DESEMBER RINDU
Desember Rindu
Aku masih merasakan hadirnya sebuah nama yang
ketika kusebut selalu mengingatkan pada bulan
kelahiranku. Di sebuah stasiun kereta ia
memberikan secarik kertas yang berisi nama dan bulan
lahir yang sama. Dan ia pergi meninggalkan sebait puisi di
bawah nama yang diberikan padaku. Desember. Sebuah
nama yang sering menjadi diorama rasa bagi sebagian
orang. Nama yang sering menjadi nyanyian penyair dan
juga nyanyian penyuka hujan. Bahkan, 60 tahun lalu
seorang sutradara terkemuka pernah membuat sebuah
film yang diberi judul Kabut Desember. Betapa, Desember
selalu menjadi sebuah nama yang estetik dan penuh
makna juga peristiwa roman di dalamnya. Sampai
Desember keenam ia masih setia dengan tulisan dan
perasaan yang selalu ia jaga. Padaku. Entahlah. Sampai
kapan perasaan itu akan kukuh di dadanya yang selalu
terjal.“Sudah dua tahun, ya kita memandang arah yang
sama,” suatu sore dialog itu lahir dari bibirnya yang keluh.
Aku memandang langit yang galau. Ditemani gugusan
warna yang pudar. Ia menatap sejenak langit itu. Tanpa
ia tahu aku memandangnya dengan dada risau. Aku tahu
ia tidak merasakan apa yang kurasakan. Namun, ia tahu
degup dadaku yang semakin mengerang ketika kelopak
matanya nanar menatapku.
“Aku berharap, setiap Desember kita akan tetap
melihat langit di sini,” perlahan aku mulai membuka
dialog yang sejak langit melamun kami hanya diam.
Sesekali ia membuka novel yang baru saja kuberikan
untuknya. Ia hanya membalas dengan senyum yang selalu
meruntuhkan deru napasku. Di bawah langit itu kami
hanya sesekali bercerita tentang waktu yang telah kami
lewati. Sebuah perjalanan yang tidak pernah menyentuh
rasa. Sebuah masa yang hanya diisi dengan dialog mesra
tanpa memahatnya menjadi sebuah relief cinta.
“Aku juga berharap begitu,” jawabnya sembari
menghirup silir angin yang sendu. Ia bercerita tentang
hari lahirnya yang hanya berbeda beberapa hari dengan
hari lahirku. Sesekali aku menoleh pada wajahnya yang
semakin sayu dalam ceritanya dan memberanikan diri
menggenggam jemarinya. Ia menoleh lalu tersenyum.
Sore sudah semakin renta. Ia pamit untuk pulang dan
aku hanya mengangguk mengiyakan kepergiannya. Aku
pun beranjak meninggalkan sore yang setia merawat
senja. Berjalan gontai ke rumahku yang hanya berjarak
beberapa ratus meter dari tempat pertemuanku tadi.
Ekalaya. Sebuah nama yang selalu mengingatkanku
pada seorang kesatria yang pandai memanah. Hanya saja
ia tidak pernah mendapat tempat di mata kesatria
lainnya. Namanya hilang begitu saja walau kelihaiannya
dalam memanah hampir lebih sempurna dibandingkan
dengan Arjuna. Seorang kesatria dari keluarga Pandawa
yang mengaku dirinya satu-satunya pemanah terhebat di
jagat ini.
Aku sangat menyukai namanya. Karakternya pun
hampir sama dengan Ekalaya yang terdapat dalam tokoh
wayang yang aku baca. Ia tidak pernah meminta untuk
diakui setiap ia membuat sebuah karya. Ia pun gigih
berlatih tanpa harus ada yang mengajari atau
membimbingnya. Aku seakan melihat jiwa Ekalaya
terdapat di dalam jiwanya. Sikapnya yang ramah juga
lemah lembut membuatku yakin bahwa ada jiwanya di
dalam jiwannya.
