Ayo Sugiryo

Guru di SMA Nasional 3 Bahasa Putera Harapan Purwokerto. Sedang belajar menulis dan Buku Perdana yang sudah diterbitkan: "From Home With Love" Tahun 2016, Buku ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan Pak Guru Itu Adalah Aku (#13 Berpulangnya Pahlawan Pendidikan Keluargaku)

Aku sungguh merasakan bahwa hidupku begitu berarti. Ketiga kakakku cukup mengenyam pendidikan dasar 6 tahun saja. Mereka sudah cukup bahagia dengan melihatku bisa bersekolah hingga SMA. Merupakan kebahagiaan tersendiri bagi keluargaku bahwa salah seorang anaknya ada yang bersekolah tinggi. Sekolah SMA merupakan kebanggaan bagi siapa saja di desaku saat itu. Aku bangga pada orang tuaku dan kakak-kakakku. Mereka begitu mendukungku untuk terus sekolah dan maju. Aku merasa akulah sang pangeran di keluargaku yang selalu mendapatkan keistimewaan. Keistimewaan untuk mendapatkan pendidikan yang cukup.

Adalah kakak keduaku yang mendukung biaya pendidikanku. Karena secara materi dialah yang paling mampu saat itu. Hampir semua kebutuhan belajarku dipenuhi oleh kakak keduaku hingga aku mencapai kelas tiga SMA. Perhatian tentang pendidikan dia curahkan sepenuhnya pada adik lelaki satu-satunya ini.

Sedangkan kakak pertamaku saat itu, sedang mengalami krisis ekonomi yang lumayan. Bisnis suaminya banyak kegagalan hingga menyisakan hutang di mana-mana. Akhirnya kakak memutuskan untuk mencoba peruntungan untuk menjadi TKW di Singapura. Saat itu kakak sedang dalam proses pendidikan di penampungan Jakarta dan dipersiapkan untuk menjadi TKW sambil menunggu proses pemberangkatan.

Kakak ketigaku, Mba Sofi, yang dulu pernah aku bantu dalam menuliskan surat-surat penolakan pada para lelaki yang menginginkan jadi teman baiknya, ternyata tidak memilih salah satupun lelaki dari desa sendiri. Selama perjalanan di kota, dia terpaut hatinya dengan pemuda Medan yang katanya keturunan tiga suku yaitu Batak, Jawa, dan Tionghoa dan berakhir pada pernikahan yang awalnya tidak disetujui bapak. Tapi apa boleh buat. Mba Sofi memegang teguh pendirian akan pilihannya sendiri. Cukup dengan kekecewaan sekali saja yaitu tidak bisa lanjut sekolah, sedangkan urusan jodoh dia mau menentukan sendiri. Aku salut sama mba Sofi.

Kembali ke kakak keduaku, mba Ratni. Dia juga sesosok wanita kuat. Usaha warung kelontongnya begitu sukses. Jiwanya yang optimis dan rajin dalam beribadah membuatnya selalu dalam kebahagiaan. Mba Ratni banyak membantu orang lain yang kesusahan. Soal pendidikan dia sangat peduli. Apalagi sama adik laki-laki satu-satunya.

Kebahagiaan selalu terpancar dari matanya setiap kali aku bercerita tentang hal-hal baru yang aku dapatkan dari sekolah. Dia terlihat begitu senang ketika mendengar aku bisa menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Inggris. Dia selalu menyimaknya dan berusaha mengikuti nada-nadanya walaupun suaranya tetap saja fals. Karena faktanya, di keluarga kami, dialah yang paling tidak bisa menyanyi dan dia cukup menyadarinya. Dia juga sangat mengagumiku ketika aku melukis walaupun lukisanku tergolong ala kadarnya. Dia juga suka minta dibacakan cerpen-cerpenku di sela-sela kesibukannya. Apapun yang aku lakukan yang berhubungan dengan pendidikan dan hobi, dia selalu berada di belakangku untuk memberiku semangat.

‘One Moment in Time’ suatu sore berkumandang di layar TVRI. Aku begitu terkesima mendengar lagu itu dan aku pun berusaha untuk mengikuti nyanyian lagu yang pertama kali aku dengar itu. Suara Withney Houston memang mampu menggelorakan perasaan siapapun yang mendengarnya. Kakakku pun merasa begitu gembira melihatku ikut bernyanyi lagu bahasa Inggris tersebut walaupun dia sama sekali tidak mengerti arti nyanyian berbahasa Inggris . Jangankan mengerti arti lagu bahasa Inggris, mendengarkan saja dia jarang.

