KUSENTUH HATIMU
Lanjutan
Awal Pertemuan
Libur telah usai. Kami telah kembali ke rumah mungil di perantauan ini, setelah melepas rindu dengan orang tua di Jakarta. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan, harus kutepis melihat rumah yang juga minta dibersihkan setelah lama ditinggali.
“Semangat, Melati Putihku!” batinku. Berusaha menyebarkan suntikan motivasi ke tubuh lelahku.
“Ayo Caca bunda yang pintar, pindahin bajunya ke lemari lagi ya, yang kotor masukkan ke ember! Abang Gege, ambil ember untuk ngepel ya, Nak. Adek Ayi main di kamar sama ayah ya, sambil boboan!” aku memberi komando. Aku sendiri bergegas menyiapkan sarapan sambil menata belanjaan bahan makanan mentah ke dalam lemari pendingin. Bekal seminggu. Ya, beginilah aku. Meski aku bekerja, peranku sebagai istri dan ibu anak-anak, tak akan kuabaikan begitu saja. Mereka adalah penyemangat hidup. Hari minggu ini berlalu dengan cepat. Kesibukkan yang melelahkan dan menyita waktu.
Ini kali pertama aku mengikuti upacara dan Senin pertama serta hari pertama aku akan berhadapan dengan siswa-siswa baru. Upacara yang tidak hikmat. Sejak upacara dimulai hingga upacara selesai, suara riuh selalu terdengar. Sesekali kudengar suara guru yang menghardik, memperingati siswa agar diam dan tenang. Masya Allah, sangat jauh berbeda dengan sekolah lamaku di pelosok desa sana. Aku pikir sekolah kota jauh lebih baik pelaksanaan upacaranya. Satu-satunya hal yang bisa menghiburku saat itu hanyalah melihat siswa yang bermain orgen untuk mengiringi paduan suara. Siswa-siswa di desa, baru pandai memainkan recorder (suling) untuk mengiringi saat mengheningkan cipta.
Selesai upacara bergegas kuhampiri siswa yang bermain orgen tadi.
“Selamat ya, Nak. Kamu hebat bermain orgennya. Siapa yang mengajari?”
“Ibu Mira, Bu.” Ia tersenyum menjawab pertanyaanku. Tampak senang mendengar pujianku tadi.
“Ibu, guru baru ya?” tanyanya ragu.
“Iya. Ibu guru baru di sekolah ini. Nama ibu, Melati.” Aku tersenyum dan menyodorkan tanganku.
“Andri, Bu.” Siswa berpenampilan bersih itu memperkenalkan diri dan menyambut jabatan tanganku. Kutepuk bahunya sambil berlalu menghampiri siswa lainnya. Kali ini siswa pembaca teks Undang Undang Dasar 1945. Aku tak perduli tatapan rekan-rekan guru yang melihatku dengan heran dan penuh selidik. Aku tak bisa menunda keinginanku untuk menyapa para petugas upacara hari ini.
“Hei, Nak..kamu yang baca undang-undang tadi?” tanyaku sedikit berteriak melawan riuhnya peserta upacara yang bubar.
“Iya, Bu.” Ia menjawab pelahan sambil menunduk. Wajahnya pucat. Mungkin masih teringat sorakan siswa lain saat ia melakukan banyak kesalahan tadi.
“Tidak apa-apa, Nak.. Kamu tak perlu malu, karena kamu sudah berani tampil. Sedangkan mereka yang menyorakimu, belum tentu punya keberanian sepertimu.”
“Saya grogi, Bu.” Ia masih menunduk malu.
“Ibu mau tanya, apa sebelumnya kamu berlatih membacanya?” tanyaku sambil menariknya ke pinggir lapangan.
“Nggak, Bu. Kan tinggal baca aja.” Sahutnya membela diri.
“Itu yang menyebabkan kamu grogi, Nak. Kamu tidak siap dan tidak menguasai teks yang akan kamu baca. Padahal keberanian yang sudah kamu miliki, jika diiringi dengan latihan membacakan teks, pasti hasilnya jauh lebih baik. Kamu akan punya rasa percaya diri yang lebih dibandingkan jika kamu tidak berlatih.” Jelasku meyakinkannya.
“Apa iya, Bu?” tanyanya ragu sambil menatapku. Aku mengangguk dan mempererat genggaman tanganku.
“Kamu, Arin, harus melakukan apa yang ibu katakan, baru kamu bisa membuktikan kebenaran omongan ibu. Oke!”
