rasis?"

Kalimat ini tertulis dari barisan seniman yg tidak puas dengan keputusan Anugerah Sagang 2017 yg memberikan penghargaan kepada salah seorang filosofi kerja-kerja keseniannya pada keIslaman: Al Quran dan Hadits. Kalimat itu keluar dari Pola pikir liberal yg sesat. Mereka menganggap agama adalah salah satu kamar dari banyak kamar dlm kehidupan. Nilai agama dianggapnya tidak universal, makanya seorang budayawan atau seniman harus melepaskan jubah agamanya. Jika masih memakai sandaran agama mereka nilai sebagai rasis dan seorang rasis tidak berhak mendapat penghargaan atau anugerah Bukankah orang semacam ini adalah virus? Saya melihat orang ini kukuh memaksakan paham pada satu kelompok manusia (Melayu) agar kelompok itu berubah cara pandangnya, cara lakunya, dll. Saya rasa ini orang sangat bahya. Bisa saja hamuk Melayu (kami yang muda) ini memumpun di kepala

Discovery Melayu sebagai budayawan pilihan Sagang 2017. Berbicara maskulin dan feminin. Tugas seniman adalah berkarya. Azas dasarnya Islam. "Jangan main-main lagi. Hak bangsa Melayu harus kita ambil menjadi besar. Melayu punya martabat dan martabat kita adalah Islam."

Terkait penelitian kebudayaan yg kebetulan yg sy gandrungi, Kazzaini Ks ketua Yayasan Sagang menjelaskan, "Anugerah sagang tak lagi memberi anugerah kepada peneliti budaya, karena Anugerah Sagang tak mampu mendorong gairah para akademisi di Riau. Yg mengirimkan hasil penelitian orang-orang itu saja. Sehingga Sagang berfikir menghentikan anugerah ini," Kazzaini Ks, ketua Yayasan Sagang pada Anugerah Sagang 2017 pada 29 Desember 2017 di Gedung Soeman H

SELAT PANJANG

Sy dikirim video Selatpanjang tempoe doeloe. Mau cerita siket ni. Sy mengenal Selatpanjang ketika masih menjadi Ibukota Kecamatan Tebing Tinggi, kabupaten Bengkalis. Kotanya berada di bibir pantai Pulau Tebingtinggi dan memiliki penduduk yg santun. Dinamika kota ini terasa ketika kedatang kapal-kapal, pada umumnya siang hari. Sy bersama bang Ashaluddin Jalil yg waktu itu masih berpangkat lektor dan bergelar Drs dan MS. Kami mengambil kamar di "kapal pesiar" yg bernama jelatik. Kapal kayu ini memberikan romantisme pesisir yg sulit dilupakan. "Kalaulah orang di kapal ini tau bahwa di kapal ini ada seorang LEKTOR, pastilah mereka terkagum-kagum," bang Udin bergumam di telingaku, bergurau. Kami pun tertawa cekikan. Karena siapa pulalah yg peduli dan memgerti di kapal dg gelar itu. Kami selalu sangat kere. Pernah makan sebungkus nasi ramas bertiga bersama Indra Syafri (saya memanggilnya Caprudin, dosen Fisip UIR). Meskipun kegiatan saat itu sedang menyusun rencana strategi kabupaten kepulauan Riau. Dan menawarkan kepada tokoh-tokoh masyarakat di kepri, pilihan: 1) menambah kabupaten, 2) menjadi provinsi atau 3) merdeka bersama Riau? Pilihan pertama masuk akal, sedangkan kedua tidak, apalagi pilihan ketiga. (Eh kemana pulalah topik pembicaraan ini, kog lari pula).

Kembali ke kapal yg bernama jelatik itu. Biasanya yg hendak ke Tanjung Pinang biasanya singgah di kota ini dan diganti dengan kapal feri. Di kota ini sy selalu membeli sagu yg sy titipkan kepada kenalan sy berkepala plontos mirip kepala saya ini. Kenapa sagu? Karena komoditas ini menjadi julukan Selat Panjang, sebagai Kota Sagu. Kecamatan ini termasuk sentra pengembangan Ketahanan Pangan Nasional karena penghasil sagu terbesar di Indonesia.