Ardhiana Amran

Ardhiana Amran lahir di Jakarta, 1 Maret 1971. Alumni IKIP Padang (sekarang UNP) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru di SMP Negeri 3 Kotab...

Selengkapnya
Navigasi Web
KUSENTUH HATIMU

KUSENTUH HATIMU

Lanjutan...

Aku Menyayangimu, Ibu

Hari ini ada yang berbeda dengan sekolahku. Sebuah perayaan Hari Guru Nasional, dikemas dengan penampilan guru-guru sebagai petugas upacara. Seminggu kemarin rekan-rekanku sibuk berlatih. Aku senang mengamati upaya mereka berlatih dengan sungguh-sungguh tanpa ragu dan malu. Sesekali terdengar gelak tawa. Tentu ada kelucuan yang terjadi. Menertawakan kesalahan diri sendiri. Bukan hal yang mudah melakukan sesuatu yang telah puluhan tahun dilupakan.

“Bu Lia, ayo fokus. Malu dengan siswa kalau kita salah. “ teriak Bu Rahma cemas.

“Iya, Bu..iya. maaf..maaf.. Pak Purba buat aku jadi gak fokus. Tadi ia jalan seperti robot.” Jelas Bu Lia menahan tawa.

“Udah udah, ayo kita latihan lagi! Fokus!” kali ini Bu Ina tampak bersemangat. Lagi-lagi aku tersenyum geli. Ingin sekali aku bergabung. Merasakan langsung semangat nasionalis yang terpancar di wajah para pendidik anak bangsa.

Tiba-tiba saja ide ini muncul. Menggoda hati dan pikiranku. Semangat membuncah tak sabar menanti. Mungkinkah? Mungkin! Mengapa tidak? Seketika kegirangan menyeruak indah. Setengah berlari kumasuki kelas IX-E.

“Anak-anak, apa kalian ingin memberikan sesuatu yang spesial buat guru-guru kalian?” tanyaku tak sabar. Bukannya menjawab, mereka malah menatapku bingung.

“Halooo..anak-anak ibu! Kalian mau tidak memberikan hadiah spesial buat bapak ibu guru?

“Mau, Bu.” Tia menjawab ragu.

“Baik, kuncinya adalah ‘mau’ tolong tunjuk tangan dulu, siapa yang mau?” Beberapa anak mulai mengangat tangannya.

“Masih ada? Yakin kalian tidak mau?”

“Saya, Bu.” Tegar mengangkat tangannya. Diikuti oleh Bayu, Rio, Andi, Dedi, Wulan, Rini, Anjani, dan Tira.

“Yup!” Aku bersorak.

“Baiklah. Pertama-tama, kalian harus menghapalkan lagu Guruku Tersayang, Jasamu Guru dan Terima Kasihku. Sekarang, aktifkan ponsel kalian. Ibu akan kirimkan video lagu-lagu tersebut.” Perintahku dengan cepat. Mereka tampak ragu dan saling berpandangan.

“Udah, gak perlu ragu. Ibu tahu kalian semua bawa ponsel android. Ini saatnya kalian menggunakan ponsel sebagai seorang pelajar!” tegasku. Senyum mereka tersipu malu. Bersegera kusimpan nomor dan kukirimkan video lagu-lagu tersebut. Beberapa siswa kelas lain mengintip kesibukan kami. Kuhampiri mereka.

“Kalian mau ikut memberikan hadiah spesial buat guru-guru kalian? Jika mau, catat nama dan nomor ponsel kalian di kertas, serahkan ke ibu. Tanyakan juga dengan kelas IX-G dan IX-H. Ini rahasia. Jangan sampai ada satu guru pun yang tahu. Setuju?”

“Setujuuu!”

“Tugas kalian di rumah, hapalkan lagu-lagu tersebut. Pahami dan hayati syairnya. Minggu, jam 09.00 kita berkumpul di sekolah! Sekali lagi ingat, ini rahasia!”

“Iya, Bu. Siap.” Kali ini Rio menjawab dengan penuh semangat. Sesaat aku teringat perkataan sahabatku, Dr. Amanda. Ia mengatakan, jika kita memberi dengan hati, maka kita akan mendapatkan hati. Semoga kejutan spesial ini akan berjalan sesuai harapan. Akan kurancang dan kukemas dengan indah, persembahan untuk guru. Sebuah hadiah spesial dan istimewa.

Inilah saatnya. Hari yang berbeda. Semua rekan guru telah bersiap dengan tugasnya masing-masing. Aku berbisik pada pembawa acara agar memasukkan pembacaan puisi dariku setelah Kepala Sekolah memberikan amanat. Pembawa acara menyetujui. Wajahnya terlihat kaget.

