Maaf yang Tak Terucap
#Day_181
#Tantangan_365_hari_menulis_gurusiana
Sambil berlari kencang dan beruraian air mata Vildan tidak memperdulikan orang disekitarnya. Vildan masih berusaha menguatkan hati dan pikirannya untuk tetap tegar. Vildan merasa sangat berdosa karena belum sempat meminta maaf kepada ayahnya. Kakinya terasa berat saat menginjak sutle bus yang ada di bandara, berharap masih ada penerbangan menuju kota kelahirannya, dan dapat berjumpa dengan ayahnya.
Pagi-pagi sebelum berangkat ke tempat kerja Vildan mendapat telepon dari adiknya bahwa ayah mereka sakit keras. Semua keluarganya sudah berkumpul dari tengah malam di rumah kediaman ayahnya vildan. Selama sakit Vildan sengaja tidak di beritahu oleh keluarganya, karena di larang keras oleh ayah mereka.
Vildan dan ayahnya sempat terjadi pertengkaran beberapa tahun sebelumnya. Ayahnya ingin menjodohkan Vildan dengan sepupu jauhnya bernama ayu, namun fildan tidak bersedia karena dia mengetahui kelakuan ayu saat di luar rumah. Namun Vildan tidak bisa menceritakan kelakuan ayu di hadapan ayahnya, karena merupakan kebanggaan keluarganya.
Pertengkaran itu menyebabkan Vildan terusir dari rumah, karena kecewa Vildan meninggalkan kotanya untuk berjuang di Jakarta. Sudah hampir 2 tahun Vildan bekerja sebagai cleaning servis di kantor perusahaan properti. Sedikit demi sedikit Vildan mampu menabung, walaupun sebenarnya Vildan bisa mendapatkan pekerjaan lainnya namun seluruh ijazahnya tertinggal di rumah ayahnya.
Pikiran yang berkecamuk dan hati yang merasa berdosa, bandara yang ramai itu terasa sepi. Vildan terus berjalan menuju mesin penjuaoan tiket, satu persatu jadwal penerbangan ke kotanya di lihat, hanya tersisa penerbangan jam 17.45 wib. Tidak ada pilihan lain, segera dia mengambil penerbangan itu.
Belum sempat Vildan beristrahat di ruang tunggu, handphone di kantongnya berdering. Dilihatnya ternyata itu telpon dari adiknya, dengan gemetaran dia mengangkat telpon itu. " Hallo, ada apa dik?" Tanya Vildan dengan suara gemetar menahan tangis, sudah terasa firasat buruk di hatinya. Dari suara di telpon terdengar itu suara bibi nya, " Vildan sudah sampai dimana? Kamu yang sabar, ayah kalian sudah tiada! Kami semua menunggu Vildan sampai".
Seakan di sambar petir di siang hari, handphone yang dipegangnya terjatuh dan dia pun langsung terduduk dan tertunduk, tidak keluar suara dari mulutnya, namun air mata mengucur deras. Pedih dan sedih yang dia rasakan bercampur aduk dengan rasa bersalah karena belum meminta maaf pada ayahnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerpennya menginspirasi smga jd pelajaran sukses pak salam literasi
Luar biasa. Teringat Fikdan D A Dangdut. Salam Literasi...
Mantap pak
mantap pak..luar biasa