Oleh:Dede Saroni

Abah Ocang, mitohaku di Tasik, ngurusin kambing. Ada 18 ekor kambiang nyang diurusinya. Kambing-kambing itu biasa diberi pakan berupa rumput-rumputan dan sejenisnya. Biasanya rumput-rumputan itu dicari di sekitar kebun dan persawahan. Tiap hari, Abah Ocang mencari rumput, kalau nggak pagi atau sore. Aku, pengen sekali ngikut abah nyari rumput itu, biar tahu di mana tempatnya.

Eh, tetiba, Abahku bilang, "Aa, ayo ikut Abah ngarit."ajaknya. "Ayo, Bah."jawabku kegirangan. "Aa, jangan jauh, nanti cape, kotor lagi."ucap ummi, mertu perempuanku."Nggak apa-apa, Ummi, saya pengen ikut, pengen, lihat-lihat suasana persawahan, mumpung liburan."ucapku meyakinkan. "Ya, udah, hati-hati aja."ucap ummiku lagi.

Berangkatlah, aku sama Abah Ocang ke sebuah persawahan, nyang lokasinya di seberang rel kereta api. Sesampainya di lokasi, diperkebunan pohon albasia, Abahku pun menyambit rumput-rumput nyang emang tumbuh subur di bawah pohon-pohon itu. Aku hanya bisa nemenin dia untuk menyabit rumput itu dengan sabitnya, sambil sekali-sekali nemanin ngobrol, biar nggak bete gitu. Hampir dua jam, rumput-rumput nyang disabitnya pun terkumpul. Lalu, dimasukkan ke dalam dua karung. Dan dibawanya pulang dengan cara dipanggul. Sementara, aku dari belakang mengirinya dengan membawa arit nyang dipakenya tadi. Maklum aja, aku nggak kuat manggul. Aku jadi ingat masa kecilku. Dulu juga, aku pernah memelihara kambing, kerbau, nyari rumput dan ngangonnya. Bahkan, aku pernah jatuh dari kerbau saat ngangon kerbau. Tapi, alhamdulillah, nggak apa-apa.

Cipayung, 05 Mei 2022