Yuliani, M.Pd

Pernah bertugas di SMPN 1 Kepahiang, SMPN 2 Kepahiang, SMPN 3 Bengkulu Selatan dan sekarang menjadi guru di SMPN 2 Bengkulu Selatan sejak 2016. Alhamdulillah...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dan, Anak Bangaupun Tak Pernah Lupa Pulang

#TantanganGurusiana hari ke 30

Hp di kantong celana Tedy kembali bergetar. Ini merupakan yang ke empat kalinya. Sengaja dia getarkan karena sekarang sedang pertemuan dengan beberapa klien dari perusahaannya. Namun Tedy tidak mengindahkan dan tetap melanjutkan presentasinya. Dia sedikit kesal lupa mematikan handphonenya tersebut. Seharusnya dari awal dia matikan saja.

Setelah diskusi panjang, akhirnya pertemuan itu mencapai beberapa kata kesepakatan yang dapat menguntungkan bagi masing-masing perusahaan mereka. Pertemuan itupun diakhiri dengan jabatan tangan yang hangat. Banyak inovasi berkelebat dalam pikirannya dan membuat senyum tersungging di sudut bibirnya yang tipis.

Di ruangannya, Tedy membuka handphonenya dan melihat panggilan tidak terjawab dari adiknya, Airin. Ada apa ya, benak Tedy bertanya-tanya. Tumben dia kalau butuh sesuatu tidak pernah menelpon malam hari, paling cuma sms. Terakhir panggilan pukul 19.35 WIB. Sekarang sudah hampir tengah malam, apa tidak lebih baik besok saja kutelepon Airin, pikirmya. Mungkin saja dia sudah tidur. Maka Tedy segera membereskan meja kerjanya yang berantakan dan melangkahkan kakinya keluar ruangan dan turun gedung berlantai dua puluh lima itu menuju Pajero Sport Putihnya di parkiran.

***

“Hallo, Bang Tedy.”

“Iya, Airin. Maaf semalam abang lagi ada meeting dengan klien abang. Jadi hp abang silentkan. Ada apa kok kayaknya ada yang penting sekali. Tidak biasanya kamu menelepon sampai beberapa kali?” Tanyaku.

“Bang, ibu bang. Ibu sore kemarin masuk rumah sakit. Kata dokter di puskesmas ibu terkena diabetes. Makanya ibu dirujuk ke rumah sakit umum. Di rawat inap.”

Tedy terdiam. Ibu masuk rumah sakit dengan penyakit yang tidak biasa. Diabetes. Sakit yang sampai saat ini banyak memakan korban kalau tidak ditangani dengan serius. Hatinya berkecamuk. Kembali dia teringat masa lalu.

Lebih kurang delapan tahun yang lalu ketika terjadi pertengkaran hebat antara Tedy dan ibunya. Saat itu Tedy sudah setahun ini tamat SMA. Otak Tedy sebenarnya termasuk cerdas, namun karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, sedangkan adik-adiknya masih kecil. Ayah merekapun sudah lama meninggal.

Masalah sepele sebenarnya, ibunya selalu saja mengomel sepanjang pagi dan malam karena Tedy adalah seorang pengangguran. Kerjanya hanya nongkrong di kamarnya sambil mendengarkan musik atau paling kumpul tidak ada tujuan yang jelas bersama teman-temannya. Tedy tidak terima dikata-katai oleh ibunya. Membuat hati Tedy tidak tenteram dan memutuskan untuk meninggalkan rumah dengan sebuah tekad. Tidak akan pulang sampai dirinya sukses di mata ibunya.

Tahun demi tahun berlalu. Selama pengembaraannya Tedy banyak mengalami berbagai tantangan. Singgah di berbagai daerah membuatnya menjadi seseorang yang keras. Kerja menjadi kulipun pernah dijalaninya. Apa saja asal bisa makan, pikirnya. Hingga akhirnya Tedy menginjakkan kakinya di ibukota, yang kata orang adalah surganya dunia. Semua ada di Jakarta ini. Berawal dari menjadi kernet mobil jurusan ke Jakarta, Tedy bolak balik Sumatera-Jawa. Dan akhirnya memutuskan menetap di ibukota.

