Dengan berurai air mata, aku mengalah, hari ini ijin lagi tidak sekolah karena harus menjaga adek-adekku yang masih balita. Hari Rabu, emak berjualan ke pekan, membawa berkarung-karung sayuran dan ubi kayu, ubi rambat, dan buah labu jipang. Tidak setiap Rabu emak ke pekan, karena sayur dan ubi yang kami tanam di belakang rumah juga hanya beberapa rante. Tadi malam emak memberi  pilihan sulit, emak berjualan dan harus ada yang menjaga adek balita, atau emak tidak berjualan yang artinya kami akan kekurangan stok bahan makanan. Kakakku yang lebih besar paling tidak suka 'diliburkan' kecuali kalau dia lagi sakit, dan aku yang selalu ketiban takdir libur terpaksa. Sepertinya, sedari kecil aku sudah disiapkan untuk menjadi petarung yang siap mengalah, kenapa petarung?

Aku adalah petarung karena selalu diajak emak dan kakak sulungku ke hutan mencari kayu bakar, tak jarang aku harus merangkak menuruni batang kayu besar yang melintang di jalan. Setiap pulang sekolah, makan dan mengganti pakaian 'dinas', aku segera menuju kebun di belakang rumah. Beraneka jenis tanaman dirawat dengan baik, mulai dari ubi, jagung, kopi, sayur-sayuran,bahkan vanila tumbuh subur di kaki gunung Simarbalatuk dengan ketinggian 2500 dpl. Dan Emak, wanita berkulit putih berhidung mancung itu, lebih nyaman mengayunkan cangkul dan parang daripada ikut nimbrung ngalor ngidul dengan tetangga. Aku yakin, sifat emak ini diwariskan padaku, karena aku juga tidak hobi 'kombur-kombur malotup', bedanya dengan emak, aku lebih suka mengayunkan jemari di atas laptop atau hp. 

Emakku, wanita luarbiasa, selalu menyemangati ketika kadang kami harus sarapan ubi rebus plus garam. Emak bilang, 'ayo makan roti sumbu, enak, hangat-hangat', disebut roti sumbu karena potongan ubi kayu tersebut dihiasi serat seperti sumbu kecil. Pernah emak mengisahkan, salah satu diantara adek-adekku lahir tanpa dibantu oleh dukun beranak, karena ketika itu samasekali belum ada bidan. Karakter emak sulit kugambarkan, karena beliau tidak banyak bicara, mirip dengan adekku Corry, namun pekerja keras. Emak juga jarang mengeluh walau sedang sakit, dan kurang menyukai acara TV, dimana aku dan ayah selalu berdiskusi usai acara favorit 'dunia dalam berita'. Ketika aku lulus di IKIP (UNIMED), beliau meneteskan air mata, bahagia plus cemas, karena belum mampu memastikan sumber dana untuk biaya kuliahku. Emakku, wanita hebat, tak satupun bisa menggantikan perannya, walau beliau telah tiada, namun didikan dan kasih-sayang beliau terpatri dihati kami anak-anaknya. Emakku, superduper women, pahlawanku, kami anak cucumu tetap mengenang jasamu.