“Uni yang baca? Wow…” Bu Bulan menatapku setengah tak percaya. Hanya ia yang memanggilku dengan panggilan asal daerah orang tuaku.

“Boleh donk, biar anak-anak jadi semangat melihat hari ini, semua gurunya punya peran dan tugas.” Kukedipkan mata menggoda Bu Bulan.

Upacara peringatan Hari Guru Nasional berjalan penuh hikmat. Kepala sekolah telah selesai menyampaikan amanatnya. Tibalah giliranku. Jantungku berdegup lebih kencang.

“Pembacaan puisi oleh Ibu Melati Suciningrum.” Aku maju, berusaha tenang. Meski detak jantung ini, tak bisa tenang, aku pasrah terhadap ketentuanNYA

UNTUK ANAK-ANAKKU

Ada selembar doa

pada titian langkah pagi buta, hingga senja dan setitik harapan

di atas bahtera penuh canda

Senyuman hangat mendekapmu

dalam asa dan cita kami yang kian renta

Bagai perisai dan payung kala badai menghantam

Mengulurkan hati di setiap tingkah dan lakumu

Kami pemilik senyum bersahaja

penghapus tangis kesedihan

dalam ragu langkahmu

Anakku…

Bangunlah impianmu,

Tegapkan langkahmu,

Kokohkan tekadmu, jangan ragu

Tak kan ada yang mengganggu.

Ketahuilah…

Tirani negeri dongeng

Melahirkan Cut Nyak Dien dengan hati bajanya,

Kartini dengan kelembutannya,

Ki Hajar Dewantara dengan keteladanannya,

Bung Hatta dengan keteguhannya..!

Dan bangsa inilah yang meretas jalan merdeka

pemilik akhir kisah bahagia

Nak…,

Asa yang mengembara

Tidak bisa berkuasa

Jika tanpa usaha.

Suasana di lapangan upacara begitu hening. Suaraku bergetar menahan rasa yang diwakili oleh kata demi kata dalam syair puisiku. Kudengar isak Bu Bulan yang berada di dekatku. Kuakhiri pembacaan puisi dengan sebuah kalimat.

“Bapak Ibu Guru, inilah suara hati anak-anak kita.” Secara serentak sekelompok siswa menyeruak dari barisan peserta upacara, seraya bernyanyi riang. Mengejutkan semua yang ada di lapangan itu. Suara mereka membahana memecah kesunyian.

“Pagiku cerahku

Matahari bersinar

Kugendong tas merahku di pundak Selamat pagi semua

Kunantikan dirimu

Di depan kelasmu

Menantikan kami Guruku tersayang

Guru tercinta

Tanpamu apa jadinya aku

Tak bisa baca tulis

Mengerti banyak hal

Guruku terimakasihku Nyatanya diriku

Kadang buatmu marah

Namun segala maaf Kau berikan.”

Beberapa guru tersenyum melihat kejutan ini. Tak mengira bahwa di antara barisan peserta upacara, ada siswa-siswa yang akan muncul berlari riang ke tengah lapangan membawakan persembahan spesial. Beberapa berulangkali menghapus air mata yang sudah tertahan sejak pembacaan puisi tadi. Siswa melanjutkan dengan lagu “Jasamu Guru”.

“Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa

Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa

Kita jadi pintar dibimbing pak guru

Kita bisa pandai dibimbing bu guru

Guru bak pelita penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara Kita jadi bisa menulis dan membaca karena siapa

Kita jadi tahu beraneka bidang ilmu dari siapa

Kita jadi pintar dibimbing pak guru

Kita bisa pandai dibimbing bu guru

Guru bak pelita penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara Guru bak pelita penerang dalam gulita

Jasamu tiada tara”

Kali ini hampir semua guru dan staf tata usaha menangis haru. Beberapa siswa pun turut menangis. Persembahan ini belum selesai. segerombolan siswa yang bernyanyi kini membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka melakukan gerakan-gerakan teaterikal berbagai kolase karakter guru dan siswa. Sementara itu dua orang siswa bersuara emas mengiringinya dengan lagu “Terima Kasihku”

“Terima kasihku ku ucapkan

Pada Guruku yang tulus

Ilmu yang berguna

Slalu dilimpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hariku dibimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kan ku ingat slalu nasihat guruku

Trima kasihku Guruku”

Sukses! Semua guru menangis haru. Terkesima dengan persembahan yang belum pernah mereka dapatkan selama ini. Diakhiri dengan manis lewat setangkai bunga untuk bapak ibu guru juga staf tata usaha. Upacara penuh suka cita tersebut ditutup dengan pembacaan doa.