“Hehe..iya, Bu.” Arin menjawab dengan tidak lagi menundukkan kepalanya.
Aku berlalu dari kerumunan siswa-siswa. Kusempatkan memberi selamat kepada pemimpin upacara, petugas bendera dan pemimpin paduan suara. Aku berbisik di telinga pemimpin paduan suara yang sedari tadi menatapku.
“Kamu harus ikut bernyanyi, agar gerakan tanganmu sesuai dengan suaramu, dan teman-temanmu pasti akan mengikutimu.” Dari ekor mataku, aku tahu ia masih menatapku yang terus berlalu memasuki ruang guru. Hatiku tersenyum. Melihat Melati Putihku untuk pertama kalinya bercakap-cakap dengan siswa-siswa di sekolah barunya. Sekolah kota yang didominasi oleh penduduk asli setempat.
Ruang guru tampak riuh dan penuh. Ruang yang berukuran tidak terlalu luas itu dipenuhi dengan hampir seluruh dewan guru. Hari pertama sekolah. Jadwal mengajar yang belum selesai membuat kami hadir pada hari pertama itu. mungkin rindu juga, setelah lama libur dan lama tidak berjumpa. Beberapa guru sibuk membagi-bagikan oleh-oleh yang dibawa teman dari berlibur ke kampung halamannya ataupun tempat berlibur lainnya. Canda tawa tampak menghiasi suasana pagi ini. Hingga wakil kepala sekolah bidang kurikulum memberikan pengumuman.
“Bapak Ibu, maaf jadwal belum sempurna selesai. Tiga hari ini, Bapak ibu wali kelas delapan dan sembilan, silahkan persiapkan kelasnya, berkenalan, bentuk pengurus kelas dan sebagainya. Kelas tujuh selama tiga hari ini akan melaksanakan MOS, Bapak Ibu yang ditunjuk untuk memberikan materi MOS di kelas tujuh, silahkan melihat jadwal. Jadwal mengajar akan disampaikan Rabu mendatang. Demikian yang bisa saya sampaikan, terima kasih.” Pak Purba waka kurikulum ini, masih terbilang muda. Meski bersuku Jawa, ia lahir dan besar di tanah Lampung. Belakangan aku melihat keunikan lain yang dimiliki Pak Purba. Ia rajin berjualan penganan kecil. Kali ini ia membawa mpek-mpek buatan istrinya yang asli orang Palembang. Ya, unik menurutku. Baru kali ini aku melihat guru yang berjualan makanan kecil ke sekolah. Apalagi guru itu laki-laki.
Bismillahirrahmanirrahim… aku melangkah menuju kelasku setelah bertanya pada Pak Purba letak kelas IX-E. Aku tahu, jantungku berdebar sangat keras. Hatiku ngilu teringat cerita rekan-rekan guru tentang bagaimana kelas VII-E, VIII-E yang sekarang menjadi anak-anakku, kelas IX-E.
“Melati Putihku, mereka adalah anak-anakmu, dan kamu guru. Orang tua mereka di sekolah. Tenangkan hatimu. Percayalah, semua akan baik-baik saja.” Kuresapi suara batin ini seraya menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Assalammualaikum.” Kumasuki kelas IX-E. Hanya beberapa siswa yang ada di dalam kelas. Tak ada satupun yang menjawab salamku. Menoleh pun tidak. Kuulang salamku dengan suara yang lebih keras.
“Assalammuaalaikum, Cantik…Ganteng…”
“Waalaikumsalam.” Dua orang siswa menoleh dan menjawab salamku, namun tak bergeming dari tempatnya, dan tetap asyik mengunyah makanan.
“Boleh ibu masuk?” aku melangkah tanpa menunggu jawaban dari mereka. Itu hanya caraku untuk membuat mereka bergerak dari duduk yang bergerombol. Meski terlihat malas, pelahan mereka memperbaiki duduk dan menatapku.
“Mana yang lain?”
“Masih liburan, Bu!”
“Jajan, Bu!”
“Di luar, Bu!”
“Baik, kamu, siapa namamu?” kuhampiri dua orang siswa laki-laki.
“Andi.”
“Kamu?”
“Rio”
“Baik, Andi..Rio, bantu ibu panggil teman-temanmu ya!”
“Males ah, Bu!” Rio menolak cepat. Sungguh aku terkejut mendengar penolakannya. Selama jadi guru, baru saat ini ada siswa menolak permintaanku. Hatiku sedikit bergetar, tapi berusaha tetap tenang.
