Dahniar Purnama

Seorang Guru SD yang terus berupaya belajar agar dapat menjadi pendidik yang baik. ...

Selengkapnya
Navigasi Web
Daun yang Menari
dok pribadi

Daun yang Menari

Jauh di sebuah desa di pinggir telaga hiduplah sebatang pohon. Ia lah pohon oak. Daunnya hijau, batang dan rantingnya kuat, buahnya banyak serta harum bau bunganya. Penduduk desa maupun hewan-hewan banyak yang datang untuk berteduh di bawah pohon. Pohon itu seperti pohon abadi yang selalu rindang di sepanjang musim.

Siang itu angin berhembus sepoi-sepoi mengenai dedaunan. Daun-daun pohon itu menari mengikuti alunan angin. Bunga-bunganya mengeluarkan bau harum. Membuat nyaman siapapun yang berada di sekitar pohon. Ketika pohon dan angin sedang asik bermain bersama, datanglah beberapa anak kecil. Mereka bermain di bawah pohon sambil sessekali bercakap-cakap.

“Mana yang kau suka? Pohon atau angin?” tanya anak pertama.

“Tentu pohon, pohon banyak manfaatnya!” jawab anak kedua.

“Ia memberiku banyak buah!” kata anak ketiga sambil memakan buah dari pohon tersebut.

“Dan coba lihat angin, dia membuat rusak ladang petani!” anak keempat menimpali.

Angin terlihat sedih mendengar percakapan anak-anak itu. Sebagai sahabat, pohon pun menghiburnya.

“Ayolah angin kita bermain. Buatlah daun dan dahanku bergoyang agar harumku dapat tercium!” ajak pohon.

Musim berganti. Pohon dan angin masih tetap bersama. Kali ini musim kemarau. Dimana-mana terjadi kekeringan. Air di telaga pun hampir habis. Penduduk desa harus berebut untuk mengambil air ditelaga.

Suatu hari datanglah beberapa anak gembala. Mereka tampak kepayahan lalu memutuskan untuk berteduh di bawah pohon. Hawa panas tetap terasa walaupun angin menerpa wajah mereka.

“Oh tidak. Di bawah pohon ini pun masih terasa panas!” gerutu salah satu anak gembala.

“Apa mungkin pohon ini sudah tidak bermanfaat lagi?” tanya anak yang lain.

Pohon terlihat sedih. Baru kali ini ada yang merasa tidak nyaman berteduh di bawahnya. Angin melihat hal itu. Ia ingin membuat sahabatnya bahagia. Angin mengerahkan kekuatannya. Tapi malang, dirinya justru bergerak memusar di tanah menyebabkan debu-debu bertebangan. Anak-anak gembala takut dan lari tunggang langgang.

“Lariii-lariiii. Penunggu pohon itu marah!” teriak anak-anak gembala.

Pohon bertambah sedih lalu mengusir angin. Angin hendak menjelaskan. Namun, ia merasa sahabatnya sudah sangat marah. Angin pergi dengan perasaan bersalah.

“Pergi kau angin. Benar kata mereka. Kau memang tidak punya maanfaat!” Teriak pohon dari kejauhan.

Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tapi aneh sekali. Sejak kepergian angin, udara di sekitar telaga menjadi begitu panas. Musim kemarau pun lebih panjang dari biasanya. Air telaga telah kering kerontang. Rumput-rumput banyak yang mati. Daerah yang subur berubah menjadi lahan yang tandus dan gersang. Begitu halnya dengan keadaan pohon. Pohon mulai layu kekurangan air. Daunnya menguning. Penduduk desa dan hewan-hewan tidak lagi datang ke telaga. Mereka mencari sumber air ke daerah lain. Pohon sangat kesepian. Ia teringat sahabatnya, angin. Dulu mereka selalu bernyanyi dan menari bersama. Angin akan meniup ranting dan daunnya hingga bergoyang-goyang. Juga menemaninya dalam senang dan sedih. Tiba-tiba pohon mendengar suara gemuruh guntur di langit. Secercah harapan muncul dihatinya. Ia menunggu dan terus menunggu. Tapi hujan tak kunjung datang.

Pohon pun bertanya pada langit. “Hai langit, mengapa hujan tak kunjung datang kemari?” tanya pohon.

“Bagaimana hujan akan datang? Tidak ada angin yang membawanya kesana!” jawab langit.

“Oh seandainya sahabatku angin ada disini. Pasti keadaanku akan lebih baik. Aku sangat menyesal. Maafkan aku angin!” ratap pohon.

Kali ini pohon benar-benar akan mati. Daunnya tinggal sehelai. Dari mulut ke mulut akhirnya kabar pohon yang akan mati pun terdengar oleh angin. Angin memutuskan datang pada sahabatnya. Ia tidak marah walau telah diusir oleh pohon. Ia datang membawa hujan. Pohon menyambut angin dan hujan dengan suka cita. Hatinya berbahagia. Angin menyentuh lembut daun pohon. Pohon menggerakkan daunnya yang tinggal sehelai. Ia menari bersama angin diiringi tetesan hujan.

Dahniar Purnama

Purworejo, 4 Mei 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post