Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (38_Kutemukan Passionku)
Jarak boleh jauh. Biarkan ratusan pulau dan laut, ribuan gunung dan sungai, hamparan padang rumput dan lembah, bahkan berapa kali musim menghalangi. Namun komunikasi diantara kami adalah yang utama. Airmail-airmail itu, kaset-kaset rekaman itu, dan terkadang membuang ratusan ribu di wartel tak kami pikirkan. Kami menepis segala yang berbau materi, artinya kami tidak lagi berpikir terlalu jauh untuk menghabiskan berapa $NT atau Rp hanya untuk beli perangko, biaya paket, maupun wartel. Kami hanya butuh komunikasi. Kami adalah sang perindu.
Sementara itu, aktifitasku di kota kecil ini sudah mulai berkurang. Salah seorang pemuda di desa yang baru saja kembali dari merantau di Taiwan menanyakan suatu hal yang aku tak pikirkan sebelumnya. Dia datang ke rumah dan meminta bantuanku untuk mengajarinya bahasa Inggris. Dia mengenalku sebagai seorang yang memiliki kemampuan bahasa Inggris. Dia hanya lulusan sekolah dasar. Tadinya aku tak percaya. Dia begitu menggebu untuk bisa belajar bahasa Inggris. Aku pun mencoba untuk bisa membantunya. Akhirnya kami buat jadwal pertemuan. Dalam beberapa bulan aku sibuk melayani pemuda desa itu untuk belajar komunikasi dengan bahasa Inggris. Aku begitu takjub dengan semangatnya yang luar biasa. Keinginannya untuk pergi berlayar ke daratan Eropa benar-benar membuatnya sungguh-sungguh belajar. Dia tak berpikir apa lulusan dia. Dia hanya butuh bisa berbahasa Inggris. Akupun tak percaya diri apakah aku bisa membuatnya bisa berbahasa Inggris. Rupanya usahanya untuk belajar sangat luar biasa. Dengan waktu yang singkat dan rasa percaya diri yang tinggi membuat dia mampu berbahasa Inggris dengan baik. Aku juga heran kenapa dia bisa dan kenapa aku juga bisa. Aku dapat menyimpulkan bahwa belajar bahasa tidak harus dilandasi oleh tingkat pendidikan, tapi kemauan keras untuk belajar dan berani mempraktekan. Ya, keberanian merupakan modal penting dalam belajar bahasa. Aku sungguh kagum padamu, Sucipto.
Satu anak berhasil membuktikan dirinya mampu berbahasa Inggris hingga merambat ke beberapa pemuda lain yang juga punya kemauan yang luar biasa. Sucipto menjadi pelopor teman lain. Aku menggarap mereka dengan sepenuh hati dan seolah aku telah menemukan passionku. Entah kenapa, aku telah menemukan yang aku inginkan. Walaupun belum bisa dikatakan aku mahir, justru banyak hal dan pengalaman belajar dari mengajari teman-teman desaku. Aku tidak berpikir materi apalagi memasang tarif buat mereka. Prinsipku, mereka bisa, aku puas. Tapi justru dari itulah banyak rejeki mengalir. Mereka memberiku sejumlah uang yang tidak sedikit setiap akhir bulan. Ada pula hasil panen sayur berdatangan ke rumah. Kejadian ini sungguh menggugah. Menggugahku untuk terus meng-update kemampuan bahasa Inggrisku. Aku banyak membaca buku-buku bahasa Inggris dan semakin sering mendengarkan lagu-lagu bahasa Inggris.
Dengan gembira aku mengabarkan hal ini ke istri pada surat-suratku selanjutnya. Dia merespon sangat gembira. Dia memberiku banyak motivasi untuk meneruskan aktifitas yang meruakan bakat terpendamku.
Lambat-laun kondisi keluargaku mulai berubah. Sejumlah hutang sudah mulai berkurang. Perjuangan istriku tak sia-sia. Dia berhasil menepis homesick yang dia alami sejak pertama kali menginjakan daratan Taiwan demi tujuan awal kepergiannya, yaitu ingin melunasi hutang-hutang. Tapi aku yakin, komunikasi gila yang kami lakukan memiliki peran penting baginya untuk bertahan hingga hampir mencapai 2 tahun. Yah, aku menganggapnya hubungan kami ini cukup gila. Kegilaan kami dalam mengirim surat berlembar-lembar hingga seperti buku, membuat rekaman kaset dan saling mengirimnya, menghabiskan ratusan ribu di wartel ternyata mampu menciptakan jarak ribuan bahkan mungkin jutaan mil terasa dekat. Itu mungkin yang bisa membuat dia bisa bertahan.
Dengan begitu, aku sudah terlihat punya aktifitas yang juga lebih membanggakan bagi Bapak dan Ibuku di desa. Mereka ikut menyambut gembira ketika aku akan berpamitan untuk memberikan les bahasa Inggris buat teman-temanku di desa. Mereka mungkin membayangkan bahwa aku adalah seorang guru yang mau berangkat mengajar di sekolah. Ah, mereka terlalu berharap. Mana bisa seorang lulusan SMA bisa menjadi guru. Mungkin mereka terlalu banyak bermimpi. Tapi, apapun itu, sudah menjadi hak mereka untuk merasa bangga denganku.
Semenjak aku sibuk membantu teman-temanku di desa belajar bahasa Inggris, aku mulai berfikir sesuatu yang terlihat mustahil untuk bisa aku lakukan. Tapi, aku seperti memiliki keyakinan bahwa hal mustahil itu akan bisa menjadi sebuah kenyataan. Dorongan ini semakin kuat dan benar-benar tumbuh di dadaku. Aku berfikir ke depan. Apa yang terjadi jika hutang-hutangku lunas, istri pulang, dan aku pun belum punya usaha yang jelas, pastilah sisa uang yang ada akan habis lagi hanya buat makan. Ini tak boleh terjadi. Aku berfikir untuk mencari kerja lagi di kota sesuai passionku. Menjadi pengajar bahasa Inggris di kursusan. Aku cukup percaya diri untuk mengajarkan ‘percakapan’ dalam bahasa Inggris berbekal pengalaman mengajari teman-temanku di desa. Tapi, apakah pihak kursus akan bisa menerimaku hanya berbekal ijazah SMA dan pengalaman di desa? Aku mundur lagi. Dan aku berpikir lagi. Aku memikirkan masa depan keluarga terutama anakku. Bagaimana nantinya kalau aku masih berstatus seperti ini. Bukankah aku sama saja dengan teman-temanku di desa yang hanya lulus SD? Aku harus berbeda.
Aku segera menceritakan hal ini pada istriku di surat-surat selanjutnya. Aku tuliskan semua yang aku mungkin bisa lakukan demi masa depan keluarga. Istriku menyambut gembira atas keinginanku itu.
“Iya, Mas. Aku setuju. Kapan Mas Suryo mendaftar? Sudahlah, jangan ditunda lagi. Ini kan demi masa depan keluarga. Mas Suryo harus kuliah. Demi anak-anak kita.”
Itu kutipan surat istriku menanggapi suratku. Lampu hijau sudah dinyalakan. Aku tak menundanya untuk segera mendaftarkan diri di semester ini.
Aku berpikir dengan statusku nanti yang mahasiswa, aku akan bisa percaya diri untuk masuk ke dalam dunia pendidikan non-formal menjadi guru bahasa Inggris.
Kisah pun mencatat bahwa sekarang statusku adalah mahasiswa. Aku menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di sebuah universitas swasta di kotaku. Dengan status ini, aku memberanikan diri untuk mencoba menjadi bagian dari pengajar bahasa Inggris di sebuah lembaga kursus bahasa tersebut. Aku mendapat informasi lowongan pekerjaan dibutuhkan beberapa pengajar bahsa Inggris di sebuah lembaga pendidikan dari papan tempel di Kantor Pos. Dan surat lamaranku berbuah panggilan wawancara dan tes mengajar ‘micro teaching’. Aku tak menyangka saat tes dan micro teaching, aku bersamaan dengan salah seorang dosen muda yang ternyata dia salah seorang dosen di kampusku. Haruskah aku harus bersaing dengannya? Aku sungguh grogi awalnya. Tapi aku berusaha menepis rasa itu. Aku memikirkan anak dan istriku. Aku tak boleh gagal. Aku tak peduli dengan statusku yang baru mahasiswa semester 1. Aku harus bisa membuktikan bahwa aku punya kemampuan, dan status mahasiswa hanya sebagai modal kepercayadirian. Tes tulis dan micro teaching berjalan lancar. Aku bisa melewatinya.
Selanjutnya, informasi diterima atau tidaknya akan disampaikan lewat telpon bagi yang punya nomor telpon rumah. Tapi saat itu aku suruh datang 2 hari setelah micro teaching.
Seorang pegawai lembaga memasuki ruang kelas di mana aku suruh menunggu. Di sebelahku, sesosok wajah yang tidak asing lagi bagiku. Dia lah dosen muda yang waktu itu micro teaching bersama. Aku berdebar antara diterima atau tidak diterima. Aku berusaha menyingkirkan kecemasanku di hadapannya. Aku harus tampil setenang mungkin. Aku harus siap menerima apapun keputusan dia. Wajar saja, kalau aku ditolak karena aku hanyalah mahasiswa semester 1, sedang orang di sebelahku adalah dosen. Ah, biarlah. Aku sudah siap.
“Pak Suryo dan Pak Panji, kami sedang ada kerjasama dengan AKL di Baturraden. Bapak berdua kami tugaskan untuk mengajar semester ini di kampus AKL. Untuk jadwal dan silabusnya, nanti saya siapkan.” Aku hampir saja tidak bisa mengendalikan diri mendengarkan penjelasan karyawan lembaga ini. Apa aku salah dengar atau salah menginterpretasikan aku tak tahu. Nafasku sesak menerima kabar gembira itu. Aku tak percaya. Aku dipercaya mengajar Mahasiswa kesehatan sedangkan aku masih berstatus mahasiswa semester 1. Tapi memang aku tidak salah informasi. Dan, fix aku diterima mengajar di lembaga itu. Aku angkat dua jempol lembaga ini. Ternyata mereka merekrut guru berdasarkan kemampuan bukan hanya ijazah formalnya. Buktinya aku disejajarkan dengan bapak dosen di sebelahku ini.
Keluar dari lembaga kursus, aku berjalan seperti melayang. Aku tak tahan ingin segera mengabarkan berita ini pada istriku lewat suratku yang ke sekian kali. Aku pun menceritakan kabar gembira ini pada Ibu Bapakku di desa. Mereka bingung dan bertanya, “Kamu jadi guru?” Begitulah pertanyaannya, simpel. Selalu memandang profesi guru itu istimewa. Aku pun hanya mengangguk. Dalam hatiku, aku ketawa. Tapi menjelaskan hal itu pada orang tua desa agak susah. Jadi, biarlah. ‘Aku bukan guru, Pa. Aku cuma jadi pengajar di kursusan. Mengajar bahasa Inggris.’ Aku menjawab dalam hatiku saja. Biarkan mereka bahagia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Baru bangun terus berkarya ya mas. Sukses selalu cerpan mas Ayo.
Malah belum tidur Pak. Maturnuwun doanya.
Siip....sukses mas
Terimakasih Pak.
Alhamdullilah cercah-cercah harapan mulai muncul di kehidupan Suryo dan Dian
Iya Bu ada cerah-cerah sedikit. Nantikan kisah selanjutnya.
...dan Suryopun menemukan passionnya....keren Pak
Inshallah sudah ada titik terang.
Subhanallah, pak guru. Allah selalu mengangkat derajat orang yang "berilmu". Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah, pak guru.
Amiin. Inshallah.
Subhanallah kehebatan literasi mewarnai kehidupan pak guru. Barakallah
Insyaallah Ibu. Semua kadang terjadi di luar dugaan.
Insyaallah, sudah ada titik terang.
Akhirnya....dpt yg terbaik, salam kenal
Inshallah. Amiin.