Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#8 Keputusan Gila)

Di masa SMP aku sudah tidak lagi menulis surat penolakan untuk kakakku. Aku sudah mulai menulis cerpen. Bukan karena kakakku sudah mendapatkan lelaki yang diinginkan, tetapi karena dia juga sudah pergi ke Jakarta untuk merantau dan Alhamdulillah kakakku berhasil mendapatkan pekerjaan di kota besar Jakarta, menjadi pembantu rumah tangga. Cerpen-cerpenku sering dibaca kakak-kakakku yang lain dan untuk bacaanku sendiri.

Aku sungguh kehilangan kakakku, teman bermainku. Tinggallah kedua kakakku yang lain. Mereka dua-duanya sudah berkeluarga. Mereka sudah bukan jadi teman bermainku lagi akan tetapi sangat support dengan pendidikanku. Mereka sangat mendukungku untuk melanjutkan sekolah ke SMA setelah lulus nantinya. Tak pernah aku pikirkan sebelumnya untuk bisa sekolah di SMA karena hampir semua keluargaku tidak ada yang sekolah. Aku merasa terlahir menjadi anak yang begitu spesial. Aku memang dilahirkan untuk dibahagiakan.

“Suryo, kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu harus lebih baik dari pada kita. Kamu harus maju dan bisa membanggakan orang tua. Kamu harus lanjut sekolah di SMA.” Nasihat kakak keduaku yang membuatku sungguh bahagia. Aku ingin menjerit gembira begitu mendengar kakaku berbicara soal sekolah. Kegembiraan ini aku rasakan melebihi kebahagiaanku yang pernah aku rasakan. Aku menghayalkan bisa menjadi satu-satunya kebanggaan keluarga dan bisa menjadi contoh keluargaku yang lain bahwa ternyata anak seorang petani tulen mampu bersekolah hingga SMA. Yea… aku sekolah lagi. Alhamdulillah. Tuhan sungguh sayang padaku.

“Tapi, mbak..” Aku tak yakin. “Aku kasihan Bapak. Dari mana biayanya?” Aku ragu dengan kondisi ekonomi orang tuaku.

“Sudahlah, kamu gak usah khawatir. Insyaallah mbak akan bantu.” Kakakku meyakinkanku. Dia adalah kakak keduaku yang lumayan sukses berbisnis. Toko kelontongnya lumayan besar dan laris.

“Iya Sur, kamu yang penting belajar ndak usah mikirin biaya,” sambung kakakku yang lain. Mereka semua sangat baik dan mendukungku. Bapakk Ibuku tidak berkata apa-apa. Memang mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi aku tahu kalau merekapun sebenarnya sangat ingin melihatku bahagia.

Di hari pendaftaran SMA, aku mempersiapkan segala sesuatunya untuk pendaftaran. Aku mendaftar di SMA terdekat, SMA PGRI. Satu-satunya SMA yang ada di kota kecamatanku, Gumelar. Dan aku juga tidak pernah membayangkan untuk sekolah di kota apalagi sekolah favorit. Bagiku bisa sekolah di SMA sudah merupakan anugerah terindah yang pernah kumiliki yang Tuhan berikan padaku. Lag-lagi aku berjalan di atas awan.

Aku merasa lega setelah semuanya selesai. Aku hanya membayangkan kalau aku akan memakai seragam putih abu-abu dengan celana satu tiang penuh. Dan aku menjadi anak SMA, itu artinya hanya aku seorang diantara teman-temanku di SD dulu yang melanjutkan sekolah sampai jenjang SMA. Aku memang lebih beruntung dari teman-temanku. Danu yang anak pintar saja belum tentu bisa sekolah sampai SMA di Sumatra. Aku hanya bisa berdoa untuknya. Semoga dia bernasib baik di sana dan menjadi kebanggaan orang tua. Hingga kisah ini aku tulis, aku belum pernah mendengar kabar beritanya.

Tapi benar kata pepatah bahwa manusia bisanya hanya merencanakan dan Tuhanlah yang menentukan. Dan rencanaku dengn rencana Tuhan ternyata berbeda. Karena pada suatu sore di musim kemarau itu, Tuhan mengirimkan seseorang yang mampu menghipnotisku untuk berubah pikiran dalam sekejap.

Hari itu adalah hari di mana sebuah keputusan gila dibuat. Entah angin apa yang membawa dia datang ke rumah dan menghembuskan ceerita menarik penuh dengan bisikan harapan yang mampu membiusku ke dalam mimpi indah.

Pakde banyak bercerita mengenai majikan Mba Kus, anaknya pakdhe yang bekerja sebagai PRT di Tangerag.

“Ya pokonya begitu Sur. Majikan si Kus itu sering menolong orang. Banyak yang sudah ditolong dan sekarang sukses. Kalau tidak salah ibunya itu pejabat penting di Dinas apa itu, P dan K kalau tak salah. Coba saja kalau kamu mau ke sana nanti Pakde coba tanyakan si Kus. Aku yakin pasti dia mau bantu kamu. Apalagi kamu sudah punya ijazah SMP. Pasti kamu bisa dibantu kerja sama majikan si Kus.” Begitu cerita Pakde yang sungguh meyakinkan.

Aku yang lemah dan tak punya sandaran kuat untuk terus melanjutkan SMA baik dengan bantuan kakakku atau ikut coba-coba saran Pakde mencari peruntungan di kota besar dengan mengharap kebaikan majikan mba Kus. Aku begitu rapuh dan lemah saat itu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hingga sesuatu yang di luar nalar otak warasku tiba-tiba mencuat dan menciptakan sebuah KEPUTUSAN GILA!

Cerita indah Pakdeku telah memprovokasi pikiranku. Aku lebih tergiur dengan cerita manis tentang kehebatan Jakarta. Bukan sekolah. Gila memang! Otakku yang masih sangat labil sangat mudah terpengaruh dengan cerita pakdhe. Kakak-kakakku yang tadinya bersemangat tidak bisa berbuat apa-apa akan keputusanku. Satu yang ada di pikiranku, aku ingin membahagiakan orang tuaku dengan aku bekerja. Di usiaku yang baru 15 tahun aku harus pergi merantau dan meninggalkan kampung halaman dengan segala keramah-tamahannya. Membiarkan beberapa kambing piaraan bapakku. Meninggalkan saudara-saudaraku dan teman-temanku. Meninggalkan segala keinginan dan harapan untuk melanjutkan sekolah. Meninggalkan hayalanku untuk memakai seragam putih dan celana abu-bau satu tiang penuh.

Tepat di hari pertama aku harus masuk sekolah, aku bertolak ke Jakarta, kota impianku. Aku seperti bermimpi lagi dan setelah aku sadar ternyata impianku untuk melanjutkan sekolah berakhir hingga di sini saja. Semacam ada sesal yang menyelinap di dadaku dan berniat untuk mengurungkan keputusan ini namun itu sullit sekali aku lakukan. Mungkin ini sudah menjadi jalan hidupku. Aku yang seolah terhipnotis oleh kejayaan Jakarta telah mampu melupakan tujuan terpentingku, sekolah.

Aku berangkat dengan separuh hati. Separuh hatiku yakin aku akan berhasil di kota besar dan membuat nama harum keluarga. Separuh hatiku yang lain tetap berada di desa dan menimba ilmu di SMA dan terus menuntut ilmu seperti yang disarankan Pak Rusdi sang kepala sekolah yang mengharpkan aku terus belajar, atau ingin mewujudkan cita-cita asalku ketika di tanya Pak Kamud dulu bahwa aku ingin jadi guru.

Mataku menatap kosong ke belakang melihat desaku semakin jauh tak terlihat. Batinku menjerit dan belahan hatiku mentertawakan kekonyolan keputusanku. Tak sadar mataku meneteskan air mata ke dadaku hingga mampu membasahi dan merendam semua angan-anganku. Antara iya dan tidak. Tetapi tekadku sudah mengalahkan segala kegundahanku. Aku harus merelakan keberatan hatiku meninggalkan kampung halaman dengan berjuta mimpi dan harapan. Jakarta…ku kan datang.

Keberangkatanku diiringi oleh serombongan keluarga pakdhe dan juga bapak ibuku yang akan menikahkan putranya di Cikampek Jawa Barat. Sebelum sampai ke Jakarta aku harus menginap 2 malam di Cikampek ikut merayakan pesta pernikahan sepupuku.

Saat yang paling memilukan pun tiba. Pesta pernikahan sepupuku usai. Rombongan keluarga dan orang tuaku harus berpamitan meninggalkanku seorang diri di kota yang belum aku kenal. Rencananya besok aku akan di bawa ke Tangerang, kota tempat di mana sepupuku, mba Kus bekerja,menjadi pembantu di sana. Untuk sementara aku akan menetap di rumah majikan mba Kus, sebelum aku mendapatkan pekerjaan. Aku seperti kerbau dungu yang hanya mengikuti cambukan sang majikan hingga kemanapun tanpa tahu apa yang akan aku lakukan. Seorang anak lima belas tahun yang seharusnya hari ini bergembira dengan teman barunya di SMA.

Semua seakan terasa manis. Bayangan kesuksesan terus mengikutiku. Angan-anganku untuk melanjutkan sekolah perlahan-lahan menghilang. Seiring dengungan musik pop Sunda yang mengalunkan nada-nada sendu yang mulai mengusik di pagi hari pertama aku terjaga. Suara riuh para ibu-ibu penjaja kue terpaksa membangunkan tidurku di pagi setengah buta. Ternyata rumah di mana aku bermalam adalah sebuah home industri kueh jajanan. Akupun mulai terbiasa dengan bahasa Sunda yang cukup mengoyak telinga. Apa yang akan terjadi selanjutnya aku pun tak tahu. Hanya Tuhan yang tahu aku akan dibawa ke mana. Aku begitu lelah dan pasrah.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah...ceritanya di luar dugaan. Makin menarik pak...ditunggu kisah selanjutnya. Ngomong- ngomong ini naskah calon buku njih pak?

12 Sep
Balas

Ya insyaallah Bu. Baru calon buku mudah-mudahan kelar. Dan kalau memang ada penerbit yang nglirik ya akan saya terbitkan. Doanya saja. hehe...Terimakasih ya Bu atas kesetiaan membaca kisah Suryo.

12 Sep

Ya insyaallah Bu. Baru calon buku mudah-mudahan kelar. Dan kalau memang ada penerbit yang nglirik ya akan saya terbitkan. Doanya saja. hehe...Terimakasih ya Bu atas kesetiaan membaca kisah Suryo.

12 Sep

Mudah-mudahan kepasrahan Suryo akan mendatangkan "kasih sayang dan Ridho-Nya". Lanjuuuttt... Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak guru.

11 Sep
Balas

Amiin inshaallah Bu. Terimakasih atas kesetiaan Ibu membaca kisah Suryo.

12 Sep

Keren pak, jadi penasaran lanjutannya. Semoga keputusan yang diambil Suryo yang paling tepat. Lika-liku kehidupan itu adalah bumbu penyedap yang membuat hidup lebih berwarna.

12 Sep
Balas

Ya betul Bu, Semakin banyak likunya semakin sedap rasanya. Kedewasaan kadang tumbuh dari tempaan cobaan. Walaupun Tuhan memang sang pemilik rencana, kita tetap harus percaya diri dengan rencana yang sudah kita buat.

12 Sep



search

New Post