Ekalaya. Aku menulisnya di dalam sebuah bingkai
yang penuh dengan bunga. Meletakkan namanya pada
setiap puisi yang kutulis. Diam-diam aku mulai merasakan
debar di dalam rongga dadaku. Tidak. Aku seorang
perempuan. Tidak boleh menanam perasaan terlebih
dahulu. Tetapi, sebuah kisah di dalam sebuah novel
mengingatkanku pada seorang perempuan yang secara
terang-terangan menyatakan perasaan pada seorang
pangeran yang ditemuinya. Begitu pun dengan Zulaikha,
yang jelas terang-terangan menyatakan dirinya suka dan
menggoda dengan bahasa Ibraninya pada Yusuf, yaitu:
“Haita Lak”. Lalu, apakah aku akan menjadi seorang perempuan seperti dalam novel tersebut atau menjadi
Zulaikha dalam histori cintanya pada Yusuf. Barangkali iya
atau barangkali tidak.
Violetta. Namaku yang sering ia sebut sebagai nama
yang puitis dan terdapat dalam sejarah. Ia juga sering
berkata bahwa namaku adalah nama yang manis. Setiap
menyebut namaku ia selalu teringat akan sebuah film
yang pernah sekilas ditontonnya. Aku tidak pernah
bertanya pada orang tuaku tentang namaku. Ia juga
menyebutkan namaku adalah satu-satunya nama yang
tidak pernah ditemui kecuali dalam sebuah film yang
pernah sekilas ditontonnya. Ketika membaca namaku ia
seakan membaca sebuah puisi yang dilanjutkan dengan
bulan kelahiranku, juga hujan di bulan itu.
“Letta, sore ini ke tempat biasa,” suara itu
menyelinap lewat gendang telingaku di tengah riuh angin
di depan gedung tempat kami bersenda dan bergurau.
Juga tempat kami mengenyam sebuah peradaban yang
terkadang tidak kami dapatkan. Aku mengangguk. Dan ia
menggenggam jemariku dan berjalan ke tempat biasa.
Tempat yang selalu menjadi sebuah taman di tengah
karut-marut kota yang semakin bising. Kami berjalan
dalam diam. Sesekali ia bertanya apa yang aku dapat hari
ini. Aku hanya menanggapinya dengan senyum dan
jawaban sahaja.
“Letta. Dua tahun kita bersama. Apa tidak sebaiknya
kita satukan rasa menjadi sebuah cerita nyata. Tanpa
harus menunggu alur ditulis oleh pengarang cerita
tersebut, tapi kita yang menciptakan alurnya,” tiba-tiba
ia berkata sedemikian intimnya dengan wajahku. Ia
menatap mataku tanpa mengedip. Aku menunduk dan
melihat ke arah yang kosong. Aku tidak tahu harus
menjawab dengan kata yang sepadan atau sebaliknya. Di
dadaku hanya ada gelombang yang semakin menggerung
ketika aku mencoba menahannya. Eka menghela napas
dan melihat langit yang bisu. Aku gelisah tanpa kusadari.
Tetapi ia menyadari kegelisahanku.
“Aku tidak memintamu untuk menjawab iya atau
tidak,” seketika ia menatap bongkahan kegelisahan yang
membeku di mataku. Aku kembali menunduk. Di dadaku
nama Ekalaya menjadi sebuah gurun yang semakin lama
semakin gersang. Sedang aku mencoba menjadi oase
tetapi selau tertimbun oleh abu yang beterbangan. “Eka,
aku belum mampu menadah rasamu. Aku masih ingin
berjalan di antara gersangnya dadamu tanpa harus
menggengan rasamu,” suaraku perlahan dalam hati.
Eka. Kita hanya sebuah kisah yang beralur pada jejak-
jejak matahari dan bulan. Aku tidak sanggup menjadi
bagian dari alur cerita itu. Aku akui. Di dadaku namamu
selalu menjadi gemuruh. Tetapi aku tidak ingin gemuruh
itu retak oleh kegusaranku sendiri.
ejak sore itu kami memutuskan untuk membuat
cerita yang berbeda. Sebuah cerita yang tidak mengalur
pada rasa antara aku dan Eka. Kami berjalan di antara
cerita yang diciptakan oleh kami. Aku membuat cerita
tentang samudera yang membasahi gersangnya dadaku.
Entahlah. Aku tidak tahu cerita apa yang akan dibuat oleh
Ekalaya. Dan kami berjanji akan bercerita setiap
Desember tiba di sebuah tempat yang kami suka, yaitu
stasiun. Aku tidak tahu alasan Eka memilih stasiun sebagai
tempat untuk menceritakan cerita kami.
