Masihkah Ada Bangga
#tanthar_360
#berprolog
Masihkah Ada Bangga
Entah sudah berapa kali Abak (Ayah) mengingatkan kami anak-anaknya, sejak kecil. Itu dulu, di masa-masa hidup penuh kedamaian, ketentraman, penuh rasa toleransi, tidak pernah ada rasa saling mendahului, semua berjalan dengan aman tentram loh jinawi. Aku rindu masa itu. Kini Abak sudah lama bersama Allah di alam lain, namun nasehatnya kembali membuncah, satu persatu nasehatnya mulai menampakkan diri, ini menjadi pengingat kami anak-anak kecil dulu yang selalu senang bermain di pekarangan, tanpa takut ada jambret ataupun penculikan, apalagi mutilasi dengan alasan demi memenuhi ekonomi. Pret.
Main petak umpet atau keliling kampong bawa obor dari bamboo bersumbukan serabut kelapa, kami sangat girang, Abak dan Amak (Ibu) senang menyaksikan anak-anaknya tumbuh secara alami, tidak khawatir ada begal yang selalu menghunus clurit ataupun samurai. Tidak juga rombongan bermotor besar yang belalu lalang seenaknya, bahkan berani memukul kami rakyat badarai ini. Galah asin yang selalu kami mainkan jika sore hari, menjelang senja. Semua damai, Nampak rasa kebhinekaan dalam gelagat permainan kami. Jikalau main harus berpisah, kaum adam sibuk dengan main Kampar yang diayun pake kaki dan berjalan mengelilingi arena, kaum hawa main tali merdeka dari karet gelang yang dijalin dijadikan tali, tidak ada rasa cemas kami akan perampasan hak, tidak ada rasa was-was akan jambret atau rampok di siang bolong, semua saling menghargai, saling bertoleransi, itu dulu, saat Abak dan Amak masih ada. Kini Abak dan Amak sudah tiada berikut kenangan itu.
Abak yang selalu telaten mendidik kami ketika usai shalat maghrib dengan membaca al-quran, lalu berlanjut dengan langkah-langkah silat bela diri, tidak ada yang membunuh walau pedang terhunus. Abak dan orang-orang yang seumuran dia selalu kami segani dan hormati walau kami tidak kenal, dan kami bangga dengan itu, dulu. Pagi hari sebelum ayam berkokok, kami sudah di pancuran, mandi bersama bersorak sorai hingga alunan Adzan subuh berkumandang. Kami bangga dengan surau kami yang hanya terbuat dari kayu dan beratapkan daun rumbia, di dalamnya tersimpan kedamaian yang hakiki. Malam ini kami tidur di atas ranjang Kasur busa empuk, membuat nyenyak, hingga mataharipun sudah tinggi baru terbangun, hilang sudah shalat subuh. “Masih Adakah Rasa Bangga?” kalimat tanya yang muncul di saat Abak hadir dalam mimpi. Semoga mimpi bertemu Abak tidak dipenjara. Aamiin.
-indonesiapusaka
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar