RUMAH ANGKASA UNTUK KEMBANGLANGIT
Rumah Angkasa untuk Kembanglangit
Bagai masuk di negeri dongeng, pertama kali saya menapakkan kaki di kampung Kembanglangit disambut pohon pinus yang berjajar ranum seperti barisan prajurit berseragam hijau ala militer. Pohon pinus itu tertiup angin sejuk khas kembanglangit, seperti sengaja melambaikan dahannya untuk menyambut kehadiran saya sebagai tutor keaksaraan yang sedang mendapatkan tugas mulia untuk mencerdaskan penghuni kaki gunung kamulyan tersebut.
Tak kalah heboh, hamparan tanaman teh yang terbentang luas menghiasi kanan kiri gerbang masuk kampung kembang langit, turut memanjakan mata saya. Pesona keindahan alam itulah yang telah menginspirasi dan mengantarkan saya menjadi juara dalam lomba Apresiasi PTK PAUDNI berprestasi tingkat provinsi Jawa Tengah selama dua tahun berturut-turut (2014 dan 2016).
Konon, hamparan hijau (teh) itu sisa-sisa tanaman warisan kolonial Belanda yang pernah di porak-porandakan tentara Jepang pada periode Perang Dunia II medan Asia-Pasific. Meski sekarang Jepang justru memburu tanaman itu, demi untuk mendapatkan khasiatnya yang sangat luar biasa.
Sebagai tutor pendidikan keaksaraan yang mendapatkan tugas di Kembanglangit, melihat tanaman teh itu serasa melihat tanaman surga. Meski pernah hampir musnah, namun tanaman tersebut masih tetap bertahan dan dibudidayakan hingga sekarang. Dan saya sebagai tutor melihatnya sebagai kearifan lokal yang sangat potensial untuk dimanfaatkan sebagai inovasi dalam strategi pembelajaran keaksaraan di desa Kembanglangit.
Kembanglangit merupakan salah satu desa yang berda di Kecamatan Blado Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah. Letak desa Kembanglangit yang berada di kaki bukit gunung kamulyan, menjadikan desa tersebut (tahun 2014) sulit dijangkau.
Selain jalan menuju kembanglangit yang menanjak dan berkelok, akses menuju desa tersebut sangatlah terjal. Oleh sebab itu, masyarakat desa Kembanglangit belum seluruhnya terjangkau program wajib belajar. Akibatnya, banyak warga masyarakatnya yang masih berkeaksaraan rendah.
Problem pendidikan di desa yang sumber alamnya cukup potensial ini tidaklah sederhana, berbagai persoalan muncul sebagai penghambat, minimnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya pendidikan menjadi pemicu utama rendahnya kualitas sumber daya masyarakat di desa yang subur nan ranum itu.
Berbagai program pemerintah untuk mendorong terlaksananya pendidikan sebetulnya sudah diluncurkan, tidak terkecuali layanan bagi usia dewasa melalui program pendidikan keaksaraan. Namun, respon masyarakat masih tergolong rendah, mereka tidak tertarik terhadap program pendidikan. Bagi mereka bekerja jauh lebih penting mengingat desakan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari wajib dijalaninya.
Melihat persoalan yang sedemikian pelik ini, sebagai tutor saya pun turut prihatin. Tidak mungkin mereka kita paksakan untuk belajar, sementara mereka harus meninggalkan pekerjaan meski upah mereka tidak seberapa. Namun sebagai tutor saya berkewajiban mendidik mereka, setidaknya saya dapat mengenalkan kepada mereka bahwa pendidikan itu penting sehingga kelak mereka dapat mendorong putra-putrinya untuk sekolah.
“Jangan lihat persoalan sebagai masalah, tapi lihatlah persoalan itu sebagai anugerah Tuhan untuk menghebatkan kita.” kira-kira itulah nasehat bapak saya yang selalu membuat saya semangat ketika menghadapi persoalan. Bagi saya persoalan itu sebuah tantangan yang harus saya pecahkan. Maka persoalan yang saya hadapi ini adalah sebuah tantangan yang menarik untuk saya selesaikan. Dan saya pun semakin tertarik untuk lebih dekat mengenal mereka yang namanya tercatat sebagai warga belajar (peserta didik) yang harus saya ajarkan calistung (baca, tulis, dan hitung).
Satu persatu saya cari tahu bagaimana kondisi mereka, bagaimana latar belakang mereka dan apa cara saya untuk bisa dekat dengan mereka. Dengan demikian maka saya berharap kehadiran saya melalui program pendidikan keaksaraan tidak membuat mereka terganggu dan merasa tidak nyaman, namun kehadiran saya sebagai tutor dapat membantu mereka untuk merubah taraf hidup dan kehidupan mereka.
Dari data dan informasi yang saya dapatkan, para calon warga belajar itu adalah ibi-ibu rumah tangga yang kesehariannya harus bekerja menjadi pemetik teh dengan upah seadanya. Hal ini mereka lakukan untuk ikut membantu kebutuhan keluarga mereka meski itupun belum dirasa cukup, dan suami mereka rata-rata sebagai buruh tani yang penghasilannya belum cukup diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Dengan penuh rasa kagum atas ketegaran mereka, saya memulainya dengan menemui mereka diladang teh saat mereka bekerja. Saya sengaja menemui mereka pada waktu siang disaat mereka sedang rehat untuk menunggu sholat dhuhur dan makan siang dari bekal seadanya yang mereka bawa. Momen seperti itulah yang telah menyatukan kita, meski baru saja bertemu sepertinya mereka dapat menerima kehadiran saya sebagai keluarga baru yang dapat membuat pipi mereka yang sudah mulai kempot tersenyum dalam canda dan tawa.
“Hari ini saya sedang belajar hidup dan menghargai waktu dari mereka.” Sungguh pengalaman yang sangat berharga bagi saya, belum mulai saya mengajarkan aksara kepada mereka, namun sudah banyak pelajaran yang dapat saya terima dari perjalanan hidup mereka. Meski mereka hidup serba kekurangan namun mereka masih tetap bersyukur. Sambil sesekali saya amati anak bungsu mereka (usianya +_ 10 tahun) dengan keringat bercucuran sebesar jagung tetap semangat membantu bapaknya yang sedang mengambil rumput untuk hewan peliharaannya.
Suasana seperti inilah yang selalu mereka jalani untuk mengisi hari-harinya. Bapaknya mencangkul menyiangi ladang teh dibantu anak lelakinya, dan pada saat istirahat mereka menyempatkan waktunya untuk mencari rumput. Sedangkan ibunya memetik teh di bantu anak perempuannya, dan mereka menyiapkan bekal untuk disantap bersama-sama sembari menunggu selesai merumput.
Anak-anak mereka sengaja diajak untuk mengenalkan pekerjaan orang tuanya (sambil belajar bekerja) agar selepasnya nanti dapat bekerja meski upahnya sama seperti orang tuanya.
“Adik sudah tidak sekolah bu ?” tanya saya pada calon warga belajar yang anaknya sedang mencari rumput. Ibu itu hanya tersenyum kaku untuk menjawab pertanyaanku sambil tertawa malu-malu. Meski tanpa sepatah kata keluar dari mulutnya saya faham maksud jawaban ibu. Banyak hal yang membuat anaknya terpaksa tidak melanjutkan sekolahnya, pemicunya tidak lain adalah karena mereka belum memahami bahwa pendidikan itu penting, dan acap kali alasan himpitan ekonomi yang dijadikan kambing hitam atas jawaban persoalan tersebut.
Keakraban saya dengan mereka mendorong saya untuk secepatnya mengumpulkan mereka (calon warga belajar) dalam satu forum secara lengkap. Saya semakin tertarik untuk diskusi dengan mereka lebih jauh tentang kehidupan mereka. Bukan bermaksud untuk mengorek kekurangan mereka, tetapi saya betul-betul ingin mengetahui kondisi mereka secara utuh agar saya dapat mencari strategi secara tepat dalam melaksanakan pembelajaran keaksaraan yang dapat diminati oleh mereka.
Hari jumat sehabis jumatan saya pilih untuk mengundang mereka dirumah salah satu tokoh masyarakat desa setempat. Sengaja saya memilih hari jumat karena seperti biasa mereka setiap jumat hanya berkebun paruh hari. Berangkat lebih pagi dan pulang lebih awal (+_ jam 11.00 wib) karena suami dan anak lelaki mereka menunaikan sholat jumat. Selepas jumat biasanya mereka tetap tinggal dirumah dan berlibur.
Sesuai undangan yang saya buat, mereka datang tepat waktu, namun saya merasakan ada yang berbeda dengan suasana kumpulan (berkumpul) yang sedang berjalan, kondisinya tidak seharmoni seperti ketika berada di ladang teh saat rehat menjelang makan siang. Mereka terdiam, kaku, pasif, dan canggung.
“Rupanya mereka jarang berada dalam suasana formal seperti sekarang ini.” Berbagai upaya saya lakukan untuk mencairkan suasana, namun rasanya usahaku tetap sia-sia, suasanya masih tetap sama.
Oh... Mungkin butuh proses untuk membiasakan mereka dengan acara-acara seperti ini. Target pertemuan pun meleset ! namun tidak mengapa, toh dengan merasakan suasana tadi, saya akhirnya tau bahwa mereka tidak terbiasa dengan acara formal, mereka butuh waktu untuk beradaptasi.
Hem... saya pun ahirnya berkesimpulan, mungkin beginilah rata-rata cara tutor pendidikan keaksaraan mengadakan pembelajaran. Warga belajar yang belum terbiasa dihadapkan dengan suasana formal, dipaksa untuk berkumpul dengan cara formal dan langsung di belajarkan baca tulis hitung seperti cara mereka mengajari anak-anak di Sekolah Dasar.
“kalau begini caranya bagaimana mereka bisa faham ?” saya berpendapat bahwa mereka akan sulit menangkap materi dalam kondisi mereka tidak nyaman dan butuh adaptasi.
“Kalau begini model pembelajarannya, bagaimana mungkin mereka bisa melek aksara.” Mungkin ini juga yang menjadi penyebab kurang maksimalnya program pendidikan keaksaraan. Bukan hanya faktor warga belajarnya yang kurang merespon, namun faktor tutor yang kurang memahami kondisi warga belajar juga sangat penting pengaruhnya.
Melihat suasana forum pertemuan yang juga sulit untuk di cairkan, maka kemudian saya tawarkan untuk melalukan pertemuan di kebun teh saja, waktunya diusulkan oleh mereka jumat pekan depan, dengan kegiatan yang mereka usulkan untuk latihan membuat pembibitan teh dengan cara di stek.
Rupanya selama ini mereka mengadakan pembibitan dengan cara mananam biji teh dan menunggu lama untuk bisa di tanam apalagi di penen. Sementara menurut mereka menanam teh dengan cara di stek jauh lebih cepat untuk ditanam dan di panen, namun mereka belum tahu cara mensteknya.
Meski saya belum tau caranya menstek teh namun usulan warga belajar tersebut tetap saya respon dan saya setujui. Ini merupakan kesempatan bagi saya untuk bisa membuat mereka tertarik dengan model pembelajaran keaksaraan yang akan saya lakukan.
Pertemuan yang semula kaku pun akhirnya menjadi cair, mereka bicara saling menyahut tumpang tindih dengan bahasa dan dialek mereka yang lucu. Kerap kali canda tawa pun terjadi, rupanya mereka tertarik dengan pokok pembahasan seputar teh, karena keseharian mereka selalu di hadapkan dengan persoalan seputar teh.
Melihat suasana tersebut mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa tampaknya mereka akan tertarik bila program pembelajaran keaksaraan yang akan saya lakukan di kolaborasikan dengan tekhnik penanaman teh dengan cara di stek.
Ketidak tahuan mereka dengan teknik penanaman teh dengan cara di stek menjadi dayatarik tersendiri bagi mereka untuk belajar. Dengan demikian teh lokal yang selama ini mereka tanam dapat di kembangbiakkan dengan cara yang lebih mudah dan cepat melalui stek.
Untuk mempersiapan segala sesuatu terkait proses pembelajaran, maka perlu kiranya saya susun perencanaan pembelajaran dengan matang agar tepat sasaran, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi dan keinginan mereka.
Tak terkecuali saya juga harus melakukan kerjasama dengan berbagai pihak yang paham tentang cara penyetekan teh. Berbagai koordinasi internal melalui PKBM Nalendra selaku lembaga yang menugaskan, saya lakukan untuk mendukung kerjasama dengan berbagai pihak seperti dinas pertanian, LMDH dan berbagai instansi/lembaga terkait yang saya butuhkan untuk memaksimalkan proses pembelajaran.
Ketertarikan mereka terhadap pembelajaran cara menstek teh ini akan saya kolaborasikan dengan pembelajaran keaksaraan yang mengajarkan baca tulis hitung. Oleh sebab itu pembelajaran yang saya lakukan ini saya namakan strategi pembelajaran “bali metik.”
Bali metik merupakan akronim dari belajar Elaborasi menggunakan teh lokal organik. Istilah bali metik sengaja saya ambil sebagai nama untuk strategi pembelajaran yang saya lakukan, dikarenakan juga proses pembelajarannya selalu kami lakukan selepas mereka memetik teh, yang dalam bahasa jawa (lokal) istilah “bali” berarti pulang. Dan “metik” merupakan istilah yang biasa mereka sebutkan untuk menamai pekerjaan mereka sebagai pemetik teh.
Proses pembelajaran memang sering kita lakukan seusai mereka melakukan pekerjaan memetik teh, dimulai dari proses pembelajar di ladang teh (out door) hingga pembelajaran di rumah warga (in door).
Pembelajaran semacam ini merupakan pengalaman pertama saya melakukan pembelajaran keaksaraan di lahan terbuka. Selain sangat mengesankan, pengalaman ini membawa inspirasi ersendiri bagi saya sebagai tutor pendidikan keaksaraan.
“wow... saya merasa sedang memasuki tingkatang tertinggi dalam teorinya Benjamin S. Bloom yang ditemukan pada tahun 1956” teori ini dikenal dengan istilah taksonomi bloom, sebuah teori tentang hierarki pendidikan, dimana dalam teori ini, tujuan pendidikan di bagi menjadi beberapa domain (ranah, kawasan) dan dirinci berdasarkan hierarkinya. Sederhananya Ki Hajar Dewantoro menyebutkan dengan istilah: cipta, rasa dan karsa. Atau yang sedang populer dalam istilah pendidikan jaman sekarang (kurikulum 2013) dikenalkan dengan istilah penalaran, penghayatan, dan pengalaman.
Strategi bali metik yang saya lakukan ini tidak sesulit yang anda bayangkan. Siapapun bisa dengan mudah mengimplementasikan teori yang saya temukan ini. Strategi balik metik ini merupakan strategi yang sangat efektif untuk mengajarkan keaksaraan kepada siapapun, tanpa mengenal batas usia.
Strategi ini mampu membuat warga belajar mudah paham dan mengingatnya dalam waktu yang cukup lama (tidah mudah lupa), karena melalui strategi bali metik, materi calistung yang kita ajarkan kepada warga belajar, kita tanam ke alam bawah sadar mereka melalui otak kanan sehingga akan melekat sebagai ingatan jangka panjang (long term memory).
Menarik bukan... ? saya pun semakin optimis bahwa strategi yang saya temukan ini pasti dapat menjawab persoalan yang di hadapi oleh dunia pendidikan hingga saat ini, utamanya pendidikan keaksaraan. Dimana banyak sekali warga belajar keaksaraan yang semula sudah lulus (melek aksara) dan mendapatkan sukma (surat keterangan melek aksara), namun mereka menjadi buta aksara kembali akibat materi yang mereka dapatkan menjadi lupa kembali. Strategi saya ini telah terbukti dapat menjamin mereka untuk tidak lupa kembali hingga ingatan jangka panjang.
Strategi bali metik ini juga cukup unik, karena tidak seperti proses pembelajaran keaksaraan pada umumnya, dimana warga belajar selalu kesulitan untuk menghafalkan bentuk-bentuk huruf dan angka meski terkadang mereka sebetulnya sudah bisa mengucapkannya apalagi untuk menghitung nominal uang mereka sudah tidak kesulitan, namun tetap saja mereka merasa kesulitan untuk mengingat bentuk-bentuk huruf dan angka. Dan melalui strategi bali metik, warga belajar dapat dengan mudah menghafal bentuk-bentuk huruf dan angka.
Secara teori, dalam strategi bali metik ini materi pengenalan huruf dan angka saya perkenalkan dengan cara prosedural. Sebuah cara yang cukup ampuh untuk membuat warga belajar cepat paham dan mampu mengingatnya dalam waktu yang cukup panjang.
“Bagaimana... menarik bukan ? atau anda justru semakin bingung ? ya ! semakin membingungkan... ! tapi semakin membuat penasaran...” begitulah kira-kira respon kebanyakan audien yang saya tanya ketika saya mengenalkan strategi balik metik ini dalam desiminasi melalui berbagai seminar dan workshop.
“Semakin kita merasa bingung artinya kita semakin penasaran dan ingin segera mengetahuinya.” Dan ketika siapapun ingin tahu bagaimana gambaran saya mengimplementasikan strategi bali metik, saya selalu sarankan untuk membaca naskah asli karya nyata saya yang berjudul “METODE BALI METIK Sebuah inovasi Pembelajaran Keaksaraan yang Efektif dalam Mempercepat Melek Aksara di Desa Kembanglangit Kecamatan Blado Kabupaten Batang Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015” dan naskah tersebut telah dicetak oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah tahun 2016 dalam buku yang berjudul “Pelangi PAUDNI Merajut Kreasi Memperteguh Prestasi.”
Dan jangan khawatir bagi anda yang tidak gemar membaca, saya sengaja membuat beberapa dokumentasi dalam bentuk Video proses pelaksanaan pembelajaran strategi bali metik yang selalu saya siapkan dalam slade materi power point dalam setiap seminar dan workshop yang saya lakukan.
Sssttt... tenang ! jangan panik ! dalam buku ini saya akan gambarkan ilustrasi sederhana bagaimana saya mengimplementasikan strategi bali metik agar mudah dipahami dan dapat di implementasikan dan di kembangkan oleh semua pihak sesuai dengan kearifan lokal masing-masing.
Nah, sekarang saya akan coba mengajak anda untuk mengilustrasikan strategi bali metik yang telah saya lakukan dalam pembelajaran. Sekarang perhatikan dan jawab baik-baik pertanyaan saya yang agak panjang dalam tulisan di bawah ini.
Pernahkah anda bepergian dengan mengendarai sepeda motor ? dan kemudian terjadi hujan yang cukup lebat sehingga anda harus menghentikan perjalanan anda dan mencari tempat untuk berteduh ? anda kemudian harus terlambat pulang akibat keteledoran anda yang lupa tidak membawa jas hujan ? kemudia untuk memberikan penjelasan kepada keluarga, anda menceritakan apa saja yang telah anda alami bahwa anda terlambat pulang karena tiba-tiba hujan turun sangat deras dan anda harus segera meneduh menunggu hujan reda untuk melanjutkan perjalanan. Dengan lancar anda dapat menceritakan pengalaman anda, tersusun secara rapi tahapan demi tahapan secara prosedural.
Saya yakin peristiwa yang saya tanyakan dan pernah anda alami tersebut bisa dengan sangat mudah anda hafal bahkan kejadian itu dengan sangat mudah pula tiba-tiba melintas dalam benak anda baru saja. Betul kan ? apalagi kalau tiba-tiba saat meneduh anda menemukan sesuatu yang menarik, dapat order dari orang yang sama-sama meneduh misalnya, dapat kenalan cewek cantik bagi anda yang cowok, atau ada cowok tampan yang mengajak anda (yang cewek) untuk berkenalan. Pasti di jamin sangat sulit untuk di lupakan. (jadi baper ya ?)
Nah selanjutnya saya mau tanya lebih serius lagi !
Pernahkah anda memerlukan waktu khusus untuk menghafal dan bisa menceritahkan dengan detail kejadian yang anda alami tersebut seperti anda memerlukan banyak waktu berulang-ulang untuk sekedar menghafalkan materi pelajaran sejarah waktu anda duduk di bangku SLTP misalnya ? tentu tidak ! saya yakin, untuk mengingat peristiwa yang sudah anda alami tersebut anda tidak membutuhkan waktu khusus untuk menghafal. Tetapi sadarkah anda bahwa apa yang anda alami tersebut masih di ingat hingga saat ini ? bahkan baru saja anda mengingatnya sambil tersenyum sendirian ! (tuh kan ? baper lagi !).
Jawabnya adalah karena apa yang anda lakukan tersebut sebetulnya telah terekam dalam alam bawah sadar anda melalui otak kanan anda sehingga tersimpan dalam memori jang panjang.
Nah, begitulah kiranya strategi Bali Metik saya implementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran keaksaraan yang saya lakukan di desa kembanglangit tersebut. Kondisi pembelajaran yang sengaja saya lakukan di kebun teh akan membantu warga belajar mudah mengingat apa yang sedang mereka lakukan.
Untuk melakukan pengenalan huruf dan angka sengaja saya ilustrasikan dalam bentuk-bentuk barang yang ada disekitar mereka. Misalnya saya kenalkan angka dua (2) dengan bentuk arit cantung (clurit), angka tujuh (7) dengan bentuk cangkul yang di gelantungkan di dahan pohon. Barang-barang tersebut sengaja saya hadirkan sebagai ilustrasi untuk memudahkan mereka menanamkan materi calistung dalam alam bawah sadar mereka melalui otak kanannya.
Bagi warga belajar, awalnya tidak memiliki ketertarikan untuk belajar calistung, namun mengingat bentuk-bentuk huruf dan angka tersebut sering mereka temui dalam kehidupan sehari-hari, maka mereka lambat laun menyadari bahwa sesungguhnya mereka perlu belajar calistung agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan hidup sehari-hari yang selama ini sudah di jalaninya. Apalagi mereka sedang memiliki ketertarikan untuk belajar cara penyetekan teh yang pada akhirnya secara tidak langsung menuntut mereka untuk bisa calistung terlebih dahulu untuk dapat memahami dan mempraktekkan proses penyetakan teh.
Pada saat inilah saya sebagai tutor pendidikan keaksaraan memanfaatkan momen untuk mengajarkan materi calistung kepada mereka. Dan mereka pun antusias dan tertarik untuk mengikutinya. Dan pada akhirnya mereka justru semakin tertarik untuk belajar calistung mengingat kebutuhan mereka terhadap calistung mulai menjadi sesuatu yang harus mereka ketahui, seperti untuk melihat jam, kalender, menghitung upah, membaca panduan dalam berbagai kemasan pupuk dan lain sebagainya.
Berangkat dari kebutuhan dan antusiasme mereka yang ingin segera menguasai materi calistung inilah kemudian atas usul merekalah proses pembelajaran mulai kita lakukan secara in door di rumah tokoh masyarakat setempat.
Kali ini meski proses pembelajarannya dilakukan secara in door, mereka tetap nyaman. Mereka sudang merasakan hangatnya kebersamaan selama beberapa kali melakukan pembelajaran di kebun teh, kali ini mereka sudah tidak terlihat kaku dan canggung lagi seperti pertama kali saya kumpulkan. Suasananya pun tetap dinamis penuh canda dan tawa kebahagian dari mereka.
Rupanya dewi fortuna sedang berpihak, proses pembelajaran yang semula saya anggap sulit untuk dilaksanakan, betul-betul merupakan anugerah Tuhan yang sengaja dikirim untuk menghebatkan saya, dewan juri menentukan pilihannya kepada saya untuk mendapatkan penghargaan sebagai juara tutor pendidikan keaksaraan dalam Apresiasi PTK PAUDNI berprestasi tingkat provinsi Jawa Tengah selama dua tahun berturut-turut, yakni tahun 2014 dan tahun 2015.
Sebagai juara tingkat provinsi selama dua tahun berturut-turut, membuat saya dikenal di lingkungan tutor pendidikan keaksaraan, baik tingkat provinsi Jawa Tengah apalagi tingkat kabupaten Batang. Saya yang juga menjabat sebagai ketua Forum Tutor Pendidikan Keaksaraan (FK-TPK) Kabupaten Batang, mulai mendapatkan ruang di berbagai kesempatan, sejak saat itu nama saya, Dawam Abdul Hanif semakin berkibar dan membuat penasaran banyak orang.
Tidak sedikit orang yang menanyakan dan penasaran ingin melihat tempat pembelajaran yang saya lakukan. Mereka mengasumsikan bahwa pembelajaran yang saya lakukan seperti layaknya mereka melakukan pembelajaran di gedung-gedung lembaga pendidikan formal. Cara berfikir mereka belum saja berubah (saya tidak menuduh mereka keliru), mereka samakan warga belajar keaksaraan seperti anak kecil yang sedang belajar di bangku Sekolah Dasar.
“Semewah dan selengkap apakah tempat yang digunakan untuk melakukan proses pembelajaran keaksaraan ?” pertanyaan seperti inilah yang kerap muncul dihadapan saya.
Karena saya tidak memiliki gedung khusus untuk pembelajaran seperti layaknya pendidikan formal, dan apalagi saya justru memulai pembelajaran di kebun teh yang beratapkan langit, maka saya jawab saja tempat pembelajaran keaksaraan tersebut semewah “Rumah Angkasa.”
“Ya betul ! semewah Rumah Angkasa !” Desa kembanglangit yang secara geografis berada didataran tinggi, dan proses pembelajaran keaksaraan di kebun teh yang beratapkan langit biru, menginspirasi saya untuk menyebutnya sebagai Rumah Angkasa.
Rumah Angkasa juga merupakan akronim dari rumah angka dan aksara. Karena disanalah mereka mulai mengenal angka dan aksara. Dan hingga kini tempat itu saya abadikan dengan sebutan “Rumah Angkasa untuk Kembanglangit.”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Suka saya dengan penamaan rumah angkasa. Keren.
makasih
keren...
makasih