Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#9 Langit Merah Di Kota Tangerang)

Aku melihat Jakarta begitu luar biasa megah dengan gedung-gedung tinggi seperti yang pernah aku lihat di TV. Anganku pun mulai melambung dan berkhayal; inikah negeri impianku? Kota tujuan urbanisasi terbesar di Indonesia. Semua orang pergi ke Jakarta dan sekitarnya untuk tujuan yang hampir sama_ingin meningkatkan taraf hidup. Katanya Jakarta mampu mengubah nasib buruk menjadi baik. Jakarta mampu mengubah kemelaratan menjadi kemakmuran. Jakarta juga bisa menampung tenaga kerja yang banyak baik yang berpendidikan rendah sampai tinggi seperti sepupuku yang hanya lulusan SD dan aku yang hanya lulusan SMP. Itu yang termasuk dikatakan pakdheku sebelum berangkat.

Udara Jakarta sangat panas cukup membakar kulitku yang semakin hitam. Wajah penuh harap ini akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Sebuah rumah ukuran sedang di sebuah perumahan di kawasan Cipondoh Indah Tangerang, kota tetangga Ibukota. Tempat yang sangat asing bagi seorang pemuda desa belasan tahun yang baru merambah kota besar.

Kakiku serasa berat untuk menapak masuk ke rumah yang tidak terlalu besar itu. Aku harus tinggal di rumah ini. Otakku terus bekerja dan anganku melayang menerawang menembus batas-batas langit Tangerang yang cukup pekat dengan awan hitam. Kecemasan mulai menghantuiku. Aku ragu. Akankah aku merasa nyaman tinggal di sini? Apakah orang-orang di dalamnya akan menerimaku? Apakah aku bisa beradaptasi dengan mereka? Semua ada di otakku dan terus berkecamuk membayangkan sesuatu yang buruk bakal terjadi.‘Aku harus siap!’ batinku. Semua sudah menjadi bagian dari resiko keputusanku.

Di rumah itu, aku diperkenalkan pada seorang ibu pemilik rumah itu yang tidak lain adalah majikan mbak Kus. Ibu itu biasa dipanggil Ibu Yayah. Sesosok wanita tangguh dengan power super sebagai ibu maupun pejabat. Menurut cerita mbak Kus dia adalah seorang pejabat dinas P dan K di kota Tangerang. Aku tak tahu persis jabatannya di kantor dinas tersebut tapi tampaknya orang ini cukup berpengaruh sehingga banyak tamu datang ke rumahnya. Itulah mengapa pakdheku mengajakku sampai ke sana dengan harapan aku bisa bekerja dengan bantuan bu Yayah. Seorang majikan yang katanya sangat baik terhadap mba Kus sepupuku yang jadi pembantunya cukup lama. Aku pun menaruh harapan di sana.

Setelah beberapa saat di rumah itu, aku mulai mengenal seisi keluarga bu Yahah yang ternyata merupakan keluarga besar. Keluarga Bu Yayah memiliki 4 orang anak. Dari yang paling besar masih SD kelas 6, Romi, didn'tsusul Deri, Icha, dan Anti. Selain anak-anaknya yang masih kecil-kecil, ada juga seorang keponakan yang sering dipanggil Teteh. Anganku pun mulai berperang lagi. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah seramai ini? Akupun tidak yakin anak-anaknya serta keponakannya akan bisa menerimaku. Aku membayangkan anak-anaknya nakal dan jahil. Belum si Teteh kelihatan sangat sadis dan cerewet. Bu yayah yang aku baru kenal juga kelihatan angkuh dan kurang bersahabat. Aku begitu canggung untuk tinggal di sini. Aku mencoba tenang dan siap menghadapi apapun yang akan terjadi.

Setelah beberapa lama hingga sore hari, aku belum melihat bapak kepala keluarga rumah ini. Ternyata setelah jam 7 malam terdengar suara becak berhenti di depan rumah. Rupanya Bapak telah pulang. Semua anak-anak berlarian menjemputnya. Seorang setengah baya sekitar limapuluhan berbadan tinggi besar dan berkumis agak tebal keluar dari becak. Aku merasa canggung, bingung dan salah tingkah. Tetapi dengan segera bu Yayah mengenalkan aku kepada sang bapak. Setelah berkenalan ternyata bapak orang yang sangat ramah dan hangat.

Pikiran burukku terhadap keluarga itu ternyata salah. Mereka memperlakukan aku dengan sangat baik. Anak-anaknya yang aku pikir sebelumnya nakal-nakal, ternyata mereka sangat baik dan lucu-lucu. Teteh yang tadinya kelihatan serem dan cerewet juga orang yang sangat baik. Sungguh keluarga yang sangat baik dan terdidik. Anak-anak begitu menghormati yang lebih tua termasuk aku yang bukan apa-apanya dan berstatus menumpang.

Aku sangat menikmati tinggal di keluarga pak Ramli dan bu Yayah walaupun aku harus tidur beralas tikar di ruang tamu, karena memang tidak ada ruangan tersisa dan rumah itu sudah penuh orang. Walalupun aku harus bangun sangat pagi bersamaan dengan mbak Kus untuk bersih-bersih rumah, aku merasa senang bisa melakukan hal itu. Aku berusaha bekerja sebisaku. Aku harus sadar diri bahwa aku menumpang untuk sementara waktu dan aku berharap akan ada pekerjaan yang cocok untukku di kemudian hari.

Setelah menggulung tikar dan membereskan tempat tidurku di lantai, akupun segera mengambil sapu lidi untuk membersihkan karpet.Kemudian menyapu dari ruang tengah sampai ruang tamu hingga beranda. Rumah itu tidak punya halaman yang cukup sehingga aku tidak perlu repot menyapunya. Setelah selesai akupun mulai mengambil alat pel dan mengepelnya. Di bagian depan rumah terdapat banyak pot bunga yang harus aku siram di pagi hari dan kadang sore hari. Itulah rutinitasku sehari-hari di rumah ini. Aku melakukan semua ini dengan senang hati sebagai balasan kebaikan mereka.

Namun, hari-demi hari rutinitas itu berubah menjadi sebuah kebosanan yang semakin memaksaku untuk ingin cepat-cepat keluar dari situ. Untuk mengusir kebosanan aku berkeliling perumahan dan menghentikan langkahku di tepi rawa di pinggir perumahan. Rumput-rumput air rawa menjadi pemandangan indah buatku. Hampir setiap sore aku sengaja mengunjungi tempat ini. Mereka begitu tenang walaupun sedikit mendapatkan terpaan angin. Pekerjaan yang aku dambakan belum ada kejelasan.

Masjid besar di perbatasan perumahan dan kampong dekat perumahan menjadi tempat yang sangat akrab buatku untuk mencurahkan segala rasa yang aku punya kepada Sang Pencipta. Di tempat ini pula aku pasrahkan semuanya. Aku sering menangis dan memohon jalan keluar dari kegundahan dan kebosananku. Aku sudah melewatkan masa sekolahku dengan tujuan yang belum jelas. Aku merasa sangat bodoh dan nista sekarang. Aku menyesal telah ambil keputusan itu.

Seperti biasanya aku berhenti sejenak sebelum masuk ke masjid. Mataku menerawang jauh ke ufuk barat. Di sana aku tampak melihat awan merah kekuningan oleh semburat sinar mentari yang sebentar lagi tenggelam. Langit kemerahan itu sama persis dengan langit di desaku yang sering aku lihat di ufuk barat menjelang magrib. Tak sadar aku menitikkan air mataku di sini. Bapak..Ibu…Aku ingin pulang. Aku rindu kalian. Kakak..maafkan adikmu ini. Aku tidak bisa menunjukan apa-apa padamu.

Sudah setengah bulan lebih aku tinggal di keluarga ini. Hari demi hari kulalui dengan sangat pelan dan membosankan. Setiap kali aku melihat anak-anak berpakaian putih abu-abu yang melintas di depan rumah, batinku merasa semakin teriris dan tercabik-cabik. Aku menahan marah pada diriku sendiri. Aku protes! Aku hanya manusia bodoh yang terdampar di pulau terasing yang siap menelan impianku.