Suatu hari Eka berkata bahwa di stasiun ada banyak
hal yang membuat sebuah cerita menjadi lebih dari
cerita. Aku tidak paham dengan perkataan itu. Tetapi Eka
memahami ketidakpahamanku. Di sana akan kita temukan
sebuah alegori yang beragam, katanya. Jika kamu mau
menulis di sana, akan ada banyak sesuatu yang akan
membuat tulisanmu disukai banyak orang, katanya
kembali. Aku hanya menikmati setiap yang ia katakan.
Sampai Desember kelima kami masih setia dengan cerita
yang kami buat dan menceritakan di tempat yang sama.
“Eka, rasanya jalan ceritaku sudah mulai berbeda
dengan jalan ceritamu.”
Sore itu aku yang memilih untuk menjadi yang
pertama dalam bercerita. Eka mengangguk dan
memberiku ruang untuk memulainya. Dengan dada yang
berdebar aku mulai bercerita. Aku berharap Eka tidak
kaget atau marah, bahkan menyesal dengan ceritaku saat
ini. Perlahan aku bercerita tentang alur hidupku yang
sudah ada pemeran lain dalam ceritanya. Ia berperan sebagai tokoh utama yang mengisi alur ceritaku setiap
waktu. Mendengar ceritaku Eka hanya mengembuskan
napas dalam-dalam. Ia tidak bertanya atau berkomentar
mengenai ceritaku sampai aku selesai.
“Maaf, Eka. Aku tidak bisa menjadi Anggraeni dalam
ceritamu,” itulah akhir dari ceritaku sore itu. Debar
dadaku semakin tak menentu. Aku melihat Eka masih
diam. Ia menoleh dan menatapku perlahan dan tajam.
Aku semakin kelu. Mataku seakan nanar untuk
menatapnya. Ia mengambil dan menggenggam tanganku.
Dan berkata, “Letta, aku tidak pernah memintamu untuk
menjadi Anggraeni dalam ceritaku. Aku tidak berhak
untuk itu,” lalu ia memelukku di antara sore yang kian
renta. Warnanya berubah menjadi merah dan lusuh.
Sebab, gerimis mendekapnya dan membuatnya menggigil.
Dan malam merenggutnya. Kami saling berpelukan di
antara risaunya hujan yang kian berkecamuk. Sampai
malam menjadi lagu dan lugu. Ia meminta kami pulang
dan mendekap erat angin yang dihirupnya. Kami pun
beranjak meninggalkan jejak hujan yang perlahan pudar.
Menyisir gerimisnya yang bergerak parau.
Sampai Desember keenam ia masih setia dengan
tulisan dan perasaan yang selalu ia jaga. Padaku.
Entahlah. Sampai kapan perasaan itu akan kukuh di
dadanya yang selalu terjal. Dan memintaku untuk
menemuinya di tempat biasa kami bercerita. Wajahnya masih sendu seperti Desember lalu. Aku tersenyum ketika
ia datang dan duduk di sisiku. Di sebuah kursi panjang
yang berhadapan langsung dengan rel kereta yang lalu
lalang di hadapan kami. Tanpa dialog ia pegang bahuku.
Dan tanpa diminta aku menyandarkan kepalaku di
bahunya. Ia bercerita panjang lebar. Aku setia
mendengarkannya tanpa bertanya dan mengomentarinya.
Sesekali ia menatap wajahku sembari berkata, “Kamu
masih sama seperti dulu, seperti bulan yang
melahirkanmu. Selalu menjadi lagu dan puisi,” aku
menanggapinya dengan senyum. Ia tahu bahwa aku sudah
menjadi seorang yang tak lagi sendiri. Di rumahku seorang
bidadari manis senantiasa menunggu kehadiranku.
“Eka, kamu tahu,” tiba-tiba ia berhenti bercerita dan
menoleh padaku yang masih bersandar di bahunya. Ia
menatap mataku dan aku juga menatapnya dengan
lembut. “Aku tidak pernah bisa menjadi Anggraeni dalam
ceritamu. Tetapi aku sudah menjadi Anggraeni di dadamu
sebelum cerita itu kamu ciptakan.”
Rindu, Desember (DYA)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita yang unik dan menarik Bunda. Oiya, kover buku kayaknya bukan MediaGuru nggih? Sebelum ditegur, sebaiknya ganti aja Bunda. Maaf
Cerpen yang unik dan indah bunda
Cerpen yang keren bunda. Diksinya indah banget. Salam sukses selalu.
Cerpen yang indah. Mari SKSS sahabat gurusianer