Badrul Munir

Badrul Munir Lahir di Sampang. Riwayat pendidikannya ditempuh sejak tingkat dasar hingga menengah di kampung kelahirannya, Desa Pulau Mandangin. Alumni SD...

Selengkapnya
Navigasi Web

Antara TV dan Belajar

#TantanganMenulisGurusiana

Hari Ke-9

Setelah shalat Subuh, anakku yang terkecil, yang masih berusia lima tahun, tiba-tiba menangis.

“Yah, mana remotenya?”

Remote apa sayang?” Jawabku pura-pura tidak tahu yang ia maksudkan.

Remote TV, Yah? Mana? Ayo cepat, Yah? Aku mau lihat film kesukaanku.” Desaknya dengan nada marah.

Aku pun berusaha mengendalikan emosiku. Bagaimana pun ia masih anak-anak. Baru lima tahun. Jadi ia masih perlu banyak pendampingan dan bimbingan untuk berbicara yang lebih sopan dengan orang tuanya, begitulah bisik suara hatiku begitu mendengar suara keras dengan nada marah anakku.

Televisi telah menjadi masalah dalam keseharian anak-anakku. Satu sisi aku merasa kasihan terhadap mereka bila tidak menonton TV. Tapi di sisi yang lain, mereka akan lupa waktu bila diberi kesempatan menonton kotak hitam itu. Tak jarang, gara-gara melihat televisi akhirnya mereka lupa untuk membuat pekerjaan rumahnya.

Bagaimana pun anak-anak jaman now adalah generasi digital. Mereka dikenal dengan sebutan digital native. Yaitu sebuah generasi yang lahir dan tumbuh pada saat teknologi digital tumbuh dan berkembang dengan pesatnya.

Menurut Nopriadi Hermani, Ph.D, bila anak tumbuh dengan kepungan teknologi digital, baik televsisi atau gadget, maka mereka akan cenderung memiliki karakter yang impulsif atau meledak-ledak. Ini dikarenakan otak mereka dirangsang oleh teknologi digital itu.

Satu-satunya cara untuk mengendalikan sikap dan karakter mereka agar tidak meledak-ledak adalah menjauhkan gadget dan televisi dari mereka. Atau setidaknya memperlambat pengenalan benda-benda itu. Nopriadi menyarankan agar para orang tua menunda memperkenalkan gadet dan benda-benda digital lainnya kepada anak-anaknya. Ukurannya adalah kesiapan mereka. Tunggulah sampai mereka lebih siap untuk memanfaatkan barang-barang dgitial itu.

Karena itu, mulai hari ini, aku sudah berniat untuk membatasi waktu mereka menontot TV. Makanya aku sengaja menyembunyikan remote tersebut. Aku juga mencabut kabel antenna dari tempat colokannya. Sehingga anak-anakku yang masih SD dan TK itu tidak akan bisa lagi menyalakan TV.

Aku mencoba untuk mengamati bagaimana reaksi mereka ketika TV tidak dinyalakan sepanjang siang. Ternyata, respon anak-anakku pagi itu terlihat marah dan kecewa. Namun, aku tetap bersikukuh menonaktifkan televisi. Aku ingin mencoba, kira-kira bagaimana reaksi mereka selanjutnya. Aku tetap berangkat bekerja sedangkan televisi tetap tidak bisa dinyalakan.

Ternyata, sepulangku dari bekerja. Mereka sudah tampak ceria. Tidak ada bekas-bekas wajah kecewa dari mereka. Bahkan si bungsu yang tadi pagi marah-marah, kini nampak gembira. Ia meminta buku kepadaku untuk dibaca. Padahal ia belum bisa membaca. Namun, demi memompa semangat belajarnya, aku pun tetap memberikan buku yang dimintanya.

Rupanya, anak-anak cepat menyesuaikan diri dengan keadaan. Sebagai orang tua, kita perlu sedikit “tega” demi kebaikan mereka sendiri. Prinsipnya, apa yang ada di rumah dan kebiasaan orang tua menjadi pelarian kegiatan mereka ketika televisi tidak bisa menyala. Karena itu, sediakan buku-buku bacaan yang dapat memancing minat baca anak. Matikan teve dan jauhkan gadget agar mereka tidak gagal fokus.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post