Seperti biasa aku melakukan beberapa aktivitas pagi sebelum berangkat sekolah. Dan pagi itu begitu memukau dengan sinar kemerahan mentari pagi yang menghangatkan desaku yang berbukit-bukit. Aku cukup banyak waktu untuk melakukan ini itu demi sedikit membantu orang tuaku sebelum beranjak ke Sekolah. Sekolahku masuk jam 13.00 WIB, walaupun kadang sering telat. Kalau tidak ada kegiatan khusus di kebun, aku kadang hanya melingkar di kamar menghabiskan cat air atau menulis cerpen.Tapi pagi itu bapak berencana akan memanen singkong di kebun dekat perbatasan hutan pinus. Aku pun ikut mempersiapkan diri membantu bapak semampuku.

Jarak dari rumah ke kebun lumayan jauh sekitar empat kilometer dan kami biasa menempuhnya dengan berjalan kaki. Kami berdua tidak pergi bersamaan, karena Bapak mesti ada keperluan lain hingga harus berangkat lebih awal dan aku menyusul kemudian. Baru sekitar limaratus meter aku beranjak dari rumah menuju kebun, aku dikagetkan oleh seseorang yang memanggil namaku dari atas ojek motor. Aku menoleh dan ternyata kakak keduaku melintas menaiki ojek melambaikan tangan dan tersenyum padaku dengan riangnya. Keceriaannya menambah kesan membahagiakan dan mendamaikan. Seperti biasa, setiap dua minggu sekali kakakku pergi belanja di pasar Ajibarang untuk membeli barang-barang keperluan jualan di warungnya.

Di kebun, aku dan Bapak berjibaku dengan singkong-singkong yang cukup alot untuk dicabut. Kami pun berbagi tugas. Dengan sekuat tenaga bapak berusaha mencabut singkong dari tanah yang kering dan keras, sedangkan akudiberi tugas mengupas singkong-singkong yang sudah menyembul keluar dari tanah oleh kekuatan otot-otot bapak yang masih perkasa waktu itu. Pagi ini benar-benar melelahkan tapi mengasyikan. Kami berdua begitu sibuk dan asyik mengurus singkong. Bapak pun tampak begitu lega dan puas melihat singkongnya cukup besar-besar dan banyak. Walaupun harganya tak seberapa, kami tak menyerah untuk bisa mendapatkan target hari itu yaitu membawa sebanyak-banyaknya singkong ke pengepul agar kami bisa mendapatkan uang hasil jerih payah kami. Sebenarnya aku sering tak tega melihat bapakku bekerja mati-matian di kebun. Berlumuran keringat di bawah teriknya matahari, dari pagi hingga sore hari. Bapak dan petani lainnya begitu setia menunggu panen yang tidak sebentar. Mereka membutuhkan waktu minimalnya tujuh bulan untuk bisa mendapatkan singkong yang berkualitas. Begitupun, kadang harga singkong sering tak masuk akal. Tapi herannya bapakku tetap saja menanam dan menanam tak kenal menyerah. Karena memang hanya itulah yang bisa mereka lakukan.

Matahari sudah hampir mencapai ubun-ubun. Bapak sudah mengisyaratkanku untuk menghentikan aktifitasku mengupas singkong. Waktu sudah menunjukan sekitar pukul sebelas siang. Aku sudah tak punya waktu lagi untuk menemani bapak memanen singkong karena aku harus bersiap-siap pergi ke sekolah. Perjalanan dari kebun ke rumah dibutuhkan waktu sekitar tigapuluh menit. Jam 11.30 aku harus sudah bertolak menuju sekolahan yang membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk aku berjalan menuju sekolahan dengan berjalan kaki.

Aku melangkahkan kakiku menuju rumah dan meninggalkan bapakku seorang diri di kebun. Baru sekitar setengah perjalanan, seseorang berlari dan mendekat seraya hendak merengkuh pisau yang aku genggam bekas mengupas singkong tadi di kebun. Bapak itu meminta pisauku dengan setengah memaksa dan dengan alasan yang kurang begitu jelas. Aku benar-benar dibuatnya bingung karena aku tak mengerti maksudnya. Dia hanya bilang aku suruh segera sampai ke rumah. Aku sungguh tak mengerti drama apa yang sedang dia mainkan untukku. Aku hanya berfikir orang desa ini telah melakukan hal yang aneh dan tak biasanya. Aku jadi semakin penasaran dan memaksanya untuk menceritakan apa yang telah terjadi tapi dia tetap diam dan tetap menyuruhku agar segera sampai ke rumah.

Aku pun kalah dan aku terus berjalan setengah berlari di jalan yang cukup menanjak. Jalanan sepi tak banyak orang di sana. Tiga ratus meter kemudian, tepatnya di sebuah persimpangan jalan, banyaklah orang berkerumun dan tampak membicarakan sesuatu yang cukup serius. Wajah mereka terlihat tegang dan beberapa saling berbisik dan menggumam begitu aku lewat di depan mereka. Mereka tampak menyembunyikan sesuatu dariku. Semakin dekat dengan rumah, semakin banyak orang berkerumun di pinggir jalan. Banyak juga yang berjalan cepat searah denganku. Aku masih belum mengerti dan terlihat semacam ada bencana sedang melanda desa ini. Aku terus berlari dan menjumpai semakin banyak orang di jalan. Kakiku terasa semakin lemas dan badanku seperti limbung begitu aku melihat di depan rumah kakakku telah berkerumun banyak orang memadati halaman hingga rumah. Akhirnya aku pun sempat menangkap perbincangan mereka yang samar-samar aku dengar sambil aku berjalan. Dan ‘Innalillaahiwainailaihi rojiuun’ Mereka ternyata sedang menunggu jenazah kakakku yang meninggal kecelakaan tertabrak bis di Ajibarang. Aku terduduk lunglai tak percaya. Ini pasti kabar burung. Tak mungkin ini terjadi pada kakakku. Pasti mereka telah menerima informasi yang salah. Itu tak mungkin. Tapi, kenapa rumah kakakku begitu penuh sesak dengan orang seperti mau melayat. Sementara aku juga melihat beberapa orang sedang mempersiapkan pemandian jenazah di samping rumah. Raungan tangis dari orang-orang tercintaku, terdengar pecah di rumah itu.

Dan benar juga. Sekitar 10 menit dari kedatanganku, terdengar suara mobil jenazah merapat ke depan rumah kakakku. Warga semakin berkerumun dan suara tangis semakin pecah . Kerabat dan handai taulan tampak begitu shock. Sementara aku hanya terdiam tak percaya. Aku pun berusaha tegar melihat kenyataan ini walaupun hatiku hancur berkeping-keping. Aku membayangkan tubuh kakakku hancur dan berlumuran darah di mana-mana. Ternyata itu tidak terjadi. Aku menyaksikan tubuh kakakku tampak utuh dan hanya beberapa memar di bagian kepala. Dia seperti tidur dan tersenyum padaku. Aku pun tak kuasa lagi membendung air mataku dan pecahlah tangisku. Ibuku memelukku dengan isakan tangisnya. Walaupun hanya terisak aku dapat menangkap betapa hancur hati ibuku dan keluargaku. Bencana ini sungguh luar biasa kami rasakan dan ini benar-benar terjadi dan menimpa kakakku.Kakak terbaikku telah dipanggil Allah hari itu. Kakak yang sangat memperhatikan dan membanggakanku ternyata harus mendahului menghadap sang Khalik tanpa bisa menyaksikanku hingga aku lulus SMA. Tapi itulah rencana Tuhan yang tidak bisa diprediksi oleh manusia. Semua begitu tiba-tiba. Semua begitu mendadak tanpa bisa dikompromi.

Aku berjanji aku harus bisa membuktikan padanya kalau aku bisa menjadi orang sukses walaupun tanpa disaksikan secara langsung oleh kakakku. Aku percaya kakakku akan selalu bisa melihat dari surganya akan setiap perjalananku nantinya. Aku harus menjadi anak kebanggaan keluarga seperti yang dicita-citakan kakakku. Aku tidak akan mengecewakan kakakku. Aku harus bisa menjadi orang yang berhasil seperti yang dibanggakan kakakku. Kakakku, aku nobatkan engkau menjadi mascotpengobar semangatku untuk terus belajar sampai kapanpun. Dan One moment in Time akan terus menjadi lagu wajibku yang akan terus aku nyanyikan dalam hatiku kapanpun aku ingin mengenangmu. Engkau adalah pahlawan pendidikan keluargaku!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Selalu ada hal yang tidak terduga di cerita ini...semoga mba Ratni husnul khotimah

22 Sep
Balas

Iya Bu. Amiin

23 Sep

Semoga husnul khotimah. Dan....Suryo wajib meneruskan cita-cita sang "Pahlawan Pendidikan Kelurga". Suryo harus berhasil. Salam sehat dan sukses selalu. Barakallah...pak guru.

22 Sep
Balas

Mudah-mudahan amiin. Terimakasih Bu

23 Sep

Innalillahi....semoga sang kakak khusnul khatimah. ....

22 Sep
Balas

Amiin Ibu.

23 Sep



search

New Post