Suatu malam, aku mencoba keluar rumah untuk mencari hiburan. Kebetulan tetangga kampung perumahan ada yang hajatan dan menyajikan hiburan layar tancap semalam suntuk. Akupun berangkat ditemani mba Kus dan pembantu tetangga sebelah. Kami rombongan para pembantu berangkat nonton layar tancap dengan semangat. Lumayan bisa mengobati kegalauanku.

Film pertama selesai di putar, masih berlanjut film kedua. Mba Kus dan temannya mengajakku pulang tapi aku memilih untuk melihat film kedua sampai selesai. Usai menonton film aku pun pulang sendiri dengan orang-orang kampung tetangga perumahan yang lain. Sampai di rumah, pintu sudah terkunci dan akupun tidak berani membunyikan bel karena sudah terlalu malam. Aku takut keluarga pak Ramli terbangun. Akhirnya akupun melompat pagar dan tidur di lorong emper rumah. Begitu adzan shubuh tiba akupun langsung bertolak ke masjid. Habis shubuh aku pulang dan mba Kus mulai menginterogasiku. Dia sangat menyesal aku tidak bisa masuk ke rumah dan harus tidur bersama nyamuk-nyamuk di lorong.

. Setelah sekitar satu bulan aku berada di tengah-tengah keluarga Bu Yayah aku merasa aku harus cepat-cepat mengambil sikap. Aku juga merasa sangat merepotkan mereka. Kebaikan mereka semakin menjadi beban perasaanku sebagai seorang yang berstatus menumpang. Pekerjaan yang aku impikan belum sempat aku peroleh walaupun beberapa lamaran sudah aku layangkan ke beberapa pabrik di Tangerang. Rupanya kesabaranku tidak lolos uji untuk menunggu jawaban yang belum tahu batas waktunya. Mungkin aku masih terlalu kecil dan cengeng hingga aku menulis surat ke bapakku di desa untuk menjemputku. Ibu dan kakakku di rumah pun rupanya sangat menghawatirkan keberadaanku sehingga mereka sangat mendesak bapak untuk segera menjemputku pulang. Aku pun pulang dengan membawa sebongkah rasa malu. Malu pada Bapak Ibuku, Kakak-kakakku, tetanggaku dan semua orang desa. Maafkan aku Pa, Ma! Aku terlalu egois. Aku belum bisa jadi anak kebanggaanmu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

menemukan sesuatu lho Pak

13 Sep
Balas

Sesuatu apa itu Pak? Hehe.. Terimakasih sudah baca Pak.

13 Sep

Selamat berkarya semoga tambah sukses

13 Sep
Balas

Ishaallah Pak. Amiin.

14 Sep

Pergulatan batin yang luar biasa untuk anak usia 15 th...saya ikut merasakan bagaimana perasaan Suryo saat itu...ceritanya semakin menarik...akan menjadi buku yg inspiratif

12 Sep
Balas

Mudah-mudahan jadi Buku nantinya. Doakan saja. Selama masih ada yang membaca di blog ini akan saya lanjutkan. Inshallah.

12 Sep

aku mengulang-ulang, kupikir ini cerita Pak Ayo, tapi ko di Tangerang beda dengan infonya

12 Sep
Balas

Hehe...Bingung ya Bu? Itu perjalanan seorang Suryo yang gagal masuk SMA hingga harus merantau ke Tangerang. Itu ceritanya belum selesai Bu..hehe.. Terimakasih sudah mengikuti kisah Suryo. Mudah-mudahan tidak bosan.

12 Sep

Terkadang begitu cerita hidup ini. Penuh suka dan duka yang berbalut tangis dan tawa. Yang paling penting, semua itu akan menjadi pengalaman berharga bagi Suryo untuk bisa meraih kesuksesan. Menjadi kebanggaan orang tua dan adik yang bisa mewujudkan impian kakak-kakaknya. Mantafffff...pak guru. Pasti cetar membahana kalau jadi buku. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak guru.

13 Sep
Balas

Aamiin. Terimakasih atas motivasinya. Inshallah akan masih terus dilanjutkan.

13 Sep



search

New Post