“Cintai apa yang kau miliki, miliki apa yang kau cintai”. Aku yakin itu hanya sekedar kutipan belaka dan tidak memiliki kekuatan apa apa. Kutipan itu aku curi dari seorang perempuan yang telah menorehkan belati di hatiku. Sehingga semakin menganga lukanya.

Siapa dia hingga hingga sangat lancang membuat lobang di biduk ku? Kenapa dia hendak membuat lobang di biduk ku? Untuk apa?. Apakah karena kutipan yang telah aku curi? Kini biduk ku penuh dengan lobang lobang kecil. Lobang itu memang kecil, tapi cukup untuk menenggelamkan biduk ku hingga ke samudra terdalam.

Belum hilang penatku tergopoh menyamarkan goresan kemarin. Tak sempat pun aku menata hati yang berantakan. Cukup segar masih di ingatanku bayangan buruk itu, kini aku harus mencabut belati tajam yang baru saja menancap di ulu hati. Aku mengata ngatai diri sediri “kau jelek, bodoh dan tak punya apa apa, pantas lah kau menerimanya”, sesekali aku mencoba membela diri sendiri “aku memang jelek, bodoh dan miskin tapi setidaknya aku tidak pernah memiliki niat menjadi tentara iblis untuk menghancurkan biduk orang lain”.

Terngiang aku pada kutipan yang telah aku curi. Bergumam aku “apakah itu kutipan atau ‘mantra’? jika itu hanya kutipan biasa tak mungkin lah mampu menjadikan dia tidak ‘berkualitas’, tapi kalau itu ‘mantra’ pantas lah kualitas dia seperti itu”.

Tak guna bergumam, biduk ku kini penuh dengan air yang hanya menunggu waktu untuk tenggelam. Tak guna menggerutu, pun luka semakin memerah karena belahan jiwa telah meninggalkan belati yang masih tertancap pada setengah belahan jiwanya. Tak menyerah ku menitip asa pada hujan di gurun dan pada mendung di tengah terik.