia menatap wajahku sembari berkata, “Kamu

masih sama seperti dulu, seperti bulan yang

melahirkanmu. Selalu menjadi lagu dan puisi,” aku

menanggapinya dengan senyum. Ia tahu bahwa aku sudah

menjadi seorang yang tak lagi sendiri. Di rumahku seorang

bidadari manis senantiasa menunggu kehadiranku.

“Eka, kamu tahu,” tiba-tiba ia berhenti bercerita dan

menoleh padaku yang masih bersandar di bahunya. Ia

menatap mataku dan aku juga menatapnya dengan

lembut. “Aku tidak pernah bisa menjadi Anggraeni dalam

ceritamu. Tetapi aku sudah menjadi Anggraeni di dadamu

sebelum cerita itu kamu ciptakan.”

Rindu, Desember (DYA)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerita yang unik dan menarik Bunda. Oiya, kover buku kayaknya bukan MediaGuru nggih? Sebelum ditegur, sebaiknya ganti aja Bunda. Maaf

26 Jul
Balas

Cerpen yang unik dan indah bunda

26 Jul
Balas

Cerpen yang keren bunda. Diksinya indah banget. Salam sukses selalu.

26 Jul
Balas

Cerpen yang indah. Mari SKSS sahabat gurusianer

26 Jul
Balas



search

New Post