LULUS S.2 BERMODAL DOKTRIN DAN DOA ORANG TUA
Saya kecil hidup di tengah masyarakat yang sebagian besar beranggapan bahwa sekolah itu tidak penting, mereka enggan untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bagi mereka sekolah hanya akan menghabiskan banyak waktu dan biaya.
“Waktu yang cukup panjang, jauh lebih bermanfaat digunakan untuk bekerja dari pada harus sekolah.” Alasan itulah yang mendorong anak-anak seusiaku (setingkat SLTP) saat itu lebih memilih untuk bekerja dan merantau dari pada harus sekolah apalagi kuliah.
Menurutnya, dengan bekerja mereka bisa menumpuk pundi-pundi kekayaan dan bisa menjalani hidup layak. Demikian kalimat yang sering di gembar-gemborkan Pak Kasturi, pekerja sukses level kampung saya yang menjadi tukang bakso di Jakarta.
Berbeda dengan pak Turmudzi, guru ngaji yang memilih hidup sederhana dan bekerja sebagai petani klutuk (petani tradisional) ini memilih bertahan hidup di kampung halaman dan mengajar anak-anak kampung.
Beliau memilih jalan untuk tetap menjadi seorang petani meski untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya harus banting tulang peras keringat di tengah teriknya panas matahari. Hal ini dilakukan karena beliau mempunyai impian besar agar anak-anak kampungnya harus tetap ngaji (belajar) dan mengerti bahwa sekolah itu penting.
Untuk mewujudkan impiannya itu, Turmudzi yang memiliki 4 (empat) anak menguatkan niat dan membulatkan tekad agar putra-putrinya kelak bisa sekolah dan menjadi sarjana, doktrin itulah yang selalu ditanamkan ke buah hatinya, meski ia sadar bahwa kondisi keuangan yang jauh dari sejahtera rasanya tidak memungkinkan untuk mewujudkan impiannya tersebut.
Sebagai guru ngaji dengan penghasilan pas-pasan, Turmudzi nekat dan hanya bermodalkan niat serta keyakinan saja. Dengan usaha yang maksimal dan mengandalkan niatnya melalui kekuatan doa, beliau berharap agar kelak impiannya bisa terwujud.
Maha suci Allah, rupanya jika Tuhan sudah berkehendak, apapun bisa terwujud. Keajaiban menghampiri keluarga Turmudzi, Ke empat anaknya bisa disekolahkan meski baru jenjang sarjana (S.1) sehingga bisa meneruskan perjuangan bapaknya.
Saya, anak sulung Turmudzi yang sekarang sedang menempuh jenjang S.3 di Universitas Zaitunah Tunisia ini hampir tidak bisa menyelesaikan kuliah S.1 akibat himpitan ekonomi keluarga. Sejak saat itu, saya yang sedang kuliah harus berjuang demi bertahan hidup sebagai tukang koran dan penjual kopi di lampu merah. Dengan niat kuat sebagaimana doktrin orang tua, saya dapat menyelesaikan kuliah hingga jenjang S.2.
(Penulis adalah Peserta Workshop Penulisan Literasi Bagi GTK PAUD dan DIKMAS)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Alhamdulillah. Saya turut senang pak Dawam.
makasih pak yudha, salam kenal
Subhanallah perjuangan yg luar biasa...
Sangat menginspirasi, Pak
subhanallah..so inspired..karya seperti ini yang layak dibaca..