Mburu preman simpang
PREMAN SIMPANG : buya Amien
buya, di mata kita yang buta palu Tuhan masih di tangan belum diketuk di buku nisan
padahal, lima puluh ribu tahun seblum mak mengejan ubun-ubun sebutir tangis telah digores, ditulis kita, tak kan dapat nak menangkis
namun, pintu jendela lebar terbuka, buya masih, sebelum jari berhenti bertasybih
dan kita, memancang pandang di situ melihat dinding, mencari cacak paku tempat sketsa dan lukisan bertinta cinta tergantung, dipintal-pintal benang rindu
sketsa wajahmu, lukisan tubuhku
kau, ditemani embun dan salju memenuhi hari, melunasi janji
aku, berteman hembus angin yang dingin membesut mimpi, mengeret langkah kaki
lihatlah, buya di barat, ada pintu gembok dari baja gudang penyimpan lupa, dosa-dosa tak ada alur, tak ada sirkulasi udara
gelap dan pengap, tak ada cahaya ulat tikus kecoa banyak, berserak jijik sekali, serentak hewan berak
namun aroma, perawan semula belia berdelau, montel molek cantik jelita
di sana, perempuan tontonan wisatawan di balik dinding kaca, godaan intan --berlian tak berjubah tak berpurdah, bayi semula jadi
ada gurat duka wajah mutiara, memang namun, berlinyang undang pesta miang aseng asong asing yang mata-keranjang penyebab tangis langit tak henti lolong
lihatlah, buya di tenggara, banyak boneka kain perca suka bertelagah, tentang puisi mentah tak sudah-sudah, dan tak dapat ditegah
namun muntah, ketika disuguhi janji para nabi namun marah, ketika diingatkan bentar lagi mati namun banyak kilah, ketika diajak kepada Allah
lihatlah, buya di selatan, kondisinya hampir sama saja cuma, matahari malu dijadikan sesembah serupa bulan, yang tak sudi dituhankan
hanya bunga tiruan jadi barang jajaan akan merah muka melihat ciptaan-Nya
lihatlah, buya di utara, ada gempa yang mengguncang merebahkan marwah, rubuh --terlentang serupa sampan diterjang topan di lautan
seorang ustadz dipenjara, perlakuan sememena alquran tak boleh dibawa, shalat di tempat dua
seorang ulama koma, kemaluan dibully kaki digari, bengkak tak dapat bergerak
tak ada cermin, hanya tumpahan airmata memindahkan wajah surga ke genangnya
lihatlah, buya di timur, ada pintu kayu ukiran jati pahatan tangan, mengkilap dan suci tempat menghadap, mengebat harap
di situ, takut menggigil dan pucat pasi dilanyak kesibukan menyerahkan diri
di situ, kitab-kitab tertata tersusun rapi lengkap terang, dan tak berdebu --daki
dan kita, ingin sekali mencuri, tertangkap dipenjara di sana, abadi selama-lamanya*
tapi kita masih berdiri di sini, tergagap di simpang lima, di simpang bingung di simpang bimbang, di warna gamang
telanjang dada, membusung bercekak pinggang memesan wajah garang, memegang sebilah parang menakik siapa saja yang tak patuh pantang larang
hujjah atas nama Allah, berkecai dari lidah tak ada kesah, merah wajah jika disanggah
sebab, kitalah akak, preman simpang siapa melawan, dicincang dihanyang ke sungam ke tekak ke kerongkongan makanan cacing, dan menjadi kotoran
sebab, kitalah akak --preman simpang kalian diam, siapkan setoran bulanan
buya, apakah palu Tuhan telah ditalukan?
pintu jendela menyempit di pandang mata jarum jam letih, hendak istirah melangkah perlahan-lahan, hentikan gerak, laju lelah
buya, mata kita sememangnya telah buta!
Mboro, 2018
*mengenang sebuah puisi kuntowijoyo
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar