Terapung apung di selat Dumai
Terapung-apung di Selat Dumai
Pengalaman mengajarkan bagaimana kita mengambil hikmah dan pembelajaran yang kita hadapi. Mengajar merupakan kegiatan menyampaikan informasi dan orang yang menerima informasi mampu menerima dengan baik. Aku mengajar di sebuah pulau di kabupaten Bengkalis, Pulau ini bernama pulau Rupat. Pulau yang memiliki luas 1.500 Km2 dihuni oleh suku, melayu, jawa, dan suku Akit.
Aku mengajar di sebuah sekolah setingkat SMA, sekolah ini dikelola oleh bapak kades dan hampir semua operasional ditanggung pak kades tersebut rupat. Perjalanan ke lokasi ditempuh dengan dengan jalan laut menggunakan kapal laut dari dumai. Sementara akses ke ibukota Kabupaten Bengkali kurang lebih sama. Desa ini ibukota kecamatannya batu Panjang kala itu kita menghabiskan waktu 6 jam menempuh medan berat agar sampai di ibukota tersebut.
Aku bersyukur bisa mengajar di daerah tersebut. Aku di sediakan rumah tempat tinggal dan sebuah sepeda untuk pulang dan pergi mengajar. Jarak sekolah denga tempat tinggal sekitar 10 menit dengan menggunakan sepeda. Aku tinggal dekat dengan sungai yang juga menjadi lalu lintas penduduk tersebut ke luar daerah. Sungai itu membelah desa tersebut. Siswa siswa pergi ke sekolah dengan menggunakan sepeda dayung dan sepeda motor. Bagi siswa yang berada di seberang sungai ada sampan yang membantu mereka menyebrang setiap pulang dan pergi ke sekolah.
Pulau Rupat di sebelah utara berbatasan dengan Malaysia. Layaknya daerah perbatasan kondisi masyarakat di pengaruhi oleh negeri jiran tersebut. Mulai dari bahasa dan juga kendaraan yang dipakai di dominasi negeri melayu tersebut.
Mengabdi sebagai tenaga pendidik ku jalani lebih kurang 3 tahun. Banyak kenangan dan juga kesan yang ku alami. Layaknya guru setiap pagi sampai siang hari berada di sekolah. Kemudian jam 2 sudah stand by di rumah, selanjutnya istirahat dan jam 4 berolahraga. Begitulah siklus yang kuhadapi di tahun pertama pengabdianku, tahun kedua aku juga mengajar di sebuah SMP , jadwal istirahat akhirnya berkurang, karena satu hari aku mengajar 36 jam pelajaran. Namun hal yang tak pernaht kutinggalkan adalah olahraga di sore hari.
Guru honorer mempunyai suka dan duka namun lebih banyak dukanya. Saat itu aku belum menerima gaji 3 bulan. Saatnya aku sambil tidur-tiduran di rumah seorang teman menginfokan bahwa gaji sudah dapat di ambil di ibu kota kecamatan. Aku berpikir sejenak kapan mau ambil. Akses ke ibu kota kecamatan ada dua alternatif, pertama jalan darat, ditempuh dengan durasi 6-8 jam karena kondisi jalan yang belum memadai. Kedua jalan laut namun saat itu sudah jam 3 siang. Jadwal kapal motor biasanya adalah pagi jam 8. Aku berpikir dua alternatif ini tidak dapat dilakukan, sementara harus berangkat hari ini supaya dapat ambil gaji. Alasannya adalah besok hari jumat kalau berangkat pagi kemungkinan sampainya siang jadi tidak bisa ambil gaji.
Di rumah aku tinggal sendiri dan di sediakan alat masak sederhana, namun aku lebih memilih makan di warung pak muk dan buk Sri. Jaraknya hnya sepuluh langkah dari rumah. Selain tidak repot aku pun banyak waktu untuk mengerjakan pekerjaan lain. Aku katering di warung tersebut, makan siang dan makan malam. Layakya warung kopi tempat pak muk sering ramai oleh orang yang makan dan orang yang minim kopi kaena posisi letakya di pelabuhan.
Sedikit memaksakan diri aku keluar rumah dan main ke warung pak muk, disana aku melihat sepertinya ada tamu. Aku sampaikan kepada wak muk aku akan pergi ke ibu kota kecamatan namun tidak ada tumpangan. Ternyata ada rombongan kadis PU yang baru selesai monev dan sore itu juga mereka harus kembali ke Dumai. “ udah pak, bapak numpang dengan pak kadis aja “, begitu kata wak muk. Aku pun menjumpai pak kadis PU tersebut dan mengatakan ingin menumpang pompong caterannya dan beliau setuju. Pak kadis membawa 2 orang staffnya. Sore itu jam 5 kami berangkat dari pangkalan nyirih dengan menggunakan pompong. Biasa nya pompong ini mampu membawa 40 penumpang, namun kali ini kami berjumlah 5 orang dalam pompong tersebut.
Pompong pun berangkat menyusuri sungai Nyirih, satu jam kemudian kami sudah keluar dari sungai nyirih dan masuk ke laut. Hari pun mulai gelap, ternyata baru 10 menit memasuki laut turun angin utara. Angin utara adalah angin yang bertiup dari arah utara, angin ini adalah angin yang termasuk di hindari oleh nelayan atau nakhoda kapal jika ingin melaut. Angin ini bertiup dengan kecepatan berkisar 4-30 knot atau 55,56 km/jam. Tingginya keceptan angin tersebut menyebabkan gelombang laut juga tinggi.
Pompongpun oleng kekiri dan kekanan di hantam oleh kerasnya gelombang air laut dan tiupan angin. Aku mulai gelisah karena anak buah kapal (ABK) sudah sangat sibuk mondar mandir memeriksa sisi sisi kapal, sementara angin menderu-deru tiada henti. Pak kadis pun mulai gelisah “ gimana bang, kondisi pompong ni “ kata pak kadis dengan suara yang agak bergetar. “ tenang aja pak, kami sudah biasa dengan kondisi ini “ kata ABK. Aku melihat kata-kata ABK hanya menghibur pak kadis saja. Dugaanku tepat kapal akhirnya tak bisa bergerak karena tertancap beting. Beting adalah endapan pasir atau lumpur di muara sungai atau laut. Biasanya kapten kapal sudah mengetahui dimana saja posisi beting tersebut. Namun karena angin dan gelombang kuat dan haripun malam maka kapten kapal tidak fokus lagi. Kapal pun oleng kekiri dan ke kanan dan tak bisa bergerak sama sekali.
“ Maaf pak, kemudi patah, rantai kemudi pun putus, kita tak bisa bergerak sama sekali, kita berdoa saja lagi “, demikian kata ABK kepada kami. Aku melihat ABK ini sangat jujur sekali menyampaikan informasi, tapi menurutku bagus menyampaikan kondisi apa adanya. Sehingga kita paham apa yang selanjutnya di lakukan. Aku mendengar juga lewat radio ABK meminta bantuan kepada temanya. Dia meminta temannya untuk menjemput kami karena kondisi kapal tidak bisa bergerak lagi. Namun jawaban kawannya tidak menggembirakan “ kau usaha sendiri, kondisi macam ini mana berani kami turun ke laut, cari mati namanya “ , kata kawan ABK tersebut. Kami semua mendengar percakapan mereka dan ketakutan kami semakin menjadi jadi. “ jad ( nama ABK) kamar mesin masuk air ni, cepat”, teriak kapten.
Ijad pun bergegas ke ruang mesin dilihatnya air hampir terkena mesin kapal. Aku dipanggil oleh ijad minta bantu mengeluarkan air dari kamar mesin tersebut, kami bergantian mengeluarkan air dari kamar mesin tersebut. Akhirnya aku tak sanggup lagi, karena gas karbon monoksida (CO) yang keluar dari mesin kapal membuatku pening, akhirnya aku pun keluar dari kamar mesin. Aku agak kaget ketika kulihat pak kadis dan 2 temannya sudah memegang jerigen ukuran 20 L . Jerigen itu akan dijadikan pelampung. “ masih ada pak jerigennya “, kataku . “ jarigennya hanya 3 pak guru ” kata pak kadis. Astaghfirullah, kataku. Aku pun melihat keluar ke arah pantai sementara angin utara tak berhenti menderu-deru. Sekilas aku melihat ada cahaya rumah sangat kecil sekali. Aku pikir kalau berenang sepertinya aku bisa mencapai daratan itu.