Sesampainya di Jakartapun dia kerja serabutan. Tukang parkir, memulung, mengamen, dan yang terakhir menjadi karyawan sebuah toko emas milik tuan keturunan China. Tempat tinggal dan makan ditanggung. Belajar dari pengalaman dan sikapnya yang diubah dari malas-malasan, Tedy bisa mengambil hati setiap majikan tempat dia bekerja. Tedy menjadi kepercayaan tuannya dan diangkat menjadi anak angkat bagi keluarga keturunan Tiong Hoa yang tidak memiliki anak tersebut. Kini kerja keras dari Tedy mengantarkannya pada sebuah kejutan indah dari orang tua angkatnya. Tedy dikuliahkan. Tidak tanggung-tanggung memang, kuliah di salah satu universitas terkenal di Tokyo Jepang.

Tidak disadari oleh Tedy, jika menilik ke belakang, semua itu tidak terlepas dari doa ibunya, yang ketika Tedy meninggalkan rumah ibunya masih mengharapkan kalau Tedy akan segera pulang. Namun berjalannya hari, hingga sebulan dua bulan bahkan hitungan tahun Tedy tidak pernah kembali. Ibunya tidak tahu mencari tahu keberadaan Tedy di mana dan mau bertanya dengan siapa. Namun hatinya selalu menyebut anak laki-laki sulungnya tersebut dalam setiap doanya. Berdoa dengan kemampuannya supaya Tedy selamat dan dapat membawa dirinya di manapun berada.

“Abangmu di mana ya Rin? Ibu sangat rindu dengan abangmu. Sekalipun tidak pernah memberi kabar. Ibu tidak pernah menyuruh abangmu itu pergi. Tidak pernah. Abangmu salah paham sama ibu. Bagaimana dia sekarang?” Mata ibu menatap kosong.

“Adakah dia ingat dengan ibu, Rin? Rasanya dada ibu sudah penuh ingin meluapkannya. Ibu sangat rindu Rin. Walau mungkin abangmu menganggap ibu dulu kejam, ibu sangat menyayangi abangmu. Kamu tolong cari informasi abangmu di mana ya, Nak? Bila perlu ibu yang akan minta maaf padanya.” Tanya dan pinta ibunya ke Airin sedangkan Airin hanya bisa diam membisu sambil menitikkan air mata kesedihan. Bahwa sebenarnya dia tetap berkomunikasi dengan abangnya tersebut. Ingin dia sampaikan berita itu pada ibunya, bahwa abangnya sudah sukses sekarang, menjadi manager suatu perusahaan terkenal di Jakarta. Namun Tedy meminta agar Airin merahasiakan hubungan tersebut.

***

“Bang Tedy. Abang masih ada di sana kan?” Suara Airin mengejutkan lamunannya.

“Iya Airin. Abang masih di sini. Abang mendengarkan kok.”

“Tadi Rin panggil-panggil abang tidak menyahut. Tapi telepon masih nyambung. Memangnya apa yang bang Tedy pikirkan?”

“Tidak ada Rin. Tidak ada apa-apa. Cuma abang teringat kisah abang dulu sebelum abang pergi dari rumah. Sudah lama sekali abang tidak pulang. Bahkan waktu itu kamu masih belum SMP. Lebih kurang sudah delapan tahun Rin. Abang tidak pernah melupakan peristiwa itu. Walau kini abang jauh, abang masih tetap mengontrol informasi di rumah. Kondisi ibu, kamu dan adik-adik. Tapi abang tidak bisa pulang, gengsi abang selama ini masih merajai hati abang. Abang juga takut berhadapan dengan ibu. Lebih tepatnya malu Rin. Juga malu sama tetangga kita. Entahlah. Apa yang ada di benak abang kini belum mantap untuk kembali Rin.”

“Pulanglah bang. Abang tahu kalau ibu selalu mengigau menyebut nama abang ketika tidur. Ibu merindukan abang. Teramat sangat. Kadang Rin melihat ibu menangis ketika shalat, menyebut nama bang Tedy. Kami hanya bisa menangis bang. Apa abang tidak kasihan sama ibu? Abang kan tahu kalau ibu cuma ingin abang berubah dari sikap abang dulu. Rin tahu karena ibu yang cerita sama Rin bang”. Bujuk Rin dengan pilu.

Setitik air mata jatuh membasahi pipi Tedy. Dadanya penuh sesak menahan kepiluan yang disampaikan oleh adiknya. Tak urung sebenarnya hatinya pun berontak ingin kembali. Bersujud dan bersimpuh di kaki ibunya. Mencium tangannya. Memeluk tubuhnya yang kini mungkin sudah renta. Mungkin rambutnya pun sudah mulai beruban. Meminta maaf karena tidak memberi kabar sekalipun terhadap ibunya. Mengganti hari-hari yang pernah dilalui tanpa dirinya.