“Malas? Rio gak mau bantu ibu? Baiklah. Ada yang bisa bantu ibu dan Andi?”
“Saya, Bu.”
“Siapa namamu?”
“Tia, Bu.”
“Baik, Tia..Andi..tolong panggilkan teman-temanmu ya!”
Tak lama Tia dan Andi kembali ke kelas diikuti oleh beberapa siswa. Mereka masuk tanpa melihat ke arahku, tanpa mengucap salam dan mencium tanganku. Wow..! Setelah mereka duduk, Satu persatu kuhampiri mereka dan kuulurkan tanganku, sambil mengucap salam. Tak kupedulikan tatapan heran, tertawa, bahkan senyuman sinis mereka. Aku pun memulai perkenalan.
“Anak-anak, perkenalkan, nama ibu Melati Suciningrum.”
“Oo..kirain lidah buaya!” seorang siswa terdengar keras menimpali ucapanku. Sontak, seisi kelas tertawa riuh.
“Bukan lidah buaya, tapi eceng gondok! Ha ha ha…!” kelas semakin ramai dan riuh. Aku tetap tersenyum dan berusaha tenang.
“Wah..iya juga ya, sepertinya lebih tenar lidah buaya dan eceng gondok deh ketimbang melati. Sayangnya orang tua ibu lebih memilih nama melati. Tentu saja beliau punya alasan memberikan nama melati. Itulah doa orang tua. Beliau menginginkan agar anaknya ini memiliki hati yang suci dan bersih.”
“Ketinggian, Bu. Mana ada orang yang suci!”
“Benar Rio. Tak ada orang yang suci dan bersih. Setiap kita punya salah dan dosa. Itulah hebatnya doa orang tua. Kekuatan doa yang mengiringi sebuah nama, akan terwujut meskipun kecil.”
“Ibu lahir dan besar di Jakarta.”
“Jakarta yang sebelahnya kali cinta! Ha ha ha…” kembali terdengar suara celetuk. Kelas kembali riuh. Kali ini, aku menemukan asal suara itu.
“Siapa namamu?”
“Siapa aja boleh kok, Bu.” Ia menjawab sekenanya dan terlihat amat cuek.
“Baik, Kupluk. Kamu pernah ke Jakarta?” kelas kembali ramai oleh gelak tawa.
“Kok Kupluk sih, Bu? Nama saya Bayu!”
“O..maaf, Bayu, kamu pernah ke Jakarta?”
“Gak pernah, Bu.” Wajahnya masih terlihat kesal.
“Ow..pantas kamu tadi mengatakan Jakarta itu di sebelahnya Kali Cinta. Rupanya karena Bayu belum pernah ke Jakarta. Kapan-kapan ikut ibu ke Jakarta ya!”
“Ciyee..Bayu. Mau jalan-jalan ke Jakarta nih yee…”
“Hati-hati nyasar!”
“Bawain monas ya, Bay.”
“None Jakarta juga boleh.” Bayu yang digoda bukannya senang malah marah dan menunjukkan sikap mengancam. Wajahnya yang tadi terlihat pongah mengejek, kini tampak marah dan malu. Matanya melotot seakan ingin menerkam semua orang yang melihatnya, termasuk aku. Memang bukan tanpa sengaja kutimpali celetukan asalnya itu. agar ia tahu, perkenalan diriku bukan asal-asalan tetapi karena memang aku ingin siswa-siswa mengenal aku.
“Baik anak-anak, sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri. Sebutkan nama, tempat tinggal dan anak ke berapa dari berapa bersaudara!”
Kelas menjadi riuh. Ada yang tertawa-tawa saling mengejek, ada yang sibuk menghapalkan data dirinya, ada yang diam tak peduli, bahkan ada yang sibuk menghitung uang sakunya. Mungkin sudah lapar dan ingin pertemuan dengan wali kelas ini berakhir cepat. Aku tersenyum menatap wajah mereka. Sisi kepolosan remaja SMP pada umumnya, masih tergambar di sana.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di depan kelas. Tampak seorang guru marah-marah sambil menyeret seorang siswa masuk ke kelas dan mendorongnya dengan keras. Pak Heru. Ia terlihat begitu emosi. Kemarahan jelas terpancar di wajahnya.
“Masuk kamu! Dasar gak tahu diuntung kamu itu. gak dengar bel apa kamu itu, hahh! Asal kamu tahu ya, kamu itu naik kelas dibantu! Kalau bukan karena guru kamu ini, gak akan kamu naik kelas. Sadar gak kamu itu!” teriaknya seraya menunjuk dada.
“Ini Bu Melati. Anak ini ngumpet di musholla. Dia merokok di balik mimbar!”
“Astaghfirullah al azim…” ucapku pelahan dengan hati yang gemetar.
“Entah mau jadi apa anak ini. Benar-benar gak tahu diuntung!” Pak Heru terus menghardik. Anak itu hanya diam, meski terlihat penolakan dan amarah dari gerak tubuhnya yang kecil. Tak sedikit pun kulihat rasa gentar. Matanya nanar menatap penuh kebencian.
“Ayo duduk, Nak!” ujarku berupaya menghentikan kegaduhan itu.
“Terima kasih, Pak Heru. Mohon maaf, jika anak saya sudah membuat Bapak marah.” Aku menunduk dan memberi salam. Pak Heru kembali ke kantor.
“Baik, anak-anak, giliran siapa lagi? Kita lanjutkan perkenalannya ya.”
Seperti tak terjadi apa-apa. Kegiatan perkenalan terus berlanjut. Tak sekali pun kubahas peristiwa tadi. Bahkan terus kulanjutkan ke siswa berikutnya, saat terhenti pada siswa kecil berwajah keras tadi. Ia menolak.
Perkenalan dilanjutkan dengan pembentukan pengurus kelas dan pembagian tugas piket. Andi terpilih sebagai ketua kelas dan Tia wakil ketua kelas. Arini sebagai sekretaris 1 yang kuminta bertanggungjawab untuk penulisan buku KBM, Johan sekretaris 2 bertanggungjawab terhadap penulisan buku absensi dan Mira sebagai bendahara bertanggungjawab untuk mengumpulkan dan menyimpan uang kas. Sementara untuk kelompok piket, ada siswa yang kutunjuk sebagai ketua dalam tiap kelompok piket. Tugasnya bertanggungjawab terhadap pembagian kerja sekaligus memberikan laporan mingguan untuk siswa yang tidak melaksanakan tugas piket.
Ku akhiri pertemuan hari itu dengan mengucap syukur dan salam. Sempat kulirik siswa kecil berwajah keras yang masih duduk diam di sudut kelas dengan amarahnya. Aku berpikir ini bukan saat yang tepat untuk berbincang dengannya. Berharap kelak amarahnya kan mereda. Makian Pak Heru tadi sudah merupakan hukuman yang menurutku sangat membuatnya malu di hadapan teman-temannya dan mungkin juga aku.
Aku bergegas menuju parkiran tempat si hitam bersemayam.
“Kita pulang, Hitam.” Hari ini cukup melegakan, karena persiapan sebagai wali kelas sudah kuselesaikan. Kubuka jendela mobil. Udara panas seketika menguap. Kubiarkan angin berhembus menyeruak masuk.
Hei! Sesosok bayangan di spion tampak berdiri menatapku. Sungguh mengejutkan. Aku segera turun.
“Asslammualaikum. Ada yang bisa ibu bantu, Nak? Sosok itu tetap diam tak bergeming. Kuulurkan tanganku.
“Ibu Melati.” Aku memperkenalkan diri. Ia melengos tak menyambut tanganku.
“Siapa namamu?” tanyaku lagi.
“Untuk apa Ibu tahu nama saya? Biar Ibu bisa ikut menceritakan aku pada semua guru?” ia menyahut ketus.
“Tidak. Ibu wali kelasmu. Itu sebabnya kamu harus mengenal nama ibu, dan sebaliknya ibu mengenal namamu. Bukan hanya kamu yang ibu minta memperkenalkan diri tadi, kamu tahu itu. Semua siswa di kelas IX-E harus ibu kenal.”
“Halahh, gak urusan ibu!” ia berlalu menjauhiku. Aku tersenyum menatapnya. Jika ini kau anggap bukan urusan ibu, lalu mengapa kamu menghampiri Ibu? Apa yang ingin kau katakan, Tegar Ramadhan? Namamu sudah tercatat di hati ibu. Meski perkenalan kita tak seindah siswa-siswa yang lain.
Bersambung
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Awal pertemuan tak menyenangkan dan perkenalan yang ketus dari si anak murid. Keren ceritanya. Ditunggu lanjutannya
Siap.. terima kasih
saya pecinta cerpen, selalu menunggu cerita2 lainnya. salam literasi.
Terima kasih.. Dalam literasi.. Salam kenal ..
Itulah guru 1000 murid 1000 karakter yg hrus dikuasai ..mantap bu ,cara dan pola pendekatan .
Terima kasih