Yuliani, M.Pd

Pernah bertugas di SMPN 1 Kepahiang, SMPN 2 Kepahiang, SMPN 3 Bengkulu Selatan dan sekarang menjadi guru di SMPN 2 Bengkulu Selatan sejak 2016. Alhamdulillah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Kabut Rindu di Mata Ayah (part 3)

Kabut Rindu di Mata Ayah (part 3)

#TantanganGurusiana

Tantangan Hari ke-6

Ayahpun kurasakan berguncang. Perlahan bahuku pun diangkat untuk berdiri. Kulihat mata ayah berkaca-kaca. Segera aku menghambur ke pelukan ayah.

“Ayah, maafkan Lina Yah. Lina sudah berdosa banyak pada ayah. Ampuni Lina Ayah.” Pintaku dengan penuh harap. Terisak tak dapat menahan tangis yang sudah tak dapat kutahan sedari memasuki pekarangan tadi, hatiku berdebar kuat saat ayah mengangkat tangannya dan mengelus pelan lenganku

Dalam pelukannya, ayah menampar dengan lembut pundakku.

“Ayah yang minta maaf Nak. Tidak seharusnya Ayah menghalangi niat baik kamu waktu itu. Ayah egois. Tapi kenapa kamu pergi sudah tiga tahun ini tidak memberikan kabar pada Ayah? Ayah tahu ayahpun salah, tapi kenapa kamu hanya berhubungan dengan ibu? Apa kamu tidak ingat dengan ayah? Hmm…” curhat ayah padaku.

Kulepas pelukanku. Kupandangi mata sayu ayah dengan mata memerah. Aku tidak menyangka ternyata ayah selalu menanyakanku. Maafkan aku juga ayah. Aku berjanji akan menebus semua kesalahanku di waktu dulu. Aku berjanji akan selalu membuat ayah bahagia. Tentunya juga dengan ibu.

Kulihat bang Fahmi ikut terharu. Sempat kulirik bang Fahmi menyeka air matanya. Ibu kini sedang menggendong Azzam, syukurlah Azzam cepat akrab dengan neneknya. Kulihat bang Fahmi mendekati kami, dan mencium tangan ayah dengan takzim. Dan ayahpun menyambutnya dengan pelukan hangat terhadap menantu laki-lakinya ini. Kulihat ada kabut di mata ayah perlahan memudar, dengan sambutannya kepada kami yang selama ini menganggap beliau murka dengan keputusan kami dahulu.

Kuseka air mataku yang masih mengambang di pipi. Rasanya dada yang dulu begitu sempit terasa lapang dan plong melihat goresan senyuman di bibir kedua orang tuaku ini. Bagaimana tidak, aku merasa seperti anak durhaka selama empat tahun terakhir hanya karena belum mendapatkan restu dari ayah untuk menikah dengan bang Fahmi.

Walau sempat di-baralek-kan di kampung, tetap saja saat itu kulihat ayah masih belum bersahabat dengan kami. Maka dengan keadaan sekarang ini, rasa syukur yang tak terhingga mungkin melihat dengan adanya cucu mereka, berkat doa yang tak putus dalam setiap malam kami ayahpun dilembutkan hatinya oleh Yang Maha Kuasa.

***

Aku membantu ibu menyiapkan makan siang di dapur. Bang Fahmi duduk bersama ayah berada di ruang tengah sambil menonton tv. Pada dasarnya tidak menonton karena tv tersebut diabaikan begitu saja walau dalam keadaan menyala. Sedangkan Azzam bermain-main di atas karpet dengan mainannya yang dibawa dari rumah tadi.

“Hani apakabarnya Bu..? Apa keluarganya masih tinggal di rumah lamanya?” aku menanyakan sahabatku yang bernama Hani pada ibu, karena dia memang selain sahabatku dulu ketika sekolah dan berkuliah, dia juga merupakan tetangga rumah yang kami tempati.

“Hani sekarang pindah ke Pekan Baru, Na. Tak lama setelah wisuda dia menikah dengan laki-laki kampung tetangga. Dan dia diboyong suaminya untuk tinggal di sana. Katanya sih membantu usaha rumah makan suaminya yang telah lama berjalan”. Kata ibu sambil menngelap tangannya karena barusan mencuci piring. Kemudian beralih menyiapkan piring di atas meja.

Aku masih mengaduk gulai buatan ibu yang lama kurindukan. Gulai asam padeh ikan tuna buatan ibu memang juara bagiku. Sangat enak dan tidak kutemukan rasanya yang sama di tempatku berada. Merahnya kuah terasa nikmat dengan paduan irisan bawang merah dan bawang putih ditambah 3 lembar daun kunyit yang membuat wangi khasnya menggelitik hidungku untuk segera menyantapnya.

Sedikit terusik hatiku mendengar penuturan ibu. Memang, setelah aku memutuskan menikah dengan bang Fahmi dan bermigrasi ke Medan, semua kontak dengan teman-teman kuliah terputus. Banyak yang masih menanyakan keadaanku, menyayangkan keputusanku dan sebagainya. Namun sedikit banyak kujelaskan dengan semampuku. Dan pada akhirnya pertanyaan-pertanyaan tersebut surut dengan sendirinya.

“Bu, asam padehnya sudah matang. Langsung saja Lina salin ke mangkuk ya Bu?” Aku bergerak ke arah rak piring dan mengambil mangkuk salin asam padeh tadi.

“Iya, buat dua tempat ya. Jangan lupa potongkan mentimun dua buah saja sebagai penetralnya.”

Dalam dentingan sendok bertemu piring, tiba-tiba aku teringat dengan kakak lelakiku satu-satunya. Kulirik ayah yang sedang asyik mengunyah makannya, sambil sesekali mengelap remahan di mulut Azzam.

“Kabar da Edi, gimana, Yah..?” tanyaku hati-hati. Seketika ayah menghentikan kunyahannya dan terdiam sesaat. Tapi aku tidak mendapatkan jawabannya karena ayah menyudahi makannya dengan buru-buru dan bergegas meninggalkan meja makan.

Ibu hanya bisa diam terpekur memandangi kami. Ada apa? Kenapa dengan kakak sulungku sehingga ayah sikapnya menjadi demikian? Apa ada kata yang salah kuucapkan? Beribu tanya berputar dibenakku.

masih bersambuuuungggg...... :D

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Wah, jadi penasaran deh. Sukses selalu dan barakallahu fiik

03 Feb
Balas

Terima kasih ibu sudah mampir. Doa yang sama untuk ibu.. :)

03 Feb

Kira2 kenapa ayah bersikap begitu ya?... Eng...ing...eng....

03 Feb
Balas

Iya ya kak... kenapa lah si ayah demikian??

04 Feb



search

New Post