Siapa yang menjamin jika pendidik yang sudah bersertifikasi memiliki kecerdasan dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada para peserta didik? Tidak terhitung jumlah pendidik di luar sana yang meski masih berstatus honor, tetapi memilki kecerdasan melebihi pendidik yang sudah bersertifikat. Lantas, apakah sertifikat itu bisa dijadikan sebagai tolak ukur bahwa pendidik itu cerdas?

Siapa yang menjamin bahwa tunjangan sertifikasi yang diberikan kepada pendidik adalah salah satu bentuk penghargaan? Penghargaan dalam hal apa? Penghargaan karena pendidik itu telah lama mengabdikan diri sebagai pendidik? Buktinya, tidak sedikit yang hanya beberapa tahun saja bergelut di dunia sekolahan tetapi sudah terjaring dalam diklat sertifikasi.

Siapa yang menjamin bahwa tunjangan sertifikasi yang di diperoleh mampu memberikan kesejahteraan bagi pendidik? Sejahtera dalam bentuk seperti apa? Dalam hal bagaimana? Buktinya, tidak sedikit pendidik yang hutangnya semakin menumpuk di Bank karena alasan tergoda untuk memiliki barang barang mewah.

Kebijakan tentang cara mendapatkan tunjangan sertifikasi yang tidak konsisten seperti sebuah standar ganda bagi pendidik. Serentetan syarat yang seperti sudah menjadi fardhu a’in, mulai dari jumlah minimal 24 jam tatap muka hingga kuantitas kehadiran, cukup sulit direalisasikan

Sertifikasi hanya memberikan rasa sensi bagi pendidik yang memiliki prestasi sejati, bagi pendidik yang benar benar mengabdi untuk negeri, bagi pendidik yang sedikit sekali berharap pada materi.

Sertifikasi hanya menyisakan kecemburuan sosial bagi pendidik yang benar benar menggunakan akal, bagi pendidik yang hanya memiliki niat beramal dan bagi pendidik yang tak gusar walaupun tak dibayar mahal.