MENJADI GURU BAHAGIA
Seorang peneliti Selandia Baru, Richard Kammann berpendapat bahwa situasi kehidupan obyektif hampir tidak punya peran penting dalam teori kebahagiaan. Pendapatan tinggi, rumah yang bagus, pekerjaan yang bagus, dan pertambahan kekayaan belum tentu meningkatkan kebahagiaan seseorang. Peningakatan penghasilan guru melalui program sertifikasi belum tentu meningkatkan kebahagiaan hidup mereka. Mengapa pertambahan kekayaan tidak meningkatkan kebahagiaan mereka?
Ada tiga teori yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, adalah teori revolution of rising demands. Teori ini menjelaskan bahwa ketika seseorang memperoleh tambahan penghasilan, dia juga menaikkan keinginan dan tuntutannya. Peningkatan penghasilan meningkatkan ekspektasi. Ketika penghasilan seorang guru masih berkisar dua juta, dia tidak memiliki harapan untuk mencicil mobil dan rumah baru yang lebih besar. Setelah guru menerima sertifikasi dan pengahasilan bertambah dua kali lipat, mereka mulai meningkatkan harapan untuk memiliki mobil dan rumah.
Para guru membeli atau kredit mobil baru dan mulai membangun rumah baru. Penghasilan perbulan akhirnya terkurangi untuk mencicil mobil dan merenovasi rumah. Akhirnya, mereka merasakan pertambahan penghasilan tetap saja tidak mampu menutup kebutuhan harian mereka, sama seperti ketika gaji mereka masih berada di kisaran dua juta. Guru menjadi tidak puas dengan pengahsilannya. Guru tetap tidak bahagia.
Kedua, teori hedonic treadmill. Teori ini mengatakan bahwa jika standar hidup seseorang dinaikkan hingga tingkat tertentu maka dia akan merasa senang. Tetapi setelah itu dia menyesuaikan dirinya dan kembali tidak senang. Setelah memperoleh berkah sertifikasi, seorang guru membeli mobil baru. Begitu ia mendapatkan mobil baru, ia merasa senang. Kesenangannya tidak berlangsung lama. Mobil mobil baru setiap bulan berganti dengan model yang baru. Ia ingin membeli yang baru lagi, yang memiliki model lebih bagus. Demikian seterusnya, seperti orang yang terkena penyakit gudik. Gatal yang disebabkan oleh gudik enak digaruk, perasaan senang muncul ketika gatal itu digaruk. Namun garukan itu justru membuat kulit bertambah gatal, dan begitulah selanjutnya.
Ketiga, teori materialism. Materialisme merupakan kepercayaan tentang pentingnya kepemilikan dalam kehidupan seseorang yang ditandai dengan perolehan kekayaan sebagai kegiatan paling utama, perolehan kekayaan itu sangat berperan dalam menjaga stabilitas kebahagiannya, dan kepemilikan itu sangat menentukan makna sukses dalam hidupnya. Itulah materialisme.
Ada satu cerita ketika sebagian guru ada yang diputus tunjangan sertifikasinya karena tidak mampu memenuhi persyaratan. Mereka marah, tidak hanya kepada kepala sekolahnya karena tidak dipenuhi jam mengajarnya, tetapi juga kepada koleganya. Koleganya dianggap sebagai perebut jam mengajar yang seharusnya dia peroleh. Bahkan ada yang sedih, murung, kemudian stres sehingga harus menginap di rumah sakit jiwa. Kebahagiannya tercabut ketika tunjangan sertifikasinya tidak cair. Guru ini meletakkan kebahagiaan pada kepemilikan eksternal.
Tunjangan sertifikasi datang dari luar diri. Guru materialis bersandar pada kekayaan atau tunjangan sertifikasi untuk kebahagiaan mereka. Karena itu, kebahagiaannya sangat bergantung pada keadaan di luar kendali dirinya. Mereka menjadi sangat rentan. Setiap saat, tunjangan sertifikasi bisa tertunda atau dihapus karena negara bangkrut, misalnya. Karena sekarang pun sertifikasi dibayarkan dengan uang pinjaman.
Lalu bagaimana menjadi guru bahagia? Kita perlu belajar dari seorang ibu tua yang telah kehilangan suami dan anak-anaknya karena sebuah kecelakaan. Sekarang dia tidak memiliki siapa-siapa. Namun dalam kesindiriannya dia tetap menikmati hidup dengan tersenyum dan selalu menginspirasi warga sekelilingnya. Ketika ditanya, mengapa dia tetap bisa tersenyum padalah kisah hidupnya penuh derita. Dia menjawab, jika kita meletakkan kebahagian pada benda, maka benda-benda itu akan segera meninggalkan kita.
Kebahagiaan ditentukan oleh perasaan ketersambungan dengan tujuan hidup, dengan masyarakat, dengan hal-hal spiritual, dengan apa saja yang bermakna. Kebahagiaan berada dalam lingkaran rasa syukur, sabar, kejujuran, dan kebajikan-kebajikan yang kita tebarkan. Seberapapun yang kita terima dan kita miliki akan membuat bahagia jika ada rasa syukur dan sabar dalam menyikapinya. Di sanalah behagia bersemayam.
Mengapa guru harus bahagia ? Beberapa penelitian menunjukkan bahwa guru yang bahagia cenderung berfikir fleksibel,inklusif, kreatif, dan reseptif. Guru bahagia lebih riang dalam penampilannya, bersikap terbuka, bersedia menerima kritik,dan memiliki sense of humor yang baik. Ruang kelas menjadi lebih riang, fun, dan para siswanya akan mudah mengerti, mudah memahami materi pembelajaran, dan lebih kreatif.
Para guru humoris yang membuat suasana belajar ceria adalah guru-guru yang paling berhasil mencerdaskan murid-muridnya. Oleh karena itu, ada atau tidak ada sertifikasi, guru harus tetap bahagia. Bahagia itu menyehatkan. Marilah menjadi guru bahagia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar