Jibeg di Angkringan
Jibeg di Angkringan
Berkat kegigihan dan kesabaran, akhirnya aku dapat menghalau kejibegan yang selalu membelengguku, paling tidak untuk waktu satu jam terakhir ini. Aku telah berhasil menulis satu judul puisi yang menurutku sudah lumayan bagus. Ingat ya, itu menurut pendapatku lhoo, … Sahabat! Kalau menurut kacamata editor, pasti akan lain ceritanya. Seandainya diedel-edel pun, aku sudah siap mental, yo wis ben, aku ra po po.
Setelah menulis satu judul puisi, ternyata rasa jibegku kumat lagi. Otakku tidak mau diajak mikir, mogok seperti kereta api kehabisan bahan bakar. Kalau sudah begini, biar didorong oleh pasukan HANSIP satu kampung, tidak akan bisa jalan. Salah satu cara yang mujarab untuk mengatasi situasi seperti ini, ya dimatikan saja laptopnya.
Aku mencoba klithah-klithih di halaman rumah sambil menerawang ke langit barangkali ada wangsit yang bisa membuka cakrawala berpikirku. Ternyata tidak. juga! Aku mengikuti saja langkah kakiku yang gontai tanpa arah dan tujuan. Akhirnya aku sampai di rumah tetanggaku yang berjarak kurang lebih 70 meter dari rumahku. Rumah tersebut dilengkapi dengan fasilitas WIFI gratis, dan ada angkringannya, yang menjajakan jajan gorengan. Alhasil banyak anak muda yang betah nongkrong di situ.
Selama ini aku belum pernah cangkrukan di situ karena aku sadar bahwa aku sudah “tidak setara untuk menjadi komunitas mereka”. Pasti ada yang menduga bahwa istilah itu hanya modus saja agar aku tidak ketahuan kalau sudah tua. Walaupun usia sudah tidak muda namun semangat berkarya tak boleh sirna, gelora literasi tak boleh mati, nafsu menulis buku tak boleh lesu. Semoga habis jibeg terbitlah ambyaaarrr… .
“Kok njanur gunung alias kadingaren datang ke sini, Pak?”
Aku tidak menjawab, hanya bergumam dalam hati, “Memangnya tidak boleh?”
Anak muda pemilik angkringan itu bertanya lagi, “Saya buatkan kopi ya Pak?”
“Tidak usah, perutku sudah kembung. Tadi sudah minum kopi habis tiga gelas,”
jawabku dengan muka agak murung.
Rupanya anak muda itu tahu kalau aku sedang galau. Dengan ramah ia menawarkan lagi kepadaku, “Di sini ada jibeg Pak, sangat enak dinikmati sambil minum teh atau kopi.”
“Eee .. lha dalah … kowe kok yo ngerti yen aku lagi jibeg?” bisikku dalam hati.
“Apa maksudmu? Aku yang sudah jibeg kok malah disuruh menikmati jibeg?” tanya batinku agak dongkol.
Tanpa menunggu lama, pemilik angkringan itu menyuguhkan sepiring gorengan yang masih hangat dengan secangkir kopi panas. Dengan suara yang renyah ia mengatakan, “Silakan dinikmati Pak, ini menu baru di sini, namanya jibeg.”
“Terima kasih Mas”, jawabku singkat.
Langsung saja kunikmati suguhan tersebut. Eee… ternyata berasa singkong. Setelah saya tanyakan, kue tersebut namanya jibeg atau nugget singkong. Terbuat dari singkong yang diparut, dibumbui, lalu digoreng berbentuk agak pipih.
Selamat menikmati jibeg untuk menghilangkan jibeg!
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
He... support banget pemuda angkringan.... salam semangat Pak semangat selalu...
Ya Bu, terima kasih.