Asep Saefur

Menulis adalah berkomunikasi dengan rasa. Menulis adalah ungkapan rasa tak bertepi. Tak ada batas ruang. Tak ada batas waktu. Menulis adalah berkomunikasi a...

Selengkapnya
Navigasi Web

"Sekolah Itu Gak Penting," kata Wak Haji

Di kampungku ada keluarga pedagang kaya raya untuk ukuran kota kecil di ujung kabupaten ini. Sebut saja namanya Wak Haji. Anaknya ada enam, dua perempuan dan empat laki-laki. Dari keenam putranya ini tak satupun bersekolah tinggi. Lulus SMP langsung masuk persantren, kemudian menikah dan atau buka toko di pasar. Untuk apa pendidikan tinggi, yang penting bisa berdagang dan taat beribadah. Buat apa sekolah lama-lama, buang-buang waktu dan biaya saja. Di sekolah itu pergaulannya tidak bagus, banyak anak-anak nakal dan anak-anak manja. Seperti itulah kira-kira pandangan Wak Haji. Betapapun anak-anak Wak Haji pandai-pandai, saya tak berkehendak membujuk mereka ataupun orang tuanya agar anak-anak pandai ini melanjutkan pendidikannya setidaknya hingga SMA ataupun SMK, apalagi hingga perguruan tinggi. Saya tidak ingin berdebat untuk itu. Ada hal menggelitik pikiran saya, seberapa pentingkah sebenarnya sekolah bagi mereka? Betapa banyak pedagang di pasar yang sukses, dan mereka meraih kesuksesan itu tanpa bersekokah. Tidak ada korelasi yang dirasakan dan terlihat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kesuksesan mereka di pasar. Jika demikian adanya lalu sejauh mana sekolah mampu mengakomodir kepentinggan masyarakat? Apakah benar pandangan Wak Haji bahwa sekolah hanya buang-buang waktu dan biaya? Bukankah untuk menjadi pedagang itu yang penting mempunyai modal dan pengalaman bukan pendidikan? Mata pelajaran di sekolah, materi pelajaran, metode pembelajaran, sistem evaluasi dan sejumlah perangkat dan pengkondisian lainnya, apakah berpihak pada kepentingan masyarakat atau sebatas kehendak pemerintah? Sejujurnya saya tak mampu menjawab semua itu. Saya hanya mampu memafhumi pandangan dan tindakkan Wak Haji. Berapa banyak pihak yang menyuarakan bahwa muatan kurikulum di Indonesia teramat gemuk. Namun di pihak lain, munculnya kurikulum 2013 ternyata malah kian mempergemuk kurikulum yang ada. Lalu apa yang salah dari kurikulum Indonesia? Saya tak berkehendak memikirkan itu. Sebagai guru tugas saya hanyalah menunaikan amanat kurikulum. Namun terkadang terpikir dalam benak saya, apakah "pemaksaan" atas materi pelajaran yang saya ampu ini memiliki nilai guna bagi anak yang "terpaksa" harus menelan bulat-bulat materi itu di kemudian hari? Sebagai guru saya memang dituntut untuk mampu menunjukkan kemanfaatan itu kepada siswa. Namun dibalik semua itu apa yang menjadi sikap dan tindak Wak Haji betapapun menyadarkan saya, bahwa sebermanfaat dan sepenting apapun pelajaran dan materi pembelajaran yang saya sampaikan tidaklah harus sama dipandangan anak dan masyarakat. Entahlah secara fakta lapangan. Sebuah pandangan mengatakan "sebagian besar yang saya pelajari di sekolah saya lupa, dan dari sedikit yang saya ingat sebagain besar ternyata tidak pernah saya pakai." Diakhir renungan saya tentang Wak Haji dengan segala pemahamannya, saya berkata pada diri saya. "Boleh jadi mata pelajaran yang saya ampu tidak akan berguna bagi anak-anak di kemudian hari. Akan tetapi dengan materi pelajaran inilah saya bisa mengasah anak-anak bagaimana cara menemukan fakta, mengolah dan menganalisa data, membuat kesimpulan, hingga bagaimana menyajikan dan mengomunikasikan materi pelajaran baik tertulis maupun lisan. Saya percaya dan yakin bahwa keterampikan (softskill) semacam ini pasti akan berguna, terlepas akan menjadi apapun mereka nanti. Saya tidak peduli lagi apakah anak-anak benar-benar menguasai materi pelajaran yang saya sajikan atau tidak, saya hanya peduli apakah anak-anak belajar dengan baik atau tidak. Itulah sebabnya ulangan bagi saya bukanlah sebatas alat untuk menentukan kelulusan atau nilai rapor. Ulangan hanyalah alat evaluasi atas seperangkat pembelajaran. Ulangan hanyalah alat untuk mendeteksi apakah anak belajar dengan baik atau tidak. Ulangan itu alat bukan tujuan, dan karenanya penentuan angka rapor tak harus semata dari ulangan, tetapi dari berbagai pertimbangan yang bisa dipertanggungjawabkan. Nilai ulangan anak buruk itu bukan masalah, tetapi anak tidak belajar dengan baik baru itu masalah. Mengajar bukanlah semata menyajikan ilmu, mengajar adalah menanamkam sikap dan karakter, bagaimana bertutur kata, bagaimana bersolek dan berpenampilan, dan bagaimana menjalin hubungam sosial yang indah. Membangun karakter pembelajar itu jauh lebih penting dari pada materi belajarnya itu sendiri. Entahlah, apakah pandangan dan sikap saya ini benar atau tidak. Namun setidaknya inilah jawaban saya atas sikap dan pandangan Wak Haji.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

untuk wak haji, ukuran kesuksesannya bukan lulus UN tapi lulus kehidupan dan bisa meneruskan bisnis keluarga, hehehe ....

11 Mar
Balas



search

New Post