CERMIN NYINYIN

sedari dulu, nisan batu yang menyambut tamu berjejer rapi, dari jambat hingga waktu berhenti

tak ada yang dapat didengar, riuh pun hingar hanya lembar-lembar riwayat yang ayat risalah kekariban, hamba dengan pencipta

nama-nama bersandar, wajah-wajah berpendar disiram cahaya yang buncah, langit nan ramah mendendangkan nyanyian marwah yang darah

penyengat, sebut yang terus merayap menunggu datang waktu yang senyap

aku pernah tersepuk di situ menghitung helai demi helai hari letih yang hampir mati

aku pernah terserempuk di situ dengan begawan, raja permaisuri : raja ali, raja haji, raja ali haji

di situ, huruf adalah cermin nyinyin arti penghambaan hati yang porselin : melarungkan keikhlasan ke lautan ampunan menjemput kematian tergeletak di haribaan rubuh luruh, dalam dekapan senyum Tuhan

di sini, di cermin nyinyin kita berselfi mengungguh buruk raut wajah sendiri namun, gincu bedak juga yang dikabari

alahmak…

“barangsiapa tiada memegang agama, sekelai-sekali tiada boleh dibilangkan nama

barang siapa mengenal Allah, suruh tegahnya tiada ia menyalah

hati kerajaan di dalam tubuh, jikalau zalim segala anggotapun rubuh

barang siapa khianat akan dirinya, apalagi kepada lainnya

kepada dirinya ia aniaya, orang itu jangan engkau percaya

tahu pekerjaan tidak baik, tetapi dikerjakan bukanlah manusia, yaitu ialah syaitan”*

penyengat, tajam pedang yang diacung penyambung tali waktu yang puntung

kini, tak sekata ingat dapat diucap bak asap, lesap tak kenal hinggap hanya usap, tergagap dalam gelap

di penyengat, cinta telah tercecer, tertinggal di bukit meriam, diiris waktu yang penggal

di penyengat, nisan cermin nyinyin diri batu

MBoro, 2018

* kutipan Gurindam 12 karya Raja Ali Haji