Tedy ingat dulu berkomunikasi hanya melalui surat ketika Airin sudah menginjak bangku sekolah menengah atas. Mengirim kabar dengan tidak mencantumkan alamat tinggal. Mengabarkan bahwa dia baik-baik saja. Namun kecemasan seorang ibu tetaplah ada. Di setiap doa ibunya selalu terucap. Dan kini, ibu yang sebenarnya sangat dia cintai sedang terbaring lemah di rumah sakit. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana hari-hari yang dilalui ibu tanpa dirinya. Apa lagi ayah sudah meninggal tiga tahun sebelum dia meninggalkan rumah.

“Iya Rin. Abangpun dapat merasakan kesedihan ibu. Tapi apa ibu sekarang masih mau menerima abang, yang sudah hampir sembilan tahun ini meninggalkannya tanpa pesan sekalipun? Walaupun akhirnya ibu tahu juga kabar abang darimu. Apa abang tidak terlambat untuk kembali Rin? Abang malu, abang merasa sangat bersalah. Abang sebagai anak laki-laki tertua, ayah sudah meninggalkan kita. Tapi abang malah minggat. Minggat yang sangat lama.” Suara Tedy mulai serak.

“Bang, pintu maaf ibu tidak pernah tertutup bagi anaknya. Yang Rin tahu dari guru agama Rin di sekolah, bilang kalau orang di dunia ini yang tidak akan berubah seburuk apapun anaknya, hanya ibu saja. Dan ibu kita sudah membuktikan itu. Apalagi yang kurang Bang? Sekalipun abang tidak pernah menghubungi ibu, tapi ibu selalu menghubungi abang lewat doanya. Seharusnya abang lebih paham dari Rin.” Tiba-tiba saja Airin merasa menjadi lebih dewasa.

“Rin, abang pasti pulang. Sampaikan salam abang ke ibu, abang akan pulang dalam waktu dekat ini. Tapi abang masih ada beberapa pekerjaan yang harus abang selesaikan. Secepatnya abang akan pesan tiket. Ya sudah, kalau begitu abang tutup dulu. Kamu jaga ibu dengan baik ya.”

“Siap bang. Itu hal yang sudah Rin lakukan dalam beberapa tahun ini sejak abang pergi.” Sindir Rin.

“Eits, kamu jangan nyindir abang ya, awas nanti kalau ketemu abang jitak kepala kamu”. Ancam Tedy, namun dia merasakan hatinya sedikit plong mendengar penuturan adiknya tersebut. Ada asa dalam dadanya yang mulai tumbuh, bahwa apa yang ditakutkannya selama ini adalah tidak benar.

Tedy berpikir, apa manusia itu diuji dengan cobaan baru dia sadar akan salah dan khilafnya? Seperti dirinya yang pergi dari rumah hampir sembilan tahun yang lalu, tanpa menghubungi ibunya sekalipun. Ketika ada ujian dari Allah berupa sakit ibunya, kemudian baru terasa ingin pulang. Sungguh memang Allah Maha membolak-balikkan hati manusia. Baru sesaat tadi dia bilang ke adiknya, bahwa dia masih keras hati untuk kembali, namun beberapa saat mendengar penuturan Rin tentang ibunya tersebut hatinya dapat melunak.

***

Hati Tedy berdebar-debar. Kini ia berada tidak jauh dari pintu ruang tempat ibunya dirawat. Perasaannya masih berkecamuk. Ada sesal di dalam dadanya. Setelah sekian lama meninggalkan rumah, baru kali ini hatinya begitu merindu yang teramat sangat ingin segera merengkuh ibunya yang renta dalam pelukannya. Ibu, ibu adalah segalanya bagi Tedy. Terbayang kembali saat-saat dulu semasa ayahnya masih ada. Ibu seorang berhati lembut walau terkadang ibu sangat cerewet dalam urusan tertentu. Tedy tahu ibunya bermaksud baik. Namun saat itu dirinyalah yang egois yang tidak bisa menangkap maksud ibunya.

Perlahan diketuknya pintu dan segera membukanya. Deritan pintu membuat hatinya makin ketar-ketir. Tak berani Tedy memandang sekitarnya, yang dilakukannya adalah berjalan sambil menundukkan wajah tanpa berani menatap sesiapa yang ada di sana.

“Bang Tedy. Masuk bang.” Terdengar olehnya suara Airin.

“Iya.” Tedy merasa kikuk. “Maaf terlambat tadi pesawatnya delay.” Jawab Tedy sambil mengangkat kepalanya. Dilihatnya ibu masih tertidur mungkin. Wajah yang begitu dirindukannya kini nampak sudah tua. Keriput di mana-mana. Walau mata ibunya terpejam terlihat cekung menandakan betapa penderitaannya selama ini begitu menyiksa. Semakin besar rasa bersalah Tedy.

“Bang Tedy, sini. Tadi sebelum abang datang ibu masih sempat berbicara dengan kami. Beliau mengatakan bahwa beliau sangat rindu pada bang Tedy. Menunggu mungkin membuat ibu lelah bang. Sekarang ibu tidur.” Airin seakan tahu lintasan pikirannya. “Bang, Rin dan adik-adik keluar dulu ya,” lanjutnya.

“Iya Rin. Tidak apa-apa. Terima kasih.” Dilihatnya Airin sudah tumbuh menjadi remaja yang ceria dan manis. Keadaan yang membuat dia sedikit lebih dewasa dari usianya. Kulihat sudut matanya yang dimiliki sama dengan mata ibu yang kuingat dulu. “Maafkan abangmu ini, Rin. Akan abang ganti masa kecilmu yang bahagia sesaat lagi”.

Di dalam ruangan Tedy hanya berdua dengan ibunya. Ruangan ber AC namun tidak membuatnya menjadi lebih rileks, terlihat dari keringat mengucur di dalam pakaiannya. Hatinya pilu bercampur cemas, apa yang akan diucapkannya jika tiba-tiba ibu terbangun.

Perlahan Tedy mendekati pembaringan dan duduk di tepi ibunya. Dipandanginya dengan seksama. Terasa ada yang panas di ujung matanya. Dengan cepat Tedy mendongakkan kepala ke arah atas, tidak mau cairan panas itu membuatnya malu dan kaget jika tiba-tiba ibunya terbangun.

Dipegangnya tangan yang kini rapuh, penuh keriput yang tidak biasa. Tangan ini yang dulu begitu tangguh dalam mendidiknya, yang hampir saja dilupakannya dalam beberapa tahun ini.

“Ibu, ini Tedy bu. Tedy anak ibu yang dulu minggat tidak pulang-pulang. Maafkan aku bu. Aku tahu ibu saat itu tidak benar-benar marah, tapi hatiku sudah terlanjur kecewa saat itu.” Dengan pelan Tedy bersuara, lebih mendekati berbisik.

“Bu, aku tahu aku salah tidak pernah memberi kabar pada ibu. Aku salah karena aku terlecut oleh kata-kata ibu. Aku tahu ibu sangat menderita sepeninggalku bu. Bu, kini aku kembali.” Tedy mulai terisak perlahan. “Aku kembali untuk ibu. Maafkan aku yang telah membuat ibu begini. Maafkan aku yang tidak tahu balas terima kasih. Ibu sakit mungkin karena aku.”

Walaupun mata ibunya terpejam, sebenarnya ibu Tedy mendengarkan setiap kata-kata anak yang selama ini dirindukannya. Ia ingin segera bangun dan bangkit memeluk anaknya yang entah bagaimana rupanya kini. Namun ia menahan hati agar tidak segera membuka mata, agar Tedy tidak merasa malu.

“Bu, aku harap ibu cepat sembuh dan kembali seperti biasa, aku tidak sanggup jika melihat ibu tanpa daya sedangkan aku belum berbuat apa-apa untuk ibu.” Tedy terguncang tidak dapat menahan perasaannya. “Aku akan menebus semua kesalahanku bu.”

Perlahan Tedy meraih tangan ibunya dan mendekatkan ke mulutnya. Tedy mencium tangan renta itu dengan penuh khidmat. Seakan tidak ada lagi yang mampu mengalahkan hatinya yang berkecamuk dengan sesuatu apapun. Dalam diam tertunduk seakan mengenang masa dulu dan merancang apa yang akan dilakukannya di hari esok bersama ibu dan adik-adiknya.

Ada bening panas yang seakan meloncat dari ujung mata ibunya. Hati ibunya pun tak kuasa mendengar pilunya hati anaknya tersebut. Dalam hati iapun berdoa, akan segera memperbaiki kualitasnya sebagai ibu dan memperbaiki kesalahannya terdahulu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post