Bernardus Ari Kuncoro

Pendidik Data Science dan Musisi....

Selengkapnya
Navigasi Web

Catatan Perjalanan dari Jakarta ke Dhaka

#TagurKe-11

Oleh: Bernardus Ari Kuncoro

Pada 14 Maret 2010, saya, seorang pemuda belum genap 22 tahun untuk pertama kalinya keluar Indonesia. Seorang diri pula. Entah mengapa, Bangladesh menjadi negara pertama yang 'beruntung' saya kunjungi. Walaupun secara teknis, nggak juga, karena Singapura menjadi tempat transit saya dalam perjalanan ini.

Koper medium ukuran 25 inchi dan satu tas punggung laptop menemani saya terbang menempuh rute Cengkareng-Changi-Dhaka. Karena ini pengalaman pertama keluar negeri, prosedur keimigrasian dan tetek bengeknya, saya tidak paham. Untunglah, saya dapat membaca, berbicara, dan mendengarkan dalam bahasa Inggris. Lumayan lah skill-nya. Tapi jujur, saya berikan apresiasi setinggi-tingginya untuk para guru. Terutama guru bahasa Inggris!

Well, dari kamar kos sampai Bandara Cengkareng, saya naik Taksi Blue Bird. Belum ada taksi daring kala itu. Wong jowo supire, dab. Asal Gunung Kidul! Tetangga dekat lah, sama kampung saya di Bantul. Tempat saya menimba ilmu di bangku SMP. Beliau menemani saya ngobrol selama perjalanan dari Mampang ke Cengkareng. Di situ beliau bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Hikmah dan petuah orang tua ke anak muda.

Saat itu banyak sekali orang yang berpakaian putih yang akan berangkat Haji atau Umroh. Mereka berombongan. Antre untuk pengecekan visa. Lumayan panjang, memakan waktu sekitar 20 menit. Bayar fiskal saya lakukan dan pastinya hal ini tidak pernah Anda alami lagi, karena di Cengkareng sudah dibebaskan. Untuk melakukan pembayaran fiskal. Anda harus berjalan sedikit ke arah loket pajak. Butuh fotokopi NPWP dan atau kartu keluarga untuk mendapatkan cap tersebut.

Ketika masuk ke ruang tunggu, saya harus mengalami pengecekan lagi. Lagi-lagi mengantre. Di situ, saya nggak boleh bawa botol minum. Tiba-tiba saya gelisah. Botol-botol aerosol macam parfum, Yakult untuk penenang perut, shampo, dll., ada di tas kabin. Was-was bakal sampai atau tidak di Bangladesh. Maklum ya, ini pertama kali.

Di ruang tunggu saya juga menemui rombongan lagi. Beda dengan rombongan sebelumnya, mereka berpakaian seragam kaos berkerah warna merah. Kalau tadi senior-senior, mereka ini masih junior. Lebih muda dari saya. Seumuran anak-anak SMA. Hanya saja badan mereka besar-besar. Ah, bule Amerika ternyata. Terdengar dari aksen bahasa Inggris ketika bercakap-cakap. Mereka juga naik satu pesawat dengan saya ke Singapura. Maskapai penerbangan Singapore Airlines! Sebuah maskapai yang tidak diragukan lagi pelayanan dan kualitasnya.

Ini kali pertama saya merasakan pesawat yang besar. Satu baris ada sembilan kursi berpola 3-3-3. Jadi ada dua lintasan jalan khusus. Usut punya usut, pesawat yang saya tumpangi adalah tipe Boeing 777. Terus terang, lebih bagus dari Garuda Indonesia yang pernah saya tumpangi selama penerbangan domestik. Tempat duduknya lebih lebar dan leluasa.

Hampir dua jam perjalanan berlalu. Kala itu saya memilih daging domba untuk menu makan siang. Saya tidak duduk di samping jendela, karena sudah habis ketika check-in. Di samping saya ada kawan dari Mumbai, yang bekerja untuk Ericsson, menangani project XL. Tak sempat bertanya tentang tentang email. Oiya, Instagram belum ngehip kala itu. Baru ngehip Friendster dan Facebook.

Sampai di Bandara Changi, saya merasa seperti masuk Mall Grand Indonesia tapi lebih lebih luas. Sepatu Puma saya pun dimanjakan oleh empuknya karpet. Di sudut sana ada water tap untuk minum, penukaran uang, free hotspot internet, toko oleh-oleh, toko elektronik, taman bunga aggrek asli, dan kolam renang. Macam-macam hiburan lain seperti bioskop dan pusat kesehatan juga tersedia. Soekarno Hatta Airport serasa terminal bus, kalau saya bandingkan dengan Changi.

"Mantap betul Bandara Changi Singapore ini!" gumamku.

Saya waktu itu menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk jalan-jalan di dalam Changi.

Selanjutnya, keberangkatan ke Dhaka jam 20.35. Aura-aura orang India sudah terasa di ruang tunggu. Ada ibu-ibu yang memakai sari, bapak-bapak berkumis tebal dan berkulit hitam macam Inspektur Sukram di film-film Bollywood.

BERSAMBUNG

Kalideres, 11 Agustus 2020

Karya ini ditulis ulang bersumber dari salah satu catatan harian saya. Kala itu sempat saya masukkan ke dalam blog yang sudah kadaluarsa, karena lupa bayar hosting dan domain. Saking sibuknya. Semoga menghibur.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap...lanjutkan...

11 Aug
Balas

Terima kasih Mas. Baik...

12 Aug

Keren Pak Ari. Pasti seru kelanjutan ceritanya nih... Salam literasi, sukses selalu.

11 Aug
Balas

Terima kasih Pak Edi. Sukses juga Pak. Salam literasi.

12 Aug



search

New Post