Dan Guru Muda Itu
#tantangan_hari_ke_16
Dan Guru Muda Itu…
Jantung Gindri berdegup kuat, nafasnya memburu kencang. Keringat dingin memasahi sekujur gadis muda belia. Kegaduhan dalam dirinya mulai agak tenang tatkala telah beraa di ambang pintu kelasnya. Sebelum mengetuk dan membuka pintu, Gindri masih sempat menyeka butiran-butiran keringatnya yang menempel di jidatnya.
“Permisi Bu! Maaf saya terlambat,” Gindri berujar lembut, tapi guratan kegugupan masih membias dari wajahnya.
“Dari mana kamu Gindri?” lembut suara Bu Hanum menegurnya.
“tad ... tadi saya dipanggil pak Dio, Bu,” jawab Gindri tergagap.
“Sudahlah, cepat duduk,” tarikan nafasnya lega keluar.
Gindri tak mampu berkonsentrasi belajar, ingatannya kembali melayang pada peristiwa tadi, tatkala dia dipanggil Pak Dio. Gindri muak melihat senyum yang diumbarkan Pak Dio. Kalau saja tidak gurunya, ingin sekali Gindri menampar muka Pak Dio. Tapi dia masih sadar akan posisinya sebagai murid.
Ia menarik nafas panjang, tak menyangka sama sekali kalau pertemuannya sama Pak Dio yang tidak sengaja itu, akan membuahkan pertemuan-termuan selanjutnya, dengan lain keadaan. Padahal dulu itu tak sengaja menatap seorang pemuda yang tengah bermenung di taman panaroma. Tapi itu hanya sekali saja. Sungguh mati. hanya sekali saja Gindri melirik ke arah pemuda itu.
Saat itu ia sedang melepaskan kesumpekan di rumah, berjalan-jalan sore dengan adik bungsunya, Dedet. Di Taman Panorama itu adiknya berlari ke arah pinggiran jurang, tentu saja Gindri kaget dan berlari mengejar serta membawa adiknya kembali pulang. Tanpa sengaja matanya bersirobok dengan sorot mata seorang pemuda yang tengah menyendiri. Seulas senyum mengambang di sudut bibirnya.
Berhari-hari Gindri mencoba menyingkirkan wajah pemuda itu dalam ingatannya, tetapi selalu gagal. Akhirnya Gindri pasrah. Dalam kepasrahan itu seraut wajah itu bisa menghilang.
Kini, seraut wajah itu nyata ada di depan hidungnya dengan posisi sebagai seorang guru. Gurunya! Tiap kali bertemu pandang, Pak Dio selalu melemparkan senyum, membuat Gindri semakin muak. Ingin sekali ia pindah aja sekolahnya.
“Gin, Gindri ... Ada guru baru ya?” tanya Nunik sambil menggamit tangannya di depan kantor majelis guru. Gindri hanya mengangkat bahu acuh tak acuh.
“Terus memangnya kenapa?” Gindri berbalik bertanya tak bersemangat.
“Wow, orangya oke banget. Masih muda lagi. Buruan Gin, ntar disamber orang lho,” Nunik dmulai dengan aksi lamanya.
“Memangya binatang buruan?” tanya Gindri diiringi dengan tawanya renyah. Mereka tertawa bersama membuat beberapa pasang mata melirik ke arah mereka. Dasar mereka cuek, tak satupun hal itu membuat mereka berhenti tertawa.
“Sorry non, aku ndak tertarik,” Gindri kini tersenyum.
“Ala yang bener, ntar kamunya nyesel,” rayu Nunik lagi.
“Kamu aja yang ikut kompetisi, biar aku ngalah”.
Entah mimpi apa Gindri, tak disangka tak dinyana, kembali dia bertemu lagi dengan pemuda yang dilihatnya di Panorama dulu. Pemuda itu ternyata guru Bahasa Inggrisnya. Gindri semakin gelagapan saat pemuda itu mendekati bangkunya dan berbisik pelan.
“Sekarang kita ketemu lagi, kini kau tahu siapa aku khan?” bisikan itu sepertinya sebuah palu raksasa menghantam jantungnya. Gindri tidak menjawab.
Bagaimanapun adanya hal itu telah membuat kegoncangan hati Gindri. Ditambah lagi teman-temannya tambah sering mengolok-oloknya. Yang menambah kecemasannya adalah ternyata Pak Dio tenang-tenang aja menyambut olokan para muridnya. Seakan-akan dia merestui olok-olokan itu.
“Gindri, boleh nanti malam datang ke rumahmu?”
Ha? Gindri terlonjak kaget setengah mati. Begitu nekatnya Pak Guru ini, pikir Gindri. “Tidak!” lugas kata itu terloncat dari mulut Gindri tanpa sadar. Akhirnya Gindri menyadari kekasarannya, dan buru-buru dia menyambung kalimatnya,” makskud saya .... nanti malam saya ada acara dengan .... ng....dengan teman-teman,” tambah Gindri sedikit berbohong. Kerongkongannya terasa kering, dia tak mampu berkata-kata lagi, Menatap mata Pak Dio pun dia sudah tidak sanggup lagi.