Akupun membuka baju dan celana jeans ku, dengan singlet swan dan celana pendek bola. Aku baru saja membeli HP nokia 3315. HP tersebut ku masukkan kedalam kantong plastik dan di ikatkan pada singlet dan tanpa memakai kaus kaki ku pakai sepatu. Pak kadis heran dan menanyakan kenapa aku membuka celana jeans dan memakai sepatu. Aku bukan orang laut namun aku pernah baca bagaimana kondisi dilaut ketika kita akan tenggelam. Aku jelaskan kepada pak kadis bahwa kalau kapal ini tenggelam baju dan celana jeans akan memberatkan kita berenang sementara sepatu dipakai supaya saat kita berenang telapak kaki kita tidak dimakan ikan karena telapak kaki itu putih dan sangat menarik perhatian ikan ikan besar.
Dalam kondisi yang masih terombang-ambing dan angin yang belum juga mereda, badanku mulai terasa lemah, aku ingat aku belum makan, biasanya aku makan di kedai wak muk itu jam 7 malam. Akupun menayakan kepada ABK apakah ada makanan yang bisa ku makan, ternyata sedikitpun tak ada makanan. Ya allah, jika engkau takdirkan aku mati di tengah laut ini, aku rela , tapi berilah hamba kesempatan, orang tuaku belum sempat ku balas jasa-jasanya ya Allah. Begitulah doa yang ku panjatkan.
Sekitar jam 10 malam tiba-tiba angin mulai mereda bahkan tiupan angin sedikit lagi. Cahaya lampu kapal membantu ABK memperbaiki semua kerusakan di kapal tersebut. Kemudi yang patah mulai di perbaiki, rantai yang menghubungkan ke kipas kemudi mulai di hubungkan kembali. ABK menyelam ke bawah kapal untuk memperbaikinya. Ahhh dingin sekali pikirku, namun ABK sudah terbiasa kondisi demikian dan ini kondisi darurat. Lebih kurang satu jam semua yang rusak sudah dapat diperbaiki kembali dan kapten pun menghidupkan kapal. Kapten kapal termasuk berpengalaman, dengan pengalamannya dalam waktu singkat dapat mengeluarkan kapal dari beting tersebut. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Untung tak dapat di raih malang tak dapat di tolak, sekitar satujam kemudian kami melanjutkan perjalanan, dan posisi kapal sudah berada agak ke tengah laut, angin utara kembali turun. Kapal kembali dihadapkan pada gelombang besar . Apa yang terjadi pertama tadi kembali terulang kembali. Aku merasakan badanku semakin lemah, tidak ada sedikitpun roti sekedar pengganjal perut di kapal ini. Kondisi ini malah lebih buruk dari yang pertama karena kapal sudah jauh meninggalkan bibir pantai. Ku edarkan pandangan ke sisi kanan, sedikitpun tak ada cahaya, akupun berpikir disinikah ajalku ?.
Berada di tengah laut, kondisi gelap sekelilingnya yang terdengar hanya suara angin dan gelombang, hal ini membuat pak kadis sudah kehilangan semangat. Berita baiknya adalah signal telepon dalam beberapa saat masih ada, dan hal ini digunakan oleh pak kadis tersebut untuk menelpon istrinya “ ma, papa lagi ditengah laut dan angin sangat kencang, sepertinya peluang hidup kecil, mama maafkan papa, jaga anak-anak ya “ kalimat itu yang ku dengar dari pak kadis, namun aku tidak mendengar apa kata istrinya. Setelah itu pun signal pun hilang. ABK berinisiatif kembali menggunakan radionya meminta bantuan kepada teman, atau pun siapapun yang sedang monitor saat itu, namun semua tidak berani menjemput ke tengah laut. Saat saat yang mencekam itu aku pun pergi ke bagian belakang kapal, aku lihat ada air di dalam tong, aku berwudhu. Aku melewati bagian tengah kapal pak kadis dengan 2 staffnya hanya duduk, lemah dan penuh keputusasaan. Ketika melewati mereka, dengan suara lemah dia bertanya “ mau ngapain pak guru ?. dengan jalan yang sempoyongan karena kapal kena angin ku katakan pada pak kadis, “ pak aku mau sholat, bapak berdoa sajalah, mudah-mudahan kita diberi panjang umur, ‘akupun pergi ke haluan kapal. Kupaksakan sholat, aku sholat dua rakat, aku pun berpikir “ ya Allah apakah ini sholat terakhirku “ .
Akupun berdoa dalam posisi badan miring kekiri dan ke kanan. Ya allah aku seorang guru, aku pergi menjemput hak ku , ampuni hamba ya allah, kalau memang engkau takdirkan aku harus menghadapmu di tengah laut ini, aku ikhlas ya allah, tapi berilah hamba kesempatan membalas jasa orang tua ku ya allah, belum sempat ku bahagiakan hatinya, yang senantiasa selama ini mendukung dan memanjatkan doanya untukku kepada Mu “ . Selesai shalat aku menanyakan kepada ABK jam berapa sekarang, ABK menjawab dengan mengangkat jarinya sebanyak 3. Hampir 3 jam kami di tengah laut tanpa ada tanda tanda angin akan mereda. Lampu yang ada di dalam kapal berangsur –angsur redup pertanda beterainya mulai habis. Kapal hanya berjalan lambat dan kapten kapal sedikit ragu membawa kapalnya. Hal ini dikarenakan suasana di laut yang gelap gulita.
Jam 4 dini hari akhirnya angin betul betul mereda dan kondisi sekitarpun mulai terang. Pak kadis dengan menggunakan menelpon kenalannya yang dekat dari pulau tersebut ada 3 orang kawannya yang ditelponnya. Kepada kenalannya tersebut pak kadis meminta tolong agar kami di jemput i tengah laut. Namun pak kadis tidak bisa menyebutkan posisi kapal persisnya. Waktu terus berjalan akhirnya di dalam kapal gelap gulita. Tak ada lagi lampu karena baterai sudah habis semua.
Jam 05.00 WIB kami mendengar ada suara pompong yang agak jauh dari kami, ternyata ada dua pompong yang kami lihat. Namun mereka tidak melihat kami karena gelap. Salah seorang staff pak kadis mengambil kain dan membakarnya, kami berdiri di atas kapal sambil berteriak-teriak dan mengayunkan api tersebut. Ternyata ada satu lagi kapal yang kami lihat , kapal Ferry “ Dumai Express”. Sepertinya kapal ini juga diminta pak kadis untuk menjemputnya. Kami kembali berteriak sekuatnya supaya terdengar oleh orang-orang di kapal tersebut. Namun semua itu tidak berhasil karena kapal kapal itu hanya mengitari kami saja. Kami merasa suara kami sudah kuat, namun karena keletihan dan kurang tenaga akhirnya mereka tidak mendengar kami.
Jam 06.00 WIB keadaan sudah terang akhirnya, mereka bisa melihat kami dengan jelas. KM Dumai Express lebih awal mendekat dan ingin mengambil kami langsung namun ini terkendala karena posisi kapal berada pada daerah dangkal. Kapal pompong yang lain bisa merapat dan dengan sigap mereka melompat ke pompong kami. Mereka memakaikan baju pelampung pada kami berlima. Selanjutnya kami di naikkan ke KM Dumai Express yang sudah siap menunggu. Sujud syukur aku lakukan dan kami saling berpelukan dengan pak kadis dan staffnya, karena sudah lepas dari ujian yang sangat berat ini. Kami di bawa ke sebuah hotel yang sangat bagus, istirahat satu hari, besoknya aku menyeberang kembali dari Dumai ke Batu Panjang, mengambil gaji sebagai guru honorer.
Aku tidak ingat lagi nama pak kadis PU bengkalis saat itu, kalau bapak membaca tulisan ini saya ucapkan terima kasih,juga kepada seluruh pihak yang telah membantuku semoga amal baik bapak di balas Allah SWT. Aamiin.
Rupat, 2003.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar