Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#17 Hari Kebodohan Pertama)
Tinggallah aku dan seorang di sebelahku yang tersisa di sana. Aku terpaksa dibuat kikuk dengan suasana ini. Semacam ada rasa ingin memuji kemampuan berbahasa Inggris dengan orang yang duduk di sebelahku ini. Tapi aku tak berani dan aku urungkan niatku.
“Sudah lama kerja di Top Photo, Mas?” suara itu memecah lamunanku.
“Oh, iya, belum. Baru empat bulan, mba,” jawabku gugup. Aku menolehnya dan memberanikan diri untuk menatap matanya. Karena itu merupakan salah satu pelajaran yang baru saja aku dapatkan dari pembicara seminar tadi. Aku sempat menangkap bahwa kalau berbicara dengan atasan, klien, teman, atau siapa saja sebaiknya menatap mata lawan bicara kita. Itu kata narasumber tadi dan barusan aku langsung mempraktekannya.
Aku menangkap tatapan mata ketulusan dari orang di sebelahku ini yang tadinya ber-cas-cis-cus dengan bahasa Inggrisnya yang luar biasa. Tampak pula dengan jelas di mataku, senyumnya begitu anggun dan keibuan. Berbeda sekali ketika dia berbahasa Inggris dengan temannya tadi, tampak tegas dan smart.
“Enak ya sudah kerja,” tambahnya memuji.
“Ya, beginilah. Tapi mba lebih enakan, jadi anak kuliahan,” aku memberanikan diri membuka komunikasi dan memprediksi. Aku juga tak menyangka mengapa aku bisa secair ini berbicara. Tapi itu mungkin tergantung lawan bicaranya. Wajahnya yang memancarkan aura kebaikan dan tidak sombong itu yang membuatku berani untuk berbicara.
“Ah, enggak juga. Saya juga kerja kok di sini Mas. Tapi, ya, nggak fultime,” jawabnya enteng dan enak di dengar.
“Oh, Mba ngajar bahasa Inggris ya di sini? Bahasa Inggrisnya bagus banget!” aku memberanikan diri untuk meyakinkan dan memujinya.
“Ah, biasa saja kok mas. Jangan berlebihan lah. Iya, saya ngajar juga di sini. Untuk mengisi waktu di sela-sela kuliah.”
“Wah, enak ya. Bisa kuliah sambil bekerja. Jadi guru bahasa Inggris lagi,” ungkapku kagum.
“Memangnya kenapa dengan jadi guru bahasa Inggris? Apa istimewanya?” dia mengernyitkan dahinya tampak penasaran.
“Ya, soalnya saya sangat suka dengan bahasa Inggris. Pelajaran favorit saya waktu sekolah,” jawabku jujur.
“Berarti, Mas, oh iya. Mas siapa ya namanya? Saya Dian!” segera dia mengulurkan tangannya dan menyebut namanya pula.
“Oh iya, maaf, tadi belum berkenalan ya? Saya, Suryo,” ucapku sedikit gugup dan tidak terlalu pede untuk menyebut nama sendiri.
Kami mulai akrab walaupun baru saling menyebut nama masing-masing.
“Berarti Mas, Mas Suryo bisa bahasa Inggris dong!”
“Enggak juga. Saya cuma suka saja. Tapi gak bisa ngomong. Takut salah,” aku jujur lagi.
“Lho, ya nggak usah takut Mas. Saya juga sedang belajar, kok.”
“Enggak lah. Tadi mba ngomongnya bagus banget. Saya benar-benar kagum lho mba. Pak Asto benar-benar beruntung punya guru bahasa Inggris sehebat mba Dian.”
“Enggak lah Mas. Lho Mas, kenal juga sama Pak Asto?”
“Kenal sih enggak cuma tahu. Tahu dari Mas Aris, yang lagi motreti itu lho mba, sama dari Pak Andika, atasanku.” Gaya bicaraku mulai cair, nyaris tidak ada grogi lagi.
“Oh iya, ya.”
“Kira-kira boleh nggak kalau saya belajar bahasa Inggris sama mba?” Aku mencoba peruntungan dengan menanyakan hal konyol ini. Tapi tak apalah. Namanya juga usaha.
“Wah, boleh banget Mas.” Ternyata aku berhasil. Dia tersenyum sangat tulus untuk melengkapai jawaban kesanggupannya itu. Aku serasa terbang meliuk-liuk di atas awan saat itu. Tapi apa mungkin? Bukan. Maksudnya apa mungkin bisa belajar bareng?
Obrolan berlanjut hingga banyak hal yang aku dapatkan dari dia selama beberapa saat sambil menunggu Mas Aris mencetak foto di studio kami. Selain aku mendapatkan alamat, nomor telepon rumah, aku juga banyak bertukar informasi mengenai hal-hal yang berbau pengetahuan, dunia perkuliahan, public relation, bahasa Inggris, dan masih banyak lagi. Ternyata dia memiliki banyak sekali wawasan apalagi seputar pergaulan dan public relation. Pantesan orangnya sangat supel dan menghargai setiap ucapan dan kejujuranku yang sering aku ungkapkan dalam percakapan ini. Aku memang tipe orang yang tidak bisa berbohong dan apa adanya.
Tak terasa aku banyak bercerita tentang latar belakangku yang orang desa lah, minderan lah, dan pemalu lah. Perasaan tak ada bedanya antara minderan dan pemalu. Semua aku tumpahkan dalam obrolan itu tanpa ada rasa sungkan sedikitpun. Aneh! Baru kenal berapa detik sudah banyak curhat. Memangnya dia siapanya aku? Psikolog? Teman? Sahabat? Kenal saja baru. Tapi mengapa aku bisa ngobrol sama dia begitu banyak? Padahal aku paling gak bisa ngobrol sama yang namanya perempuan apalagi yang baru dikenalnya.
Berbicara soal minder, tidak tahu kenapa selalu ada saja yang dirasa bagi orang minderan seperti aku. Kalau kamu orangnya percayadirian alias PD, pasti kamu tidak pernah tahu apa yang dirasakan orang minderan seperti aku dan para kaum minderan yang lain. Orang minder itu bawaannya:
Pertama; kalau mau berbicara di depan orang banyak, mesin pengolah kata yang ada di otak mesti bekerja lebih keras untuk dapat menghasilkan kata-kata yang tepat dan dapat keluar dengan baik melalui mulut. Intinya mesti banyak sekali pertimbangan. Takut salah ucap dan menyakiti perasaan orang yang mendengarnya, takut kata-kata yang keluar terdengar aneh lalu diketawain, takut kata-katanya nggak berbobot nanti dikira bodoh, takut memotong pembicaraan orang nantinya dikira jadi interuptor yang nggak penting.
Kedua; kalau mau lewat di depan orang banyak, rasanya semua mata memperhatikan dari ujung rambut samapai ujung sepatu_kalau lagi pakai sepatu. Rasanya orang-orang itu mengamati semua gerak tubuhku saat berjalan, dari lambaian tangan sampai gerakan pinggul. Betapa ribetnya pikiran orang minder di saat seperti itu. Padahal belum tentu juga orang-orang itu sedang memperhatikan aku. Disitulah kadang aku suka ke-geer-an.
Ketiga; saat namaku tiba-tiba disebut di dalam sebuah perkumpulan, jantungku berdetak kencang tak beraturan disertai butiran-butiran keringat yang terasa dingin yang sering disebut dengan keringat dingin. Begitu tiba-tiba disuruh menyampaikan sesuatu, kalimat yang keluar pasti akan berantakan. Setidaknya itulah yang sering aku rasakan sebagai orang minderan. Masih banyak lagi tapi setidaknya itulah garis besarnya.
Kembali ke tempat seminar, Mas Aris tampak sudah kembali ke gedung dengan membawa hasil cetakan foto para peserta yang berhasil dijepretnya. Kami mulai bekerja dengan menggelar foto-foto itu di meja yang berderet memanjang bekas registrasi tadi. Tak ketinggalan teman baruku yang ahli bahasa Inggris itu juga ikut membantu mendisplay foto-foto yang jumlahnya ratusan itu. Tentunya harapan kami semua foto bisa terjual semua. Sehingga kami pulang dengan hati senang. Horee!
Begitu coffeebreak pertama, para peserta menyerbu kami. Satu per satu foto-foto mulai diambil pemiliknya. Dan kami sibuk mengumpulkan rupiah dari para peserta. Senangnya kami dapat uang banyak dari hasil jual foto spekulasi ini. Benar-benar laris manis!
Sesi berikutnya setelah coffeebreak, para peserta berjubel di pintu untuk mengantri masuk kembali ke posisi duduk masing-masing. Kami kembali merapikan foto-foto yang belum terambil. Jumlahnya tinggal sedikit. Mas Aris kembali ke studio untuk mencetak beberapa foto pesanan peserta. Aku pun kembali melanjutkan mengobrol dengan teman baruku ini. Hari yang membahagiakan. Aku dapat teman baru. Mahasiswa sekaligus guru bahasa Inggris yang hebat. Tetapi itu bukan satu-satunya hal yang membuatku lebih dari bahagia. Karena dia ternyata seorang yang sangat low profile dan menghargai aku yang hanya karyawan Photo Studio dan hanya lulusan SMA waktu itu. Walaupun memang hebat tetapi dia tidak menunjukan diri bahwa dirinya hebat. Itulah kehebatan dia. Dia selalu mendengarkan apapun yang aku ceritakan padanya. Itu yang aku belum pernah dapatkan sebelumnya. Ternyata Tuhan telah mengirimkan aku sang pencerah untukku. Dan aku harus segera mengakhiri dunia per-minderan-ku. Never say too old to learn and dare to change! Itu mottoku saat itu.
