Baik dalam cerpen bercorak realis, surealis, dan bahkan yang paling absurd sekalipun, pada umumnya orang sepakat bahwa percakapan (kalimat langsung) sebaiknya mencerminkan karakter, profesi, dan tingkat pendidikan tokoh yang bersangkutan.

Itu tugas yang sungguh berat bagi seorang cerpenis. Sudah berhati-hati pun kadang keceplosan kata-kata yang terlalu canggih, misalnya, untuk ukuran seorang tukang batu yang sekolah dasar pun tak lulus.

Lalu cobalah memrotes pengarangnya. Sebagai tukang bercerita ia pasti tak kurang akal untuk menepis protesmu. "Loh, emang yang bisa mengucapkan kata demikian cuma orang berpendidikan? Memang pendidikan mesti diartikan sebagai makan bangku sekolahan? Ke mana kamu menyingkirkan konsep pendidikan seumur hidup, pendidikan luar sekolah, dan mendidik diri sendiri alias otodidak?"

Nah, kan?

Tetapi, ada seorang sastrawan besar yang seperti menyadari

kesulitan tadi itu, sehingga sering secara tegas menyatakan bahwa ia sekadar menirukan ucapan si tokoh, tetapi redaksionalnya sudah sisesuaikan dengan gaya bicara si pencerita. Oh, hampir lupa, nama pengarang besar itu ialah Budi Darma. Satu hal lagi yang saya selalu terngiang-ngiang adalah kesukaannya memakai kata: "tidak lain dan tidak bukan."

Kalau suatu ketika kamu menemukan sebuah cerpen yang salah seorang tokohnya tak pernah lupa memakai, "tidak lain dan tidak bukan," dalam setiap ujarannya, yakinlah bahwa tokoh ditampilkan itu tidak lain dan tidak bukan ialah Budi Darma.*