Jangan Berkeinginan Menjadi Guru!
Pertanyaan unik tiba-tiba saja tercipta dari pita suara salah seorang peserta didik menggemaskan yang saat itu duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI). Waktu istirahat tiba, ia menghampiri meja guru, menghampiriku, "Bu guru, cita-citanya pingin jadi apa?"
Sebenarnya pertanyaan gadis kecil ini memang sangat sederhana. Tapi sungguh, komponen cerebrum di kepala membutuhkan waktu untuk mencari jawabannya. Demi mengalihkan fokus pembicaraan, salah satu lobus pemikiran mengajukan ide untuk balik bertanya, "kalau adik, cita-citanya pingin jadi apa?" spontan bibir mungilnya membentuk seringai bulan sabit, "aku ingin jadi guru!"
Perbincangan pun mengalir begitu saja, beralih fokus. Topiknya tetap, namun objek pembicaraannya berganti. Tentang dia. Tentang cita-citanya yang terlukis mengangkasa. Juga tentang kecintaan pada matematika. "Cita-citaku ingin jadi guru matematika. Cita-cita bu guru apa?" Ah, ternyata pertanyaan itu kembali didengungkan juga.
Dengan sangat terpaksa, kali ini area broca dalam hemisfer kiri otakku memerintahkan pita suara untuk menjawab sekenanya, "cita-cita saya juga menjadi guru." Batinku menjelaskan jawaban, bergumam dari balik dinding sukma. Iya, itu dulu. Cita-cita yang tergenggam ketika aku tumbuh seusiamu dik.
¤¤¤
Jika cita-cita diniscayakan mewujud suatu profesi, aku tidak akan pernah bisa menjawabnya. Cita-citaku apa? Entahlah. Pada umumnya, seseorang disebut guru ketika bersedia membagikan ilmu. Jika demikian, semua makhluk Tuhan yang dalam al-Qur'an kerap disapa الإنسان (Manusia) adalah guru. Guru bagi sesama maupun guru bagi lintas generasinya.
Disadari atau tidak, hari-hari manusia tidak lepas dari aktivitas berbagi dan menggali ilmu. Gudang ilmu bukan hanya di sekolah dan perpustakaan bukan? Pada era teknologi yang sukses menciptakan dunia maya, ilmu tersebar ditiap destinasi ruang media sosial. Selain itu di dunia nyata, pasar adalah pusat ilmu bagi orang-orang yang ingin mendalami ekonomi. Jalanan dengan segala hiruk pikuk fenomena yang disajikan menjadi pusat ilmu bagi pemerintah, psikolog dan polisi. Hutan menjadi pusat ilmu bagi ahli botani dan zoologi. Bahkan senja menjadi guru bagi pujangga demi eksistensinya merakit puisi.
Hidup dan berkehidupan selalu menjadi proses belajar bagi siapapun yang bersedia merangkai hikmah. Suatu ketika, aku duduk di sebelah lelaki paruh baya yang kesehariannya sangat bersahaja. Darah kami sama-sama mengalir dari rahim mbah putri. Bedanya, lelaki bersahaja itu terlahir dari turunan pertama, sedangkan aku menjadi turunan kedua. Tidak berhubungan darah secara langsung.
Sebelum disematkan sebagai sarjana strata satu, aku ditanya, "Mariki kate nangdi nak?" (Setelah ini mau kemana?) Aku terdiam. "Sekolah maneh? Jupuk pendidikan?" (Melanjutkan S2? Ambil pendidikan?) Aku mengiyakan. Satu nasihat beliau yang hingga saat ini dalam membekas di dasar palung sanubari, "samean ojo nganti duwe kepinginan dadi guru" (Kamu jangan pernah punya keinginan menjadi guru). Aku tercengang dengan pernyataan tersebut. Namun lidahku tidak memiliki keberanian untuk sekedar bertanya mengapa?
Sekian sekon menjadi sunyi, rasa penasaranku akhirnya menemui muara jawaban. "Tetepo duwe kepinginan dadi santri sing manut guru" (Tetaplah memiliki keinginan menjadi santri yang taat guru). Beliau bercerita tentang drama sungguhan yang sempat tayang di TV. Tentang bendera tauhid. "Sak umur-umurku, nganti saiki aku ora tau ngerti Islam duwe bendero tauhid." (Sepanjang umurku, hingga saat ini aku tidak pernah tahu kalau Islam punya bendera tauhid).
Bagi lelaki bersahaja itu, sejatinya bendera hanya sebatas kain. Kain yang bertuliskan tauhid. Hanya kain! Sesungguhnya tauhid itu ada dimana? Hanya di bendera? Atau diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan kemudian diamalkan dengan perbuatan? Bendera tauhid dikibar-kibarkan teriak الله أكبر. Belum ada apa-apanya dibanding kiai yang biasanya shalat di langgar itu. Jangankan kain, bahkan kepalanya sendiri yang digunakan untuk mengibar-ngibarkan kalimat tauhid.
¤¤¤
Setelah itu, balutan rasa tenggelam dalam danau renungku sendiri. Setinggi apapun strata pendidikan yang ditempuh, tetap tidak bisa dijadikan batu loncatan untuk merasa gumede. Merasa benar sendiri. Bahkan atsar yang masyhur, Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa "aku adalah budak bagi seseorang yang mengajariku walaupun satu alif." Hal ini menjadi cermin ketawadhuan Ali bin Abi Thalib pada guru.
Cita-cita menjadi guru sesungguhnya telah terkikis kala diri diniscayakan mendampingi kelas bahasa arab dan al-Qur'an sewaktu nyantri di Singosari. Bait kesadaran mulai meresap, bahwa menjadi guru bukanlah cita-cita. Berbagi ilmu menjadi sebuah kewajiban karena zakatnya ilmu ialah diamalkan. Salah satunya dengan cara diajarkan. Nasihat untuk tetap berkeinginan menjadi santri yang manut guru mengingatkan memori pada poster yang terpajang pada sudut pesantren. Poster tersebut berisi kaligrafi dawuh yang pernah disampaikan Romo KH. Abdul Mannan Syukur teruntuk para santri,
كُنْ إِمَامًا مُطَاعًا، أَوْمَأْمُوْمًامُطِيْعًا
Dadio santri sing iso dianut. Utowo, dadio santri sing manut.
Jadilah santri (pemimpin) yang bisa ditaati. Kalau tidak, jadilah santri (makmum) yang taat.
Harapan untuk selalu dianggap santri oleh Romo Kiai kiranya selalu singgah dalam hati. Bagi setiap santri. Ketaan adalah soal hati yang prosesnya membutuhkan waktu bukan hanya sampai tamat studi, tetapi hingga napas kehidupan benar-benar terhenti.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Paparan yang mantap, diksi tingkat dewa Bund. Sukses selalu dan barakallah fiik
Terima kasih, Jazakumullah ahsanal jaza'. Amin, waiyyakum. :')
Terima kasih sdh brbagi inspirasi. :-)
Kembali Kasih