Sesi demi sesi, pembicara pun silih berganti, hingga akhirnya masuk ke sesi penutupan. Para peserta bersorak riuh memberikan big applause kepada para pembicara. Para peserta mulai berhamburan keluar dengan membawa segudang ilmu yang baru didapat di seminar. Aku bernafas lega. Hampir semua foto peserta yang dipajang habis terjual. Panitia merapat ke depan panggung tadi, mengambil posisi terbaik untuk berpose dengan para nara sumber. Mas Aris sibuk menata mereka agar komposisi tinggi rendah dan urutan jabatan tertata dengan benar. Dia memang luar biasa dalam soal ini. Itulah mengapa Pak Chandra, bos besarku, selalu memakai Mas Aris untuk memotret even-even besar seperti ini.
Sementara aku sibuk mengemasi dan menempatkan sisa foto yang masih tercecer ke dalam kotak plastik yang sudah aku siapkan. Tak lupa juga menempatkan uang hasil jual foto di tempat teraman.
Seminar telah usai. Kami berpamitan pada panitia dan juga pada Pak Asto tentunya. Kami saling mengucapkan terima kasih dan Mas Aris menyampaikan beberapa hal mengenai masalah dokumentasi untuk International College dengan Pak Asto.
Dari arah belakang, seseorang dengan blazer biru berambut panjang yang ahli bahasa Inggris itu terlihat tergopoh-gopoh menenteng tumpukan snack dan beberapa dus makan siang tadi. Tetapi kenapa dia harus berlari-lari seperti itu? Apa ada yang gawat?
“Ini Mas, untuk Mas berdua. Tadi kan gak sempat makan,” serunya disela-sela kerumunan.
Jantungku langsung berdegup kencang. Keringat sekujur tubuh mulai bermunculan. Pakain dalamku terasa basah. Kemampuan berbicaraku seperti tercekat. Tapi aku paksakan sebisanya. “Nggak usah, mba, tadi sudah sempat makan kok,” akhirnya keluar juga kalimat ini dengan susah payang kubangun. Aku melirik Pak Asto. Dia tersenyum.
”Iya bawa saja. Masih banyak tuh, di belakang! Sudah nggak usah malu-malu. Ayolah!” Pak Asto ikut-ikutan memojokanku. Iya juga sih. Buat apa malu-malu. Tapi tak sebanyak ini kali! Aku cuma merasa malu saja membawa snack segini banyaknya. Nanti dikira orang rakus. Mungkin karena tampangku kurus jadi tampak perlu perbaikan gizi. Yah sudahlah, anggap saja rejeki anak shaleh.
“Iya Mas, buat di kos-kosan. Ada teman juga di kos-kosan, kan? Nanti kan bisa dimakan rame-rame,” ujarnya sambil menyodorkan dus-dus tadi. Dengan gemetar, aku meraihnya dan akhirnya menggondolnya pulang. Aku merasa dia sangat perhatian padaku, eh maksudnya pada kami berdua.
Benar juga kata mba panitia yang perhatian itu. Teman kosku, Irwan yang asal Aceh Pidi ini begitu rakus makan snack dan nasi bawaanku dari seminar tadi. Aku senyum-senyum sendiri melihat temanku seperti sudah satu minggu baru ketemu nasi.
“Ayolah Suryo! Makanlah! Kita berpesta nih. Jangan cuma dilihatin sajalah!” dengan logatnya yang kemelayuan dan mulut penuh dengan makanan dia terus memaksaku.
Tapi entahlah, aku seperti nggak selera makan saat ini. Aku hanya tertawa ngakak melihat gayanya yang innocence dan rambutnya yang keriting itu pun seperti ikut mentertawakannya. Aku mungkin belum lapar atau memang tidak lapar. Anganku masih terbawa serangkaian kejadian hari ini seperti materi seminar yang kebetulan cocok dengan kepribadianku, Pak Asto yang tegas dan baik, Mas Aris yang profesional dalam bekerja, Panitia seminar yang baik dan ramah, dan tentunya tumpukan snack dan nasi dus yang harus aku bawa dengan terpaksa, dan masih banyak lagi. Akan tetapi yang masih terus terlintas di pikiranku adalah kesempatan bertemu dan mengobrol dengan si panitia yang perhatian itu. Aku merasa jadi manusia yang sangat bodoh hari ini karena hari ini aku merasa ternyata dunia begitu luas. Untuk mengenangnya aku nobatkan hari ini sebagai hari kebodohan pertama dalam hidupku. Mengapa begitu? Karena mungkin aku akan mendapatkan kebodohan yang lain di hari-hari berikutnya setelah ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Atau....karena ada "benih-benih cinta" didalam hati Suryo, sehingga memunculkan "Kebodohannya?" Karena cinta bisa bikin orang pinter dan bodoh sekaligus.Hehehe. Lanjuuutttt. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah.
Iya Bu. Mungkin itu benar..Hahaha..
Cinta bisa bikin nano nano
Kaya permen Bu..
Sepertinya panah asmara memang sudah jatuh di hati Suryo...kalo yang beginian tambah asyik nih ceritanya..lanjuttt...
Kelihatannya memang sudah saatnya Bu. Maturnuwun Ibu sudah meluangkan waktu untuk baca kisah ini.