“Oh tidak apa-apa ...” sang guru Bahasa Inggris itu tersenyum.
Lain halnya dengan Gindri, ia tidak dapat mengartikan kata ‘tidak apa-apa’ dari Pak Dio. Gindri bingung,”tidak apa-apa” karena penolakannya atau yang lainnya.
Berkali-kali Gindri memohon pada ibunya untuk dapat keluar malam ini. Namun ibunya tetap tidak memberi izin, apalagi papanya memang sedang keluar kota. Hampir saja air matanya keluar untuk memohon, namun keputusan ibunya tidak tergoyahkan.
“Coba kamu pikir Gin, apa kamu tega membiarkan ibumu sendirian di rumah malam begini?” ibunya minta pengertian Gindri.
“Tapi Bu...” Gindri tidak jadi menyelesaikan kalimatnya.
“Lagian, nanti pamanmu janji mau datang. Kan dia sudah selesai kuliahnya,” jelas ibunya lagi. Sementara mata Gindri berputar-putar memikirkan jalan yang terbaik atas kesalahannya dalam hatinya ia berharap-harap semoga pak Dio tidak datang ke rumahnya.
Tiba-tiba bel berbunyi nyaring memecahkan suasana keheningan yang tersisa.
“Coba kamu lihat Gin, itu pasti pamanmu, katanya dia mau datang jam tujuh sekalian makan malam di sini,” Gindri hatinya berdegup tak karuan, jangan-jangan yang datang ... Hatinya semakin kecut mendekati pintu rumahnya. Keringat dingin mulai mengaliri tubuhnya.
Gindri menarik handel pintu perlahan sekali, sedetik kemudian ia terpaku di ambang pintu.
“Selamat malam Gindri,” Gindri panik sekali, secepat kilat dibantingnya daun pintu dan cepat-cepat menguncinya dari dalam. Tubuhnya lemas bersandar di balik daun pintu, nafanya sesak.
“Pergi! Pergilah dari sini, kumohon pergilah ...” Serak suara Gindri berteriak histeris, tangisnya tidak bisa dibendung lagi.
”Siapa Gindri? Apakah pamanmu yang datang?” ibunya mendekat.
Gindri tidak menjawab. Matanya basah . terisak-isak ia berlari ke kamarnya, dan membenamkan kepalanya dibantal. Gindri menangis sepuas-puasnya, seluruh bantalnya basah oleh air mata.
“Gindri ... Gindri, keluarlah, pamanmu ingin ketemu,” suara ibunya tenang.
Gindri mendongakan kepalanya sedikit, dan mengerutkan keningnya.
“Sudah pergikah Pak Dio itu?” pikir Gindri dalam hati
“Keluarlah Nak, ini pamanmu datang”
Gindri membuka pintu dan melangkah keluar sambil menyeka air matanya, sang ibu merangkulnya erat dan membawanya ke ruang tamu.
“Dik Dio ...”
Laki-laki itu berdiri dan membalikan tubuhnya yang sedari tadi membelakangi. Gindri menjerit histeris cepat ibunya memegang tangan Gindri.
“Maafkan Paman, Gindri. Paman tahu kalau kamu itu adalah keponakan Paman. Tapi paman ingin membuktikannya sendiri,” jelas Pak Dio lembut. Ibu Gindri termangu tidak mengerti.
“Tapi... tapi...” Gindri tidak jadi melanjutkan kalimatnya.
Gindri teringat kembali saat sorot matanya bersirobok pandang dengan laki-laki ini beberapa bulanyang lalu. Kini sorot mata itu semakin mendekat, mula-mula sebagai gurunya, lalu kini sebagai pamannya. Ah, permainan macam apa pula ini, Gindrii mendesah pelan.
Cukup beberapa lama Gindri mendekap di bahu ibunya menyurukkan muka, lalu kini dengan keberanian yang terisa dia menatap sorot mata pamannya.
“Kenapa paman membuat saya stres begini?” tanya Gindri menantang.
“Oh itu tentu saja ada sebabnya jawab Pak Dio lembut.”Ayo katakan kenapa sebabnya,” desak Gindri menggebu.
“Nah untuk jawabnnya, kita tunggu saja cerita mendatang dengan lain nuansa yang menggigit hasrat”.
(Thank for my students, you are given for me a the best story)*
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Seru
Makasih bu dah singgah di sini
Oce
Oke
"Paman, seneng banget bikin hati Gindr kebat kebit"
Itulah anak ABG lupa dia.
Wiiiiiiih seruuuuh kayanyaaah udaaa
Hayuuuk atuh berikan kritik pak Ustadz
Mantua ceritanya
Hehehehe kritik dong bu