Semua siswa berhamburan berebut menyalami kami. Ucapan terima kasih, permintaan maaf, mewarnai hari ini. Ada kelegaan yang tak terlukiskan bersemayam indah di hati kami masing-masing. Begitu dekatnya kami.

“Terima kasih ya, Bu Melati telah membuka hati kami. Teruslah menjadi guru yang menyayangi anak-anak.” Bu Ami menangis haru. Memelukku dengan erat. Aku tak mampu berkata. Hanya air mata yang terus bergulir tak henti mewakili. Hari ini kuterima banyak ucapan terima kasih dari rekan-rekanku.

Suasana akrab dan bahagia jelas terlihat di ruang guru ini. Sebuah tumpeng pemberian OSIS kami nikmati bersama.

“Bapak Ibu, berhubung gurunya ulang tahun, maka hari ini guru-guru libur mengajar.” Pak Purba menggoda jenaka, disambut oleh tepuk tangan dan sorakan para guru.

“Gajinya libur juga ya.” Lanjutnya lagi.

“Huuuu…!” seluruh guru menyambut kompak dengan teriakan dan gelak tawa. Sungguh pemandangan yang tak biasa. Semoga keharmonisan ini terus berlanjut.

Setelah puas melepas kebahagiaan, kami pun masuk ke kelas masing-masing. Tak ada siswa yang protes dengan keterlambatan kami. Mereka juga masih asyik membahas penampilan tak terduga tadi. Hebat! Siswa-siswa yang kulatih berhasil menjaga misi rahasia meski dengan teman terdekatnya.

Tiba di kelas IX-E aku terpaku heran. Pintu kelas tertutup rapat. Tak ada terdengar suara apapun di dalam. Ke mana mereka? Bahkan hordeng jendela pun tertutup. Pelahan kubuka pintu.

“Surprise…! Selamat hari guru, Bu Melati.” Teriak mereka mengejutkanku. Kertas warna-warni sengaja mereka taburkan, letusan balon menyemarakkan suasana, kelas yang gelap diwarnai cahaya lilin pada kue tart cantik bertabur coklat, menyambut kehadiranku.

“I love you, Ibu…!” dua orang siswa terlihat berdiri di atas meja. Senter ponsel menyoroti sudut kelas yang gelap. Tampak Bayu dan Rio. Membentangkan karton hitam bertuliskan ‘We love you, Ibu Melati’ dengan tinta emas. Serentak mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Suasana menjadi riuh. Aku sendiri tak mampu berkata-kata.

Kutiup lilin kue pemberian mereka. Buket bunga indah kucium harumnya. Wajahku berseri namun tak mampu sembunyikan buliran air bening di pelupuk mata.

“Ibu, ini dari kami. Anak-anak spesial Ibu. Dibaca ya, Bu.” Kali ini kulihat wajah Tegar yang sedari tadi kucari. Ia menyodorkan kertas-kertas origami bertuliskan surat cinta. Aku duduk dan mulai membacanya satu persatu. Air mataku telah memenuhi wajahku. Mereka pun menangis. Tak ada kebahagian lain bagi seorang ibu selain melihat anak-anaknya sukses. Bagiku kesuksesan seseorang adalah saat ia mampu melawan kekurangan yang ada pada dirinya. Perubahan itu kulihat dan sangat kurasakan pada siswa-siswa kelas IX-E yang kian hari menunjukkan perubahan positif.

Kubelai wajah mereka satu persatu, kuselipkan doa tulus untuk keberhasilan mereka.

“Terima kasih, Nak. Meski tanpa kue dan bunga cantik ini, Ibu sangat menyayangi kalian sepenuh hati. Teruslah tumbuh menjadi pribadi-pribadi cerdas yang tangguh dan tawakal. Teruslah saling berpegangan tangan untuk mencapai impian. Saling mengingatkan dan saling menguatkan.” Senyumku terisak oleh kebahagiaan penuh haru.

Hari yang tak akan kulupakan. Sebagai salah satu sisi perjalanan hidupku di rantau. Mengabdikan ilmu yang kuperoleh dari didikan orang tua dan guru-guruku. Kembali kusimak surat-surat cinta dari siswa-siswaku sebagai pengantar lelapku malam ini.

-ooOoo-

Selesai

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpennya bagus Bu..salam kenal dan salam literasi.

14 Jan
Balas

Terima kasih.. Salam kenal..dan salam literasi

14 Jan

Ku nanti ceritanya lgi sahabat

15 Jan
Balas

Ku nanti ceritanya lgi sahabat

15 Jan
Balas

Ku nanti ceritanya lgi sahabat

15 Jan
Balas



search

New Post