(Hari ke-11) 

Kesedihan kembali menerpa saya. Hari ini saya harus menyampaikan keputusan sekolah kepada orang tua peserta didik. Keputusan yang tidak populer, yaitu mengembalikan peserta didik kepada orang tuanya. Ringkasnya, dipindahkan ke sekolah lain. Istilah kasarnya " dikeluarkan".

Betapa tidak? Sambil terisak, ibu dari peserta didik tersebut memohon agar putusan itu ditinjau ulang.  Ada kegamangan yang menggelayut di dada. Saya paham kondisi orang tua dan anaknya. Tidak mudah membesarkan seorang anak remaja di abad modern ini. Apalagi sang ibu single parents. 

Saya bisa merasakan bagaimana kesedihan sang ibu. Sulit rasanya memenuhi keinginan orang tua agar anaknya tetap bersekolah di mana saya bertugas. Pelanggaran demi pelanggaran sudah dilakoni anaknya sejak masih di kelas XI. Entah sudah berapa lembar kertas perjanjian untuk tidak mengulangi perbuatan yang melanggar tata tertib sekolah ditandatangani oleh orang tuanya. 

Prosedur penanganan dari sekolah sudah sesuai dengan aturan yang dirujuk. Treatment dengan pendekatan yang soft pun sudah dilakukan berulang kali. Tidak juga membuat peserta didik tersebut meninggalkan  kebiasaannya. 

Yang sangat memberatkan peserta didik adalah ketidakhadiran dalam proses pembelajaran. Berbulan-bulan tidak hadir di kelas. Berkali-kali tidak menyetor tugas. 

"Maafkan saya, Bu," kata saya. Ibunya hanya terdiam. 

"Ini bagian dari pembelajaran bagi anak ibu, bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya".

"Insya Allah di sekolah baru, anak ibu bisa berubah lebih baik". Saya menguatkan hati orang tua dengan wajah sedih. Terlihat air bening tertahan di pelupuk matanya. 

Mantikulore, 